Hamas dan Fatah Bertengkar Soal Kekuasaan di Tengah Bencana Kemanusiaan di Gaza
Anggota Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, yang bertopeng, berbaris dalam unjuk rasa di Kota Gaza pada 20 Juli 2022. 
15:00
17 Maret 2024

Hamas dan Fatah Bertengkar Soal Kekuasaan di Tengah Bencana Kemanusiaan di Gaza

Untuk kali pertama Fatah menyalahkan Hamas atas dampak buruk pembantaian 7 Oktober 2023 yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel.

Pembantaian tersebut diketahui membuat Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu menyatakan perang terhadap Hamas yang berbasis di Gaza, Palestina.

Serangan balasan dari darat, udara, dan laut, yang dilancarkan pasukan pertahanan Israel (IDF) sejak 7 Oktober lalu, telah menewaskan lebih dari 31 ribu warga sipil Gaza.

Jumlah orang terluka jauh lebih banyak lagi. Mereka kesulitan mendapat perawatan dan obat-obatan.

Jutaan warga Gaza juga terusir dari rumahnya. Mereka kelaparan.

Fatah mengecam Hamas sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Gaza saat ini dan menyebutnya sebagai Nakba.

"Merekalah yang bertanggung jawab atas kembalinya pendudukan ke Jalur Gaza dan menyebabkan Nakba (bencana) yang dialami warga Palestina," demikian pernyataan resmi Fatah seperti dikutip Jerusalem Post.

Kecaman yang disampaikan Fatah merupakan respons mereka terhadap kritik Hamas yang menanggapi penunjukan perdana menteri baru Palestina Mohammad Mustafa.

Hamas menggambarkan Mohammad Mustafa sebagai mitra dekat Presiden Mahmoud Abbas yang dinilai tak cakap menjadi pemimpin Palestina.

Disebutkan Hamas bahwa penunjukan Mohammad Mustafa sebagai Perdana Menteri Palestina merupakan keputusan individual.

Hamas mengklaim Otoritas Palestina disibukkan dengan langkah-langkah formal yang tidak memiliki substansi dan berpendapat bahwa pemerintahan baru Palestina tidak memiliki konsensus nasional.

Kritik Hamas pun ditanggapi Fatah dengan pertanyaan penuh sindiran dan kecaman.

Menurut Fatah, Hamas yang saat ini dalam upaya negosiasi dengan Israel berkait gencatan senjata, sama sekali tak berkonsultasi dengan Otoritas Palestina.

Konsesi yang ditawarkan Hamas dalam negosiasi dengan Israel, menurut Fatah, tidak memiliki tujuan selain menjamin keamanan pribadi para pemimpinnya dan mencoba mencapai kesepakatan dengan Netanyahu untuk mempertahankan perannya memecah belah Gaza dan Palestina.

Fatah juga merujuk pada pengambilalihan Gaza yang dilakukan Hamas pada 2007 setelah memenangkan pemilu.

Mereka mempertanyakan apakah Hamas berkonsultasi ketika melakukan kudeta hitam terhadap legitimasi nasional Palestina pada 2007, dan menolak semua inisiatif untuk mengakhiri perpecahan.

Mengenai penunjukan Mustafa, Fatah menyindir Hamas, dengan mengatakan bahwa dia  (Mustafa) “dipersenjatai" dengan agenda nasional, dan bukan dengan agenda palsu yang tidak membawa apa-apa, selain kesengsaraan bagi rakyat Palestina dan tidak memberikan manfaat apa pun bagi mereka.

Dengan sinis, Fatah menyampaikan keheranannya kenapa Hamas “menunjuk seorang perdana menteri dari Iran, atau membiarkan Teheran menunjuk seorang perdana menteri untuk Palestina.”

Pernyataan itu merupakan analogi yang merujuk pada aliansi Hamas dengan Republik Islam Iran dalam memerangi Israel.

Fatah juga menyindir gaya hidup mewah yang dipimpin oleh kepemimpinan Hamas di Qatar, dengan menyatakan bahwa “tampaknya kehidupan nyaman yang dijalani para pemimpin ini di hotel bintang tujuh telah membutakan mereka dari apa yang benar.”

Hal itu membuat Fatah juga bertanya-tanya, mengapa pemimpin Hamas dan keluarganya, meninggalkan Gaza dan membiarkan rakyat Palestina menghadapi “perang pemusnahan yang brutal” tanpa perlindungan apa pun.

Sejak 2007, Hamas telah menunjukkan peningkatan popularitas di kalangan masyarakat Palestina, mencatat keberhasilan besar dalam pemilihan lokal dan mahasiswa.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Khalil Shikaki selama gencatan senjata sementara pada Desember 2023, kelompok Hamas semakin populer sejak pembantaian 7 Oktober.

Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa 57 persen responden di Gaza dan 82 persen di Tepi Barat percaya bahwa Hamas benar dalam melancarkan pembantaian tersebut.

Fatah merupakan organisasi yang didirikan oleh Yasser Arafat an Khalil al-Wazir pada 1956.

Organisasi tersebut didirikan untuk melepaskan cengkeraman pendudukan Israel atas Palestina.

Mereka bukan hanya melakukan gerakan politik lewat jalur diplomasi, tapi juga militer lewat perang gerilya.

Selama bertahun-tahun, Fatah memimpin Palestina dalam upaya mereka lepas dari Israel sekaligus berusaha menciptakan perdamaian di wilayah tersebut lewat berbagai perjanjian.

Namun, pengaruh Fatah yang mendukung penuh Presiden Mahmoud Abbas sebagai kepala Otoritas Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) terkikis di Gaza.

Fatah kalah dalam perang singkat melawan Hamas pada 2007 dan mulai menanamkan pengaruh mereka di Gaza sejak saat itu.

Secara prinsip, Hamas tidak mengakui Israel sebagai negara. Sementara Fatah dan PLO mengakui eksistensi Negara Yahudi tersebut.

Sementara Hamas didirikan di Gaza tak lama setelah dimulainya intifada pertama pada 1987 oleh Sheikh Ahmed Yasin dan ajudannya Abdul Aziz al-Rantissi.

Intifada sendiri merupakan gerakan perlawanan warga Palestina terhadap pendudukan Israel yang digaungkan petinggi PLO.

Hamas di awal berdirinya merupakan cabang dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka kemudian membentuk sayap militer, Brigade Izz al-Din al-Qassam.

Brigade Izz al-Din al-Qassam dibentuk untuk melancarkan perlawanan bersenjata terhadap Israel dengan tujuan membebaskan Palestina.

Editor: Willem Jonata

Tag:  #hamas #fatah #bertengkar #soal #kekuasaan #tengah #bencana #kemanusiaan #gaza

KOMENTAR