Sejarah Menarik Pecinan Ketandan, Bukti Akulturasi Masyarakat Jawa dan Etnis Tionghoa di Jogjakarta
Kota-kota besar dan penting umumnya memiliki sebuah kawasan yang ditempati oleh orang–orang Tionghoa. Kota Jogjakarta pun memiliki kawasan tersebut yang dikenal dengan Kampung Ketandan. Kampung ini terletak di barat Jalan Malioboro dan utara Pasar Beringharjo.
Kampung Ketandan yang terletak di Kemantren Gondomanan memiliki gerbang yang tampak mencolok yang berada tepat di sisi timur Jalan Malioboro. Gerbang tersebut dihiasi oleh ornamen–ornamen khas Tionghoa dengan warna dasar merah.
Gerbang ini juga memiliki logo Keraton Yogyakarta pada papan nama Kampung Ketandan yang ditulis dalam tiga bahasa, Indonesia, aksara Jawa, dan Mandarin.
Keberadaan Kampung Ketandan bermula dari peraturan Pemerintah Belanda yang menempati Jogjakarta, yaitu pembatasan pergerakan atau passenstelsel yang berlaku salah satunya kepada etnis Tionghoa.
Dengan peraturan tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan kedekatannya menempatkan para etnis Tionghoa di utara Pasar Beringharjo agar memperkuat aktivitas perekonomian. Hal ini didukung juga dengan latar belakang mereka yang terpelajar dan pedagang.
Sebelumnya kawasan tersebut ialah tempat tinggal pegawai pajak yang disebut tanda untuk menarik pajak etnis Tionghoa yang diberikan kepada Kraton Jogjakarta yang dilakukan berdasarkan perjanjian Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan Kapiten Cina, Yo In. Asal kata Ketandan pun diambil dari kata tanda.
Berdasarkan Artikel Jurnal Berjudul ‘Pengaruh Arsitektur Tata Ruang Rumah Tinggal Kolonial Belanda pada Tata Ruang Rumah Tinggal Komunitas Cina di Kawasan Kranggan Yogyakarta’, pemukiman masyarakat Tionghoa di Jogjakarta telah terpetakan pada 1830 dalam Peta Kota Jogjakarta sesuai dengan lokasi yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Bangunan–bangunan di Kampung Ketandan pun memiliki arsitektur yang unik dengan perpaduan Jawa, Tionghoa, dan Eropa. Salah satu bangunan yang menjadi cagar budaya ialah Rumah Ketandan. Rumah Ketandan memiliki dua bagian, bagian induk yang berada di depan dan rumah bagian belakang yang memanjang dari timur ke barat.
Pada bagian rumah induk memiliki empat ruang yang terbagi simetris di sisi kanan dan kiri dengan lorong pada bagian tengahnya. Sementara, pada bagian belakang, rumah yang menghadap timur ini memiliki tiga ruangan yang berada di sisi utara.
Pada bagian ini terdapat ruang terbuka pada sisi selatannya. Rumah ini pula memiliki atap limasan pada bagian rumah induk dan atap pelana pada bagian rumah belakang.
Bangunan tersebut merupakan tempat tinggal Tan Jing Sing yang merupakan warisan ayahnya, Yap Sa Ting Ho. Ia dilahirkan sebagai seorang Jawa akantetapi dibesarkan oleh Kapiten Cina dari Wonosobo. Tan Jing Sing pernah menjabat sebagai Bupati Jogjakarta dan mendapatkan gelar dari Kraton Jogjakarta, yaitu Raden Tumenggung Secodiningrat yang diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono III.
Tak hanya rumah milik Tan Jing Sing, bangunan lainnya di Kampung Ketandan juga memiliki keunikan dengan atap yang berbentuk gunungan yang dalam perkembangannya direnovasi menjadi lancip. Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Selain itu, pada beberapa bangunan juga masih dapat ditemui jangkar yang terpasang di dinding yang menjadi keunikan rumah khas Tionghoa.
Dalam perkembangannya kawasan ini pun menjadi tempat perdagangan obat dan bahan pokok. Namun, menjelang tahun 1950 -an, para penduduk Kampung Ketandan beralih usaha menjadi toko emas. Hingga kini pun pertokoan perhiasan emas masih dapat ditemui di sini.
Selain itu, dalam perayaan Tahun Baru Imlek, Kampung Ketandan menjadi lokasi Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta (PBTY). Pada pekan budaya ini Kampung Ketandan akan dihiasi dan berbagai pertunjukan seni budaya dan kuliner akan disajikan yang menjadi daya tarik wisatawan.
Tag: #sejarah #menarik #pecinan #ketandan #bukti #akulturasi #masyarakat #jawa #etnis #tionghoa #jogjakarta