Aktualisasi Diri atau FOMO?
DI Indonesia, isu yang dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO) telah berkembang menjadi lebih dari sekadar istilah di bidang psikologi, melainkan sebuah gejala sosial yang semakin berkembang, terutama di kalangan generasi muda.
Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebagian besar pengguna internet di tanah air berasal dari kelompok usia yang produktif dan Gen Z, dengan rata-rata waktu yang dihabiskan di media sosial mencapai lebih dari tiga jam setiap harinya.
Media sosial berfungsi tidak hanya sebagai tempat bersenang-senang, tetapi juga sebagai platform untuk pembentukan identitas, perbandingan sosial, dan pencarian pengakuan. Sebagai akibatnya, banyak generasi muda merasa tertekan untuk terus mengikuti tren, menunjukkan produktivitas, mencapai kesuksesan, dan tidak "ketinggalan zaman," meskipun keadaan finansial, mental, dan emosional mereka sering kali tidak mendukung.
Tekanan ini semakin meningkat saat budaya digital berinteraksi dengan kondisi sosial Indonesia yang masih dipenuhi ketidakadilan. Di satu sisi, media sosial dikuasai oleh cerita tentang keberhasilan instan mendirikan usaha di usia remaja, berlibur ke luar negeri, dan menjalani kehidupan glamor sementara di sisi lainnya, statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah pengangguran serta pekerja informal di kalangan pemuda masih cukup tinggi.
Ketidakcocokan antara kenyataan dan apa yang dipamerkan ini menciptakan FOMO: perasaan khawatir tertinggal, takut dianggap gagal, dan hasrat untuk "mengejar" kesuksesan orang lain, bahkan dengan cara yang tidak bijak seperti meminjam uang secara online atau memaksakan cara hidup yang melebihi kemampuan.
Jika dilihat melalui lensa teori humanistik, terutama hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, fenomena FOMO mengindikasikan adanya kesalahan dalam memahami aktualisasi diri. Kebutuhan sosial dan penghargaan yang seharusnya dipenuhi dengan cara yang sehat malah beralih menjadi kebutuhan akan pengakuan digital: jumlah suka, tayangan, dan pengakuan dari publik.
Aktualisasi diri kemudian salah dipahami sebagai sesuatu yang dapat diperoleh secara cepat dan sebagai simbol status, bukannya sebagai proses pertumbuhan potensi diri yang komprehensif. Dorongan untuk "tampak sukses" sering kali lebih kuat daripada usaha untuk "bertumbuh secara sejati".
Kondisi ini juga berhubungan dengan kebutuhan manusia sesuai dengan penjelasan David McClelland, terutama kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk mencapai sesuatu.
Terkait dengan fenomena FOMO, hasrat untuk diterima serta dihargai dalam hubungan sosial sangatlah tinggi, bahkan melebihi kesadaran akan kemampuan dan batasan diri seseorang. Tanpa adanya kesadaran diri dan manajemen emosi yang baik, seseorang dapat dengan mudah terjerumus dalam perilaku mengikuti orang lain, takut untuk tampil berbeda, dan merasa cemas jika tidak memenuhi standar sosial yang ditetapkan oleh lingkungan digital.
Situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya dimensi spiritual dalam kehidupan kontemporer, sehingga individu kehilangan makna hidup dan arah tujuan jangka panjang. Fenomena FOMO juga menunjukkan bagaimana manusia memandang dirinya serta realitas di sekelilingnya.
Carol Dweck membedakan individu berdasarkan fixed mindset dan growth mindset. Di dalam budaya yang dipengaruhi FOMO, banyak orang terjebak dalam fixed mindset: khawatir akan kegagalan, takut ketinggalan, dan cenderung memilih cara mudah agar terlihat berhasil. Padahal, pertumbuhan yang sesungguhnya berasal dari proses belajar, mengalami kegagalan, dan ketekunan.
Sebagaimana diungkapkan David J. Schwartz, FOMO sering kali membuat seseorang berhenti seperti seorang camper ingin nampak aktif dan sukses, tetapi enggan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak yang sebenarnya.
Sebagai anggota Generasi Z di Indonesia, pemikiran ini menjadi sangat penting untuk menghindari tenggelam dalam tekanan sosial yang dapat mengarahkan kita ke jalan yang salah.
Upaya untuk menghindari FOMO tidak bisa hanya dilakukan secara pribadi, tetapi juga harus dilakukan secara kolektif dengan memperkuat pengembangan diri, seimbang dalam memenuhi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual, serta mengasah kecerdasan emosional.
Dengan pola pikir yang berkembang, kecerdasan emosional yang kuat, dan pemahaman tujuan hidup yang jelas, individu dapat menjadi pendaki yang selalu berkembang dan menjelajah bukan karena takut ketinggalan, tetapi karena menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya.
Tag: #aktualisasi #diri #atau #fomo