



MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah: Apakah Demokrasi Benar-Benar Membaik?
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan Pemilu daerah harus dipisah.
Meski demikian, keputusan tersebut dinilai belum menjamin adanya perbaikan kualitas demokrasi ke depannya, apalagi soal integritas penyelenggara pemilu.
Peneliti bidang legislasi dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu tidak serta-merta membawa dampak positif yang signifikan terhadap peningkatan kualitas demokrasi.
"Tentu saja dengan perubahan waktu penyelenggaraan seperti ini belum ada jaminan bahwa ada perbaikan kualitas pemilu ke depannya. Tak ada jaminan juga bahwa praktik penyelenggaraan pemilu menjadi lebih berintegritas," kata Lucius kepada wartawan, Jumat (27/6/2025).
Lucius menyebut bahwa perubahan teknis dalam penyelenggaraan pemilu bukanlah hal yang luar biasa karena hampir selalu terjadi setiap menjelang pemilu.
"Hampir setiap kali pemilu akan ada perubahan mekanisme penyelenggaraan. Jadi biasa saja," ujarnya.
Ia menambahkan, apabila pertimbangan pemisahan jadwal pemilu tidak dianggap penting oleh DPR, pemerintah, partai politik, maupun penyelenggara pemilu.
Lantaran itu, menurut Lucius, putusan MK tersebut hanya akan menjadi sekadar perubahan teknis semata tanpa makna substansial.
"Kalau partai sudah sadar dan punya keinginan untuk berbenah, maka berikutnya mudah mengharapkan DPR dan pemerintah bergerak untuk membahas dari sisi regulasinya," katanya.
Sebelumnya, MK secara resmi memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah ke depan harus dilakukan secara terpisah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Putusan tersebut dibacakan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis, 26 Juni 2025.
Putusan ini merupakan respons atas permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), melalui Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Irmalidarti.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai secara berbeda ke depan.
Selama ini, pemilu nasional dan daerah seringkali digelar secara serentak dalam satu tahun yang sama.
Namun, menurut MK, praktik tersebut menyulitkan proses demokrasi serta menghambat efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Sebelumnya diberitakan, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal yang dipisah dianggap sebagai paradoks.
Khozin mengemukakan bahwa MK telah memberi enam opsi model keserantakan pemilu.
Namun pada putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan.
Ia mengatakan bahwa putusan yang terbaru membatasi model keserentakan yang sebelumnya MK telah memberikan 6 alternatif pilihan.
"Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks," kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/6/2025).
Ia mengatakan, semestinya MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu.
"Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk 'lompat pagar' atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU," tegasnya.
Apalagi, kata Khozin, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.
“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” katanya.
Ia pun menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya.
Menurutnya, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu.
“Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” katanya.
Ia menilai, DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR.
Tag: #putuskan #pemilu #nasional #daerah #dipisah #apakah #demokrasi #benar #benar #membaik