CELIOS dan WALHI Minta Pemerintah Kaji Lagi Dampak Geothermal dalam Rencana Transisi Energi
CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bersama dengan Walhi Nasional, meluncurkan kajian atas dampak PLTP, Selasa (5/3). (Estu Suryowati/JawaPos.com)
23:45
6 Maret 2024

CELIOS dan WALHI Minta Pemerintah Kaji Lagi Dampak Geothermal dalam Rencana Transisi Energi

– Dalam skema teknologi pembangkit listrik rendah emisi, penggunaan panas bumi atau geothermal saat ini sedang banyak disorot. Dalam rencana investasi JETP (Comprehensives Investment and Policy Plan – CIPP) Indonesia, geothermal menduduki posisi nomor satu teknologi pembangkit yang diproyeksikan akan menjadi jawaban dari transisi energi di negara ini.

Tidak kurang dari USD 22,5 miliar dialokasikan demi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Bahkan sejak tahun 2017, Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh Pemerintah RI.

Namun di balik itu, pengembangan panas bumi sebagai sumber listrik baru harus dibayar dengan harga mahal. Proses transisi energi yang seharusnya bersamaan dengan aspek keadilan dan keberlanjutan, pada kenyataannya harus dibayar dengan harga tinggi, yakni kesejahteraan dan keselamatan warga di sekitar proyek.

Pada Februari 2024 silam, tidak kurang dari 101 warga Mandailing Natal dilaporkan keracunan gas yang berasal dari PLTP Sorik Marapi. Tiga tahun sebelumnya, di lokasi dan PLTP yang sama, lima orang bahkan menjadi korban jiwa.

Sementara itu, dari segi lingkungan, ratusan petani di Dieng terganggu mata pencahariannya dikarenakan uap panas dan mata air mereka yang tercemar karena aktivitas PLTP.

Berdasar fakta di atas, CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bersama dengan Walhi Nasional, meluncurkan kajian atas dampak PLTP. Hasil modelling ekonomi yang dilakukan CELIOS dengan metode IRIO (Inter Regional Input-Output) memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar Rp 470 miliar pada tahap pembangunan.

Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai Rp 1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal. Sementara itu, jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.671 orang pada tahun pertama dan 60.700 orang pada tahun kedua.

"Kecenderungan proyek geothermal yang padat modal tidak terlalu membawa dampak berganda terhadap ekonomi lokal. Sebaliknya, bagi ekonomi lokal kehadiran geothermal sering dipandang sebagai penghambat produktivitas di sektor pertanian dan perikanan," kata Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, Selasa (5/3).

Hasil studi menunjukkan kehadiran PLTP pada tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang selama ini menjadi denyut nadi bagi perekonomian masyarakat khususnya di NTT. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, semakin banyak sektor ekonomi yang akan terus menurun sebagai dampak dari proyek PLTP.

"Sebaiknya kerja sama pendanaan internasional seperti JETP (Pendanaan Transisi Energi Berkeadilan) tidak memasukkan PLTP sebagai bagian dari rencana utama mencapai transisi energi. Secara ekonomi, biaya investasi PLTP juga tergolong mahal dan berisiko membebani negara dari sisi subsidi listrik," ungkap Bhima.

Direktur Advokasi Pertambangan CELIOS Wishnu Try Utomo mengungkapkan, yang seringkali luput disadari adalah bahwa perjalanan mengubah geothermal menjadi listrik didapat dari proses ekstraktif yang memerlukan sumber daya yang cukup besar. Menurut Wishnu, restorasi ekologi harus dipandang sebagai bagian integral dari pengembangan sistem energi bersih dan terbarukan, mengingat kehancuran dan kerugian yang ditimbulkan oleh eksploitasi energi fosil selama ini.

"Oleh karena itu, pengadaan energi tidak boleh dijajah oleh kepentingan korporasi dan harus menempatkan masyarakat sebagai pengelola sekaligus penerima manfaat sumber dayanya," kata Wishnu.

Sementara itu, Direktur Panas Bumi, Ditjen EBTKE (Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi), Kementerian ESDM Harris Yahya menyatakan bahwa dalam konteks kesejahteraan bagi masyarakat di sekitar tapak, penting untuk adanya pengkajian yang lebih lanjut terkait pengelolaan hasil pendapatan dari PLTP bagi masyarakat lokal.

Merespons pertanyaan soal merebaknya kasus keracunan gas di sekitar area PLTP, beliau menyatakan pentingnya penyelidikan lebih lanjut. "kami sudah melakukan penyelidikan di area WKP (wilayah kerja panas bumi), namun kami memang belum melakukan penyelidikan di area-area di mana keluhan keracunan itu terjadi," tuturnya.

Salah seorang warga terdampak Proyek Geothermal Dieng, Agung Raihan berpendapat, sebaiknya proyek ekstraksi energi, berbasis ekosentris. "Bukan hanya melihat sesuatu yang berharga di bawah tanah, melainkan sesuatu yang hidup di atasnya juga menjadi bagian penting untuk dipertimbangkan," tuturnya.

Kepala Divisi Kampanye Walhi Nasional, Fanny Tri Jambore Christanto menuturkan, operasi-operasi geothermal yang ada tidak menunjukkan perbedaan fundamental dalam tata kelola energi untuk bisa disebut sebagai bagian dari transisi energi berkeadilan.

"Karena selain masih bercorak eksploitatif, sistem energi geothermal juga berpotensi memperluas konflik agraria, dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat. Selain ancaman-ancaman kebencanaan seperti risiko seismik, penurunan muka tanah dan perubahan bentang alam, kerusakan dan pencemaran sistem-sistem ekologi, serta masih timbulnya emisi gas rumah kaca," pungkasnya.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #celios #walhi #minta #pemerintah #kaji #lagi #dampak #geothermal #dalam #rencana #transisi #energi

KOMENTAR