Pengusaha Tempat Hiburan Kecewa, Pajak Hiburan Naik Drastis, Menparekraf Minta Tunggu Putusan MK
Ilustrasi tenpat hiburan karaoke. Pengusaha hiburan mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan pajak hiburan. 
07:56
18 Januari 2024

Pengusaha Tempat Hiburan Kecewa, Pajak Hiburan Naik Drastis, Menparekraf Minta Tunggu Putusan MK

- Pengusaha hiburan mengaku kecewa dengan kebijakan pemerintah menaikkan pajak hiburan.

Perubahan tarif ini untuk batas bawah (40 persen) dan batas atas (75 persen) untuk tarif pajak hiburan atau pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa pada 2024.

"Kalau pemerintah bilangnya sedang bertumbuh, data dari mana mereka bilang industri hiburan bertumbuh?," ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani saat dihubungi Tribun, Rabu (17/1/2024).

Sebab, menurut Hana, pemasukan negara lewat pajak hiburan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pajak restoran. Bahkan, saat ini pengusaha sudah merasa berat dengan pajak hiburan sebelumnya.

"Jadi pengusaha-pengusaha hiburan banyak sekarang tutup, akhirnya berubah ke kafe-kafe. Jadi dimana bertumbuhnya?," terang Hana.

Selain itu, Asphija mengaku tidak pernah dilibatkan atau diajak diskusi mengenai kenaikan pajak hiburan.

"Tidak pernah dilibatkan. Karena justru itu yang sangat meresahkan buat kami," tambah Hana.

Padahal, menurut Hana, industri hiburan terkena dampak cukup parah saat pandemi Covid 19.

Hampir tiga tahun dalam pengawasan ketat dengan kebijakan-kebijakan pembatasan.

Namun, ketika mulai merangkak pulih, justru diberatkan karena pajak tinggi.

Petugas dan karyawan melakukan simulasi protokol kesehatan Covid-19 di salah satu tempat hiburan malam di Jalan Braga, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/7/2020). Simulasi tersebut sebagai kesiapan penerapan protokol kesehatan di tempat hiburan malam jelang era Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Tribun Jabar/Gani Kurniawan Petugas dan karyawan melakukan simulasi protokol kesehatan Covid-19 di salah satu tempat hiburan malam di Jalan Braga, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (3/7/2020). Simulasi tersebut sebagai kesiapan penerapan protokol kesehatan di tempat hiburan malam jelang era Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Tribun Jabar/Gani Kurniawan (Tribun Jabar/Gani Kurniawan)

"Kalau memang kami diakui, usaha kami diakui sebagai penyumbang terbesar dan memang masih diandalkan oleh pemerintah ini. Artinya kami ini harus didengar," tutur Hana.

Hana menilai, besaran pajak yang sesuai untuk industri hiburan di angka 10 persen. Hal tersebut dinilainya cukup ideal lantaran menyamakan dengan industri restoran.

"Saya berharap bisa 10 persen seperti restoran. Karena memang hiburan itu sudah bergeser. Secara kita lihat sekarang sudah era milenial bahwa hiburan itu sudah menjadi lifestyle dan kebutuhan healing," kata Hana.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi menilai pemerintah tidak arif jika meningkatkan pemasukan negara lewat pajak saat pelaku industri hiburan sedang berusaha bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi negara.

Selain itu menurut Dede, pemerintah harus melibatkan para pelaku industri dalam pembahasannya agar angka yang ditetapkan rasional. Pemerintah, seharusnya tidak sepihak dalam pembahasan penentuan pajak hiburan.

"Kalau naik dengan angka pajak seperti itu, apakah bisa hidup industri hiburan di Indonesia ini? Saya harap kebijakan ini ditinjau ulang," kata Dede.

Sebab, Dede melihat, ketika pandemi berakhir, sektor pariwisata bangkit lebih lama. Tahun 2022 mulai bangkit hingga 2024 memasuki fase 'survive'.

"Kalau naik dengan angka pajak seperti itu, apakah bisa hidup industri hiburan di Indonesia ini? Saya harap kebijakan ini ditinjau ulang oleh pemerintah dengan mempertimbangkan aspirasi para pelaku industri hiburan," terang Dede.

Dede berpandangan, upaya pemerintah untuk menaikan pemasukan negara lewat pajak berpotensi berdampak buruk pada industri pariwisata di Indonesia. Ditambah daya beli masyarakat yang belum naik signifikan.

"Pariwisata di Indonesia juga sedang berusaha bertahan. Oleh karenanya, saya melihat perlu ditinjau ulang jumlah besarannya (persentase pajak hiburan). Kalau ingin meningkatkan pemasukan lewat pajak, perlu diperhatikan aspirasi para pelaku usaha industri hiburan," tutur Dede.

Sandiaga Uno Respon Protes Inul hingga Hotman Paris

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno usai rapat terbatas membahas soal kebijakan bebas visa kunjungan ke Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis, (7/12/2024). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno usai rapat terbatas membahas soal kebijakan bebas visa kunjungan ke Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis, (7/12/2024). (Taufik Ismail)

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan aturan mengenai pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan dari 25 persen menjadi 40 persen hingga 75 persen saat ini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi(MK).

Sebab, kebijakan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Karena itulah Sandiaga meminta semua pihak menunggu putusan dari Mahkamah Konstitusi(MK) terkait uji materi tersebut.

"Permohonan tersebut, masih diproses oleh MK dan kami menunggu jadwal sidang. Jadi yang ingin kami sampaikan, mari kita hentikan dulu polemik," ujar Sandiaga.

Selain itu, ia menyampaikan, pemerintah daerah juga masih membuka peluang untuk diskusi dengan para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif khususnya di sektor hiburan. Jangan sampai kebijakan pemerintah justru menciptakan pemutusan hubungan kerja(PHK).

Sandiaga juga merespon soal protes yang disampaikan Inul Daratista dan Hotman Paris.

Ia membuka ruang diskusi untuk persoalan kenaikan pajak hiburan.

"Saya ngajak Mbak Inul dan Bang Hotman untuk ngopi, ngolah pikiran sehingga kebijakan yang kita gunakan berbasis data bisa justru memperkuat sektor hiburan ini," kata Sandiaga.

Sandiaga menjelaskan, kenaikan di antara 40-75 persen nantinya akan ditentukan oleh Pemerintah Daerah. Jika ditetapkan 40 persen, lanjut dia, hal tersebut perlu dipastikan tidak ada lagi biaya-biaya tambahan yang membebani pengusaha.

"Kami melihat memang di angka 40 persen ini harus jelas. Bahwa kalau 40 persen ini biaya final, tidak ada lagi biaya-biaya siluman, biaya tambahan yang membebani usaha dari para pelaku jasa hiburan ini," kata Sandiaga.

Pemerintah menetapkan batas bawah (40 persen) dan batas atas (75 persen) untuk tarif pajak hiburan atau pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas kegiatan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa pada 2024. Apa alasan Pemerintah?

Ketentuan itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), dan baru mulai berlaku pada 2024.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Lydia Kurniawati menerangkan alasan pemerintah menetapkan batas bawah pajak hiburan atas jasa diskotik hingga spa ialah dikarenakan jasa tersebut tergolong jasa hiburan khusus.

"Jasa diskotek, karaoke, kelab malam, hingga spa, tidak dinikmati oleh masyarakat umum, sehingga diperlukan perlakuan khusus terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk mempertimbangkan rasa keadilan dalam upaya mengendalikan, dipandang perlu untuk menetapkan tarif batas bawahnya," ujar Lydia.

Selain itu, pungutan pajak hiburan untuk jasa diskotek hingga spa sebelumnya juga sudah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. "PBJT ini bukan jenis pajak baru," tambah Lydia.

Hanya saja perbedaannya pada aturan lama pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak hiburan dan hanya mengenakan batas atas, yakni sebesar 75 persen.(Tribun Network/nis/wly)

Editor: Anita K Wardhani

Tag:  #pengusaha #tempat #hiburan #kecewa #pajak #hiburan #naik #drastis #menparekraf #minta #tunggu #putusan

KOMENTAR