



Alasan Masyarakat Jawa Mencuci Benda Pusaka Saat Bulan Suro
- Setiap pergantian tahun Jawa (Suro) atau tahun baru Islam (Muharram), masyarakat Jawa, khususnya yang berada di lingkup keraton, menggelar berbagai tradisi sakral.
Salah satu tradisi yang paling menonjol dan sarat makna spiritual adalah jamasan pusaka, atau ritual mencuci benda-benda pusaka.
Ritual ini tidak hanya dilakukan oleh lingkungan keraton. Orang-orang yang punya benda pusaka, seperti keris pun biasanya mencucinya saat bulan Suro.
Menurut RA Siti Amieroel N, Sekretaris Tepas Museum Keraton Yogyakarta, ritual jamasan pusaka dilaksanakan di bulan Suro, bukan tepat pada malam Satu Suro.
"Tradisi ini menandai awal tahun dengan harapan kehidupan di tahun yang akan datang menjadi lebih baik," kata dia dilansir dari Kompas.com (20/8/2020).
Ritual ini memiliki makna simbolis. Seperti halnya pusaka yang dibersihkan, manusia pun diharapkan membersihkan diri secara lahir dan batin untuk menyambut masa depan.
Lihat postingan ini di Instagram
Bagi masyarakat Jawa, pusaka bukan sekadar benda, tetapi simbol yang merepresentasikan nilai-nilai luhur, kepemimpinan, dan jati diri.
Keris, misalnya, kerap dianggap sebagai visualisasi seorang imam atau pemimpin. Maka, merawat dan mencuci pusaka menjadi simbol dari upaya menjaga moral, akhlak, dan keluhuran pribadi pemiliknya.
Proses memandikan pusaka di keraton
Ritual jamasan pusaka tidak dilakukan secara terbuka untuk umum. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, kegiatan ini bersifat sangat tertutup dan hanya dilakukan oleh kalangan internal keraton.
Titah langsung dari Raja, dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono X, menentukan waktu dan pelaksanaan jamasan. Umumnya, ritual dilakukan pagi hari sekitar pukul 09.00–10.00, meskipun waktunya bisa menyesuaikan dengan keputusan raja.
Pemerhati keris Dekan Bawono menjamas koleksinya jelang 1 Suro
Benda-benda pusaka yang dijamasi mencakup keris dan pusaka lain dengan tingkatan tertentu. Benda dengan status VVIP biasanya hanya boleh dijamasi oleh Sultan sendiri.
Sementara itu, benda-benda lain akan dijamasi oleh pihak-pihak yang telah ditentukan sesuai dengan kedudukannya dalam struktur keraton.
Tradisi serupa juga hidup di Pura Mangkunegaran, Surakarta. Abdi Dalem Bagian Pariwisata dan Museum, Joko Pramudya, menyatakan bahwa jamasan pusaka juga menjadi ritual wajib saat bulan Suro.
Meskipun tidak banyak dijelaskan secara terbuka karena sifatnya yang sakral, ritual ini merupakan bagian dari upaya pemeliharaan warisan leluhur.
Selain jamasan pusaka, Pura Mangkunegaran juga mengadakan kirab pusaka pada malam Satu Suro.
Kirab dilakukan dengan mengelilingi tembok luar Pura sekali oleh keluarga kerajaan, abdi dalem, dan masyarakat umum. Peserta kirab melakukan tapa bisu atau tidak berbicara saat kirab.
Tradisi ini menjadi momentum refleksi dan penyambutan tahun baru dengan semangat eling lan waspada—ingat akan jati diri dan asal usul manusia.
Sakralitas Bulan Suro
Bulan Suro, dalam kepercayaan Jawa, adalah bulan suci yang penuh perenungan. Masyarakat memaknai bulan ini sebagai waktu yang tepat untuk introspeksi dan pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual.
Tradisi jamasan pusaka menjadi lambang kesadaran budaya untuk selalu menjaga kehormatan, nilai-nilai luhur, dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh para leluhur.
Dengan demikian, jamasan pusaka bukan sekadar ritual tahunan, melainkan manifestasi dari filosofi hidup masyarakat Jawa yang menghargai warisan, menjaga kesucian batin, dan menyambut masa depan dengan jiwa yang telah dibersihkan.
Tag: #alasan #masyarakat #jawa #mencuci #benda #pusaka #saat #bulan #suro