Parlemen Iran Setujui Penghentian Kerja Sama dengan IAEA, Pengawasan Nuklir Teheran Pascaserangan AS-Israel Kian Sulit
Anggota parlemen Iran menyetujui secara bulat penghentian kerja sama dengan IAEA dalam sidang di Teheran. (The Guardian)
15:45
26 Juni 2025

Parlemen Iran Setujui Penghentian Kerja Sama dengan IAEA, Pengawasan Nuklir Teheran Pascaserangan AS-Israel Kian Sulit

Parlemen Iran secara bulat menyetujui rancangan undang-undang untuk menangguhkan seluruh bentuk kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA). Langkah ini dinilai akan semakin menyulitkan pemantauan independen terhadap kerusakan yang ditimbulkan akibat serangan udara gabungan Amerika Serikat (AS) dan Israel terhadap tiga situs nuklir utama Iran.

Keputusan ini juga berpotensi memperlemah kemampuan dunia untuk melacak keberadaan uranium yang telah diperkaya dalam tingkat tinggi.

Parlemen menilai, kerja sama dengan IAEA sudah tidak relevan karena lembaga tersebut telah menjadi "alat politik", menurut Ketua Parlemen Iran, Mohammad Bagher Ghalibaf.

"IAEA tidak lagi menjalankan tugasnya dan telah berubah menjadi alat tekanan politik," katanya usai sidang.

Dilansir dari The Guardian, Kamis (26/6/2025), mosi ini disahkan tanpa suara penolakan dan menunjukkan sikap tegas Iran pascaserangan selama 12 hari yang dilancarkan AS dan Israel, yang hanya didukung dengan antusiasme terbatas oleh negara-negara Eropa.

Ghalibaf menegaskan bahwa program nuklir sipil Iran akan terus berlanjut "dengan kecepatan tinggi", membantah pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengklaim bahwa Iran "tidak akan berani mendekati" program nuklirnya lagi.

Keputusan tersebut kini menunggu pengesahan akhir dari Dewan Wali (Guardian Council), badan yang bertugas meninjau legislasi.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmail Baghaei, menjadi pejabat pertama yang secara terbuka mengakui kerusakan serius di fasilitas nuklir negaranya.

"Kami akui bahwa sejumlah fasilitas penting telah mengalami kerusakan parah," ujarnya, seperti dikutip The Guardian.

Parlemen juga menuntut agar kegiatan seperti pemasangan kamera pengawas, inspeksi oleh IAEA, serta pelaporan rutin dihentikan, kecuali ada jaminan keamanan dari komunitas internasional atas keberlangsungan fasilitas nuklir Iran.

Komite Keamanan Nasional menyatakan bahwa laporan IAEA sebelumnya "tidak akurat" dan menjadi dalih bagi serangan terhadap Iran.

Usulan tersebut memicu sorakan "matilah Amerika, matilah Israel" di ruang parlemen, mencerminkan atmosfer politik yang semakin panas.

Beberapa anggota bahkan menyerukan agar Direktur Jenderal IAEA, Rafael Grossi, dituntut atas dugaan memberikan laporan palsu dan dituduh menjadi alat spionase bagi Mossad, badan intelijen Israel.

Grossi sendiri mengingatkan bahwa dunia internasional "tidak bisa menerima keputusan Iran untuk memutus kerja sama".

Dia juga mengakui bahwa IAEA kini tidak dapat lagi memastikan lokasi simpanan uranium yang telah diperkaya milik Iran. Hal ini semakin mempersulit upaya komunitas internasional dalam mencegah proliferasi nuklir di kawasan.

Sementara itu, penilaian awal internal pemerintah AS menunjukkan bahwa program nuklir Iran hanya mundur beberapa bulan, bertolak belakang dengan klaim Trump yang menyebutnya "telah dihancurkan total".

Pembicaraan antara utusan khusus AS Steve Witkoff dan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi yang semestinya digelar pada 15 Juni lalu pun batal setelah Iran menganggap serangan udara sebagai tindakan provokatif.

Di sisi lain, wacana keluar dari Traktat Nonproliferasi Nuklir (Non-Proliferation Treaty/NPT) juga mencuat di dalam negeri. Mantan anggota parlemen Akbar A’lami menyatakan, "Jika keanggotaan kita dalam NPT tidak dapat melindungi kita dari sanksi atau serangan, maka apa manfaatnya kita tetap bertahan?".

Meski demikian, Iran tetap bersikukuh bahwa bom nuklir bertentangan dengan prinsip Islam.

Arah politik dalam negeri kini menunjukkan semangat persatuan nasional yang diklaim Presiden Masoud Pezeshkian sebagai hasil dari keteguhan Iran melawan tekanan eksternal.

Namun, para kritikus menyatakan bahwa solidaritas ini muncul dari kemarahan terhadap Israel, bukan kepercayaan terhadap pemerintah.

Mantan Presiden Hassan Rouhani mengingatkan, "Perdamaian abadi hanya bisa dicapai lewat rasionalitas dan ketahanan strategis, bukan lewat ilusi kosong penuh semangat perang".

Di tengah perdebatan itu, muncul pula kritik tajam atas lemahnya pertahanan udara Iran serta keterlambatan Rusia memenuhi kontrak pengiriman jet tempur Sukhoi-35.

Selain itu, meningkatnya arus pengungsi dari Afghanistan dan Kurdistan Irak disebut telah memperlemah stabilitas keamanan domestik, yang kini menjadi fokus pembahasan dalam masa rekonstruksi pascakonflik. (*)

Editor: Siti Nur Qasanah

Tag:  #parlemen #iran #setujui #penghentian #kerja #sama #dengan #iaea #pengawasan #nuklir #teheran #pascaserangan #israel #kian #sulit

KOMENTAR