Soal Transisi Energi, Komitmen Tiga Paslon untuk Nol Deforestasi Belum Terlihat
ILUSTRASI. Gambaran deforestasi hutan dan lahan demi mencapai target bauran energi dari biomassa kayu. (dok. FWI)
16:45
19 Januari 2024

Soal Transisi Energi, Komitmen Tiga Paslon untuk Nol Deforestasi Belum Terlihat

- Tiga pasangan calon (paslon) presiden-wakil presiden yang berkontestasi di pilpres 2024 telah menyusun langkah-langkah transisi energi. Tim kampanye masing-masing paslon pun telah menjelaskannya dalam diskusi 'Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029' beberapa waktu lalu. Namun menurut Forest Watch Indonesia (FWI), desain transisi energi yang ditawarkan para paslon belum mampu menunjukkan komitmen nol deforestasi.

Janji dan tanggapan tim kampanye ketiga paslon dinilai masih teoritis dan normatif. Belum dilandaskan pada fakta-fakta lapangan bagaimana sejauh ini kebun energi dan hutan tanaman energi yang dibangun dengan merusak hutan alam.

Manager Kampanye, Advokasi, dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga menyebut, tantangan yang dihadapi selama proses transisi energi membutuhkan komitmen yang lebih kuat dalam evaluasi dan audit kinerja. Selain itu, pentingnya kembali kepada prinsip tata kelola yang baik, seperti transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan penegakan hukum, menjadi pijakan utama untuk memastikan keberhasilan transisi energi yang berkelanjutan dan berkeadilan.

"Seharusnya ini yang menjadi sorotan mereka, bagaimana proses transisi energi dipantau dan tidak merugikan lingkungan, juga masyarakat adat," kata Anggi dalam keterangan kepada media, Jumat (19/1).

Dalam diskusi tersebut, Juru Bicara Timnas 01 AMIN, Irvan Pulungan menyampaikan niatnya untuk mengevaluasi program bioenergi melalui penyelidikan lingkungan yang melibatkan inventarisasi. Tujuannya adalah menentukan kapasitas dan batasan sesuai dengan ketentuan Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo mengklaim bahwa program transisi energi yang mereka tawarkan paling realistis dan feasible. Drajad berpendapat bahwa biomassa merupakan opsi yang rasional dari segi keuangan dan implementasi dalam jangka pendek.

Meskipun dia menyadari adanya peluang menggunakan energi geothermal dan surya, namun prosesnya dianggap membutuhkan investasi besar dan memakan waktu yang lama. Menurut Anggi, tinginya biaya produksi untuk membangun kebun energi justru membuat biomassa menjadi beban fiskal ke depan.

"Seharusnya TKN 02 belajar dari pembangunan kebun energi di hutan Jawa oleh Perum Perhutani. Realisasi pemenuhan bahan baku biomassa untuk co-firing di PLTU hampir mencapai nol, meski kebun energi seluas sekitar 45 ribu Ha sudah dibangun sejak 2019. Rencana untuk mengonversi green biomass menjadi wood pellet sejak 2021 belum terwujud," jelasnya.

Dewan Pakar TPN 03 Ganjar-Mahfud, Agus Hermanto, mengakui adanya sejumlah tantangan yang mesti diatasi dalam perjalanan transisi energi saat ini. Dalam konteks bahan baku bioenergi, Agus menunjukkan kesadaran akan adanya opsi sumber daya selain pelet kayu, termasuk penggunaan minyak goreng bekas, singkong, dan bahkan kacang-kacangan.

"Strategi kami adalah menerapkan kebijakan inventarisasi CPO (crude palm oil), kemudian melakukan pemetaan target apakah tujuannya untuk B30 atau B40. Ini dilakukan secara berimbang dengan mengutamakan konsumsi masyarakat, baru yang terakhir adalah untuk ekspor," jelas Agus.

Sayangnya, menurut Anggi, belum jelas komitmen dari TPN 03 terhadap nol deforestasi dalam transisi energi. Ia pun menyarankan agar komitmen lebih difokuskan pada evaluasi dan audit kinerja proyek transisi energi. Mengandalkan biofuel sebagai sumber energi terbarukan, menurutnya, justru memperparah terjadinya deforestasi dan kerusakan lingkungan. 

Jika fakta menunjukkan adanya deforestasi dari pembangunan kebun energi (penghasil biofuel dari kebun sawit) atau hutan tanaman energi (penghasil biomassa kayu), maka penting untuk mengevaluasi tata kelola energi, hutan dan lahan yang sedang dijalankan, untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip good governance.

Direktur Eksekutif Traction Energy Asia, Tommy Pratama menyatakan, sejak 1980 hingga 2020 terdapat tren kenaikan emisi gas rumah kaca yang cukup tajam di Indonesia. "Tren ini harus dibuat landai dalam waktu dekat, makanya kita harus segera melakukan transisi sumber energi rendah karbon. Kami menggunakan terminologi rendah karbon untuk membedakan energi terbarukan untuk membedakan, karena tidak semua energi terbarukan itu rendah karbon," ujarnya.

Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani menjelaskan mengenai co-firing biomassa yang saat ini menjadi substitusi penggunaan batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan yang diklaim telah mengurangi emisi. Menurutnya, co-firing adalah solusi palsu dalam transisi energi.

"Solusi PLN untuk biomassa dengan pelet kayu sulit, karena kemungkinan besar harus didapatkan dari perkebunan kayu berskala besar, seperti hutan tanaman energi (HTE)," jelas Amalya.

 
 

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #soal #transisi #energi #komitmen #tiga #paslon #untuk #deforestasi #belum #terlihat

KOMENTAR