Konflik Agus Salim, Antara Niat Baik dan Norma
Oleh Azzahra Arthanindira Sulistyo*
AKHIR-AKHIR ini masyarakat Indonesia disuguhkan dengan perbincangan hangat soal kasus Agus Salim dan Novi Pratiwi atas donasi yang dikerahkan sebagai bentuk empati masyarakat terhadap kejadian yang menimpa Agus Salim.
Singkatnya, kasus ini bermula pada Minggu malam, 1 September 2024. Ketika itu Agus menjadi korban atas penyiraman air keras oleh rekan kerjanya yang berinisial JJS. Saat itu, Agus Salim sedang mengendarai sepeda motor bersama istri. Lalu, tak lama kemudian terdapat motor menyambar sekaligus menyiramkan air keras kepada Agus Salim hingga menembus 3 lapis baju yang ia kenakan. Akibatnya, Agus Salim mengalami luka parah pada bagian wajah dan kehilangan penglihatan sekitar 90 persen. Dokter semula menyatakan akan sulit untuk memulihkannya kembali.
Kejadian yang telah dialami oleh Agus Salim menuai empati masyarakat. Pada akhirnya, dia diundang ke podcast Denny Sumargo melalui perantara Novi Pratiwi, selaku ketua yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan.
Bala bantuan mulai tersalur dari masyarakat melalui Novi Pratiwi kepada Agus Salim dan donasi terkumpul mencapai Rp 500 juta. Akan tetapi, setelah diketahui lebih lanjut, terungkap bahwa dana yang terkumpul mencapai Rp 1,5 miliar. ini sontak membuat Novi dan tim terkejut dan merasa dana tersebut tidak dikelola secara transparan. Bahkan, setelah dilakukan perbincangan, terungkap pula bahwa dana tersebut digunakan untuk hal-hal yang tidak ditujukan pada kesepakatan awal, yakni kebutuhan untuk pengobatan mata Agus.
Melalui podcast Denny Sumargo, Agus Salim beserta keluarganya dan Novi Pratiwi membahas perkara tersebut. Dalam podcast tersebut, Agus Salim dan kerabatnya memberikan pernyataan atas kesalahandugaan yang dianggap oleh Denny Sumargo sebagai “miskomunikasi”.
Pernyataan Agus atas apa yang ia lakukan berasal dari niat baik membantu kerabatnya karena telah menemani Agus di masa-masa terpuruk yang ia alami pascakejadian. Alhasil, pertemuan tersebut menciptakan kelompok-kelompok di masyarakat, ada yang masih turut empati pada Agus. Ada pula kelompok yang kecewa atas kejadian yang di luar nalar tersebut. Bahkan, kelompok masyarakat tersebut terpicu memunculkan petisi yang menuntut dana tersebut dikembalikan kepada yang sekiranya lebih membutuhkan dan dapat mengelola sesuai kesepakatan awal.
Menurut Teori Etika Normatif yang lebih mengerucut ke Deontologi, kekecewaan masyarakat ini dibenarkan. Dalam perspektif Deontologi, kewajiban moral dan tindakan yang benar itu perlu untuk mengacu pada aturan atau norma yang berlaku secara universal. Sudah sewajarnya bahwa norma itu berkaitan dengan banyak pihak atau kepentingan bersama.
Maka dari itu, memang sepatutnya individu bertindak sesuai dengan apa yang telah disepakati. Pada konteks itu, Agus menggunakan donasi bukan sesuai apa yang telah disepakati. Hal ini justru melanggar akan apa yang Deontologi terapkan.
Tentu itu hanya menguntungkan kepentingan pribadi Agus dan keluarga. Padahal niat baik dari banyak orang tersalurkan dari dana tersebut untuk Agus agar cepat pulih dari kejadian yang menimpanya. Masyarakat pun lebih tenang dan senang jika melihat Agus dapat kembali normal.
Akan tetapi, Agus Salim justru mengecewakan banyak orang karena amanah yang telah diberikan kepadanya. Dia tidak dapat mengelola sepenuhnya dengan baik donasi yang diterima. Baik di sini merupakan kepentingan bersama, seperti yang sudah sering dikatakan, yaitu agar Agus sembuh dan kembali normal.
Adapula, tumbuhnya rasa ketidakpercayaan dari Novi yang telah menjembatani donasi masyarakat kepada Agus Salim. Sebenarnya, pihak Novi tidak memberikan keketatan atas donasi yang diberikan kepada Agus. Namun, jika Agus dan keluarga berinisiatif untuk jujur dan transparan atas amanah dari masyarakat itu maka tidak memicu persoalan. Sebab, pada konteks ini Novi mejadi penanggung jawab dana donasi. Bahkan, Novi telah menyatakan pula bahwa donasi ini diutamakan untuk pengobatan Agus. Sisanya baru untuk keleluasaan yang digunakan pada kebutuhan lain.
Saat ini, Agus justru menggunakannya untuk kebutuhan yang lain terlebih dahulu. Bukan yang sesuai kesepakatan dan tidak menginformasikannya terlebih dahulu kepada Novi. Salah satu prinsip moral yang universal, yaitu kejujuran dan transparansi. Hal itu telah dilanggar Agus.
Adopsi dari pandangan Deontologi membuka mata bahwa tidak selamanya yang diniatkan dengan baik akan tertanggung konsekuensi yang baik juga. Buktinya pada kasus Agus, di mana memang benar niat Agus itu baik. Bahkan jika dilihat dari sudut pandang lain, konsekuensi lain yang dihasilkan juga baik, beban yang dipikul keluarga dapat berkurang.
Akan tetapi, apakah sesuai pada moral yang berlaku di masyarakat? Pandangan Deontologi menjawab tidak karena dasarnya perspektif ini menilai tindakan individu berdasarkan pada
prinsip yang berlaku secara universal, sehingga dalam perilakunya dipertimbangkan atas kepentingan bersama, mengedepankan apa yang bermanfaat dan menguntukan bagi banyak pihak. Alhasil, semua akan berjalan dengan baik, semua orang merasa senang, semua orang merasa tidak dirugikan atas apa yang telah terjadi.
Masih banyak dampak sosial dan moral dari pelanggaran Agus terhadap norma yang berlaku, yaitu hubungan sosial Agus dengan masyarakat luas, tidak hanya pada Agus, tetapi banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Adapun, bentuk ketidakhormatan Agus kepada Novi Pratiwi serta masyarakat luas menjadi yang disorot publik, lantaran menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan mereka atas empati kepada Agus yang cukup memprihatinkan, tetapi kasus ini justru membuat mereka berbalik badan hingga melunturkan rasa empati kepada Agus. Meskipun memang kembali lagi Agus hanya berniat baik membantu keluarganya, serta sebagai ucapan terima kasih Agus, tetapi norma yang telah berlaku tetaplah perlu dipatuhi, sesuai pada pandangan Deontologi. (*)
---
*) Azzahra Arthanindira Sulistyo, mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia (UI)