Tambang, Kepala Daerah, dan Hak Publik: Menghindari Konflik Kepentingan
PERUBAHAN besar dalam tata kelola pertambangan terjadi setelah disahkannya UU No. 2 Tahun 2025 sebagai Perubahan Keempat atas UU Minerba, yang semakin menegaskan peran strategis pemerintah daerah dalam pengawasan operasional tambang.
Di saat yang sama, sejumlah kepala daerah di wilayah kaya sumber daya alam memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan tambang.
Fenomena ini menghidupkan kembali perdebatan klasik tentang batas antara kepentingan publik dan kepentingan privat pejabat negara- isu yang tidak hanya menyentuh etika penyelenggaraan negara, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Walaupun setiap daerah menghadapi konteks berbeda, garis besar masalahnya sama: struktur regulasi Indonesia belum memberikan pagar yang cukup kuat untuk mencegah konflik kepentingan, terutama ketika pejabat publik memiliki saham atau hubungan bisnis dengan sektor yang mereka awasi.
Dalam persoalan pertambangan, kerentanan ini berlipat ganda karena menyangkut lingkungan, ruang hidup warga, dan pendapatan asli daerah. Pada titik inilah diskusi tentang tata kelola menjadi sangat relevan bagi publik.
Kelemahan aturan konflik kepentingan
Indonesia sebenarnya memiliki kerangka hukum terkait konflik kepentingan, terutama melalui UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih.
Namun, tidak ada satu pun regulasi yang secara tegas melarang pejabat daerah memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di sektor yang mereka awasi.
Padahal, dalam konteks pertambangan, kepala daerah tetap memegang peran penting dalam pengawasan teknis dan lingkungan berdasarkan UU Minerba hasil perubahan keempat tahun 2025.
Kekosongan norma ini berpotensi menciptakan ruang abu-abu yang melemahkan independensi pengawasan.
Ketika pejabat memiliki kepentingan ekonomi pada entitas yang beroperasi di wilayahnya, keputusan terkait pengawasan dapat menjadi bias.
Dampaknya selalu dirasakan masyarakat: penegakan lingkungan menjadi longgar, persoalan lahan membesar, dan risiko bencana ekologis meningkat.
Di sejumlah kasus, pejabat publik yang memiliki saham atau hubungan bisnis menyatakan kesediaannya untuk abstain dalam pengambilan keputusan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Secara etis, hal ini patut diapresiasi. Namun, secara hukum, mekanisme abstain tidak memiliki rujukan yang jelas.
UU Administrasi Pemerintahan mewajibkan pejabat menghindari konflik kepentingan, tetapi tidak mengatur tata cara bagaimana abstain harus dilakukan:
- Apakah cukup melalui surat pernyataan?
- Apakah perlu notulensi formal?
- Siapa yang mengawasi?
- Bagaimana publik tahu bahwa pejabat benar-benar tidak terlibat?
Ketiadaan prosedur yang ketat membuka ruang keraguan. Pada akhirnya, publik tetap memikul risiko apabila keputusan strategis tidak memiliki jaminan transparansi.
Laporan harta kekayaan melalui LHKPN menjadi instrumen penting untuk memastikan keterbukaan kepemilikan saham.
Namun, sistem ini tidak otomatis melalui audit substantif oleh lembaga independen. KPK memang memverifikasi administrasi, tetapi tidak menilai apakah kepemilikan saham pejabat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dalam sektor tertentu.
Dalam konteks daerah tambang, keterbatasan ini sangat krusial. Tanpa verifikasi mendalam, publik sulit memastikan bahwa pejabat yang melaporkan kepemilikan saham benar-benar menjaga jarak dari urusan kebijakan yang dapat memengaruhi perusahaan tersebut.
Ketidakpastian inilah yang sering memicu kecurigaan dan memperburuk kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Risiko utama konflik kepentingan muncul ketika pejabat memiliki pengaruh langsung terhadap regulasi, pengawasan, atau rekomendasi teknis yang berdampak pada perusahaan yang terhubung dengan dirinya.
Dalam sektor tambang, potensi ini tinggi karena keputusan terkait AMDAL, pemantauan lingkungan, dan penyelesaian sengketa lahan sering kali berada di tingkat daerah.
Tanpa firewall institusional—misalnya larangan kepemilikan saham di sektor tertentu bagi pejabat eksekutif—batas antara domain publik dan privat menjadi kabur.
Situasi ini tidak hanya rawan menghasilkan kebijakan yang bias, tetapi juga membuat masyarakat kehilangan jaminan bahwa keselamatan lingkungan dan sosial mereka diutamakan.
"Regulatory Capture" di daerah kaya SDA
Daerah dengan intensitas tambang tinggi, seperti Maluku Utara, Sulawesi Tengah, atau Kalimantan Timur, sangat rentan mengalami regulatory capture—yaitu ketika kebijakan publik lebih dipengaruhi kepentingan korporasi atau elite dibandingkan kepentingan masyarakat umum.
Hal ini bisa terjadi bahkan ketika pejabat daerah telah mengambil langkah-langkah korektif, seperti mundur dari kepengurusan perusahaan atau menyatakan kesediaan untuk abstain.
Di Maluku Utara, misalnya, diskusi publik menghangat setelah laporan-laporan media menyebut Gubernur Sherly Tjoanda memiliki saham di perusahaan tambang yang telah berdiri dan beroperasi sebelum ia menjabat.
Gubernur telah menyampaikan bahwa ia mundur dari kepengurusan sebelum dilantik dan akan abstain apabila ada potensi konflik kepentingan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan terletak pada integritas personal semata, melainkan pada ketiadaan sistem tata kelola yang memadai untuk memastikan objektivitas kebijakan di sektor sumber daya alam.
Inilah akar persoalan yang harus dilihat sebagai masalah struktural, bukan individual. Selama tidak ada pengaturan yang tegas, risiko regulatory capture tetap membayangi masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah operasi tambang.
Untuk melindungi masyarakat dan memastikan pengelolaan SDA berjalan adil, beberapa langkah reformasi penting dilakukan :
Pertama, membuat aturan tegas mengenai kepemilikan saham pejabat publik, terutama dalam industri ekstraktif.
Kedua, menyusun mekanisme abstain yang formal, terukur, terdokumentasi, dan terbuka bagi publik.
Ketiga, menguatkan audit substantif LHKPN, khusus untuk pejabat di sektor SDA.
Keempat, membangun firewall institusional, agar pejabat eksekutif tidak dapat membuat keputusan yang berdampak pada perusahaan tempat ia memiliki kepentingan ekonomi.
Kelima, melibatkan masyarakat dalam pengawasan tambang, sehingga dampak sosial dan ekologis tidak diabaikan.
Langkah-langkah ini bukan hanya mencegah penyalahgunaan kewenangan, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik bahwa pejabat menjalankan amanah dengan integritas.
Pada akhirnya, pengelolaan tambang bukan sekadar soal izin dan investasi. Ia menyangkut hajat hidup orang banyak: lingkungan, kesehatan, dan masa depan warga.
Karena itu, ketika pejabat publik memiliki hubungan ekonomi dengan sektor yang diawasi, maka standar integritas dan mekanisme pengawasan harus ditingkatkan, bukan dibiarkan berjalan seperti biasa.
Hanya dengan tata kelola yang kuat, masyarakat dapat yakin bahwa kepentingan mereka berdiri tegak di atas kepentingan siapa pun.
Tag: #tambang #kepala #daerah #publik #menghindari #konflik #kepentingan