



Begini Rasanya Wisata Spiritual Mubeng Beteng di Yogyakarta
- Pukul 21.36 Kamandungan Lor atau Plataran Keben Keraton Yogyakarta mulai ramai dipadati warga yang hendak mengikuti prosesi mubeng beteng.
Aroma wangi dupa sudah terasa saat memasuki area Pelataran Keben. Para Abdi Dalem Keraton duduk bersila berjejer, memulai prosesi mubeng beteng dengan macapatan.
Ketika lonceng Keraton Yogyakarta berbunyi 12 kali, rombongan mulai berjalan. Suasana hening menyelimuti rombongan mubeng beteng, hanya suara gesekan alas kaki dan aspal yang terdengar.
Mereka patuh mengikuti aturan mubeng beteng dengan topo bisu. Selama prosesi ini, peserta tak diperkenankan untuk berbicara satu sama lain atau topo bisu.
Mubeng beteng dengan topo bisu bertujuan untuk berdoa kepada Tuhan agar pada tahun-tahun yang akan datang diberikan kesehatan dan keselamatan.
Rombongan depan tampak Abdi Dalem Keraton Yogyakarta membawa beberapa bendera atau panji-panji, lengkap menggunakan busana adat Jawa.
Mereka berjalan melewati Jalan Rotowijayan, Kauman, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Kemudian, melewati pojok Benteng Barat, Jalan MT Haryono, Pojok Benteng Timur, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di alun-alun utara atau Keraton Yogyakarta.
Salah satu peserta Mubeng Beteng Gabriel Maria Ana (25) asal Kulon Progo mengatakan ia baru pertama kali mengikuti prosesi mubeng beteng topo bisu.
Ia datang dengan teman-teman kuliahnya dengan tujuan ingin mengetahui secara detail budaya Yogyakarta.
"Bareng teman-teman juga. Ingin tahu budaya di tempat sendiri seperti apa, pengin lebih dekat aja," ucapnya.
Primadi Priyolaksono (24) asal Bantul juga mengungkapkan hal yang sama. Ia baru pertama kali datang ke prosesi Mubeng Beteng.
"Baru pertama kali, datang sama teman-teman," kata dia.
Prosesi Mubeng Benteng Karatan Ngayogyakarta Hadiningrat di malam 1 Suro.
Ia rela datang malam-malam menggunakan pakaian Jawa lengkap dengan blangkon untuk mendapatkan pengalaman sekaligus untuk melestarikan budaya Jawa.
Primadi mengaku tak ada persiapan khusus saat berencana hendak mengikuti mubeng beteng topo bisu.
"Persiapan khusus enggak ada penting niat, sama olahraga saja. Pakai pakaian Jawa supaya makin Jawa saja," ucapnya.
Tradisi Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta
Sebelumnya, Setiap malam 1 Suro, ribuan langkah hening menyusuri jalanan sekitar Keraton Yogyakarta.
Mereka tak berbicara, tak bercanda, bahkan tak mengenakan alas kaki. Inilah Topo Bisu Mubeng Beteng, tradisi penuh makna spiritual.
Abdi dalem keraton dan masyarakat mengelilingi benteng keraton dalam keheningan, sebagai bentuk laku prihatin dan doa menyambut tahun baru Jawa.
Makna Laku Hening di Tengah Kota Dalam budaya Jawa, 1 Suro bukan sekadar pergantian kalender. Ia adalah momen refleksi, kontemplasi, dan permohonan keselamatan.
Mubeng Beteng, secara harfiah berarti “mengelilingi benteng”, menjadi bentuk doa kolektif tanpa suara—sebuah topo bisu—yang diyakini menguatkan batin, menentramkan jiwa, dan membersihkan niat.
“Orang Jawa itu senang dengan laku prihatin,” ujar Kanjeng Mas Tumenggung Projosuwasono, abdi dalem Keraton Yogyakarta, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, saat Mubeng Beteng, peserta dianjurkan berdoa sepanjang jalan. Tidak bicara, tidak bermain gawai, dan jika memungkinkan—tidak mengenakan alas kaki.
"Ketika mubeng beteng, diharapkan banyak-banyak berdoa, berdoa untuk mensyukuri satu tahun yang lalu sudah diberikan kenikmatan dan sebagainya. Dan berdoa untuk keselamatan satu tahun yang akan datang," jelas dia, Kamis (26/6/2025).
Tag: #begini #rasanya #wisata #spiritual #mubeng #beteng #yogyakarta