Pameran “Per’EMPU’an” Soroti Kaum Hawa sebagai Penjaga Pengetahuan Nusantara
Pameran seni rupa bertajuk Per’EMPU’an resmi dibuka di Amuya Gallery, Kemayoran, Jakarta Pusat. Gelaran yang diinisiasi Fakultas Desain dan Seni Kreatif Universitas Mercu Buana (FDSK UMB) ini mengangkat peran kaum hawa sebagai figur empu modern, penjaga pengetahuan dan pemakna budaya Nusantara.
Kurator menjelaskan bahwa istilah empu dalam tradisi Jawa tidak hanya merujuk pada ahli keris atau manuskrip, tetapi juga sosok yang dihormati karena keluasan ilmu dan kearifan. “Kami ingin membaca ulang konsep empu untuk melihat perempuan masa kini sebagai pencipta makna dan pemikul peradaban,” ujar kurator dalam pembukaan.
Kehadiran perupa senior Irma Hardisurya memperkuat fondasi historis gagasan tersebut. Karyanya, Kursiku, Singgasanaku (2023), memotret ruang personal perempuan sebagai wilayah otonomi yang memberi legitimasi atas kepakaran dan kebijaksanaan.
Sejumlah karya lain menegaskan perempuan sebagai penjaga tradisi. Melalui dokumenter Peramu Jamu, Rika Hindraruminggar menyoroti ritual meracik jamu yang diwariskan lintas generasi. Wilsa Pratiwi lewat ilustrasi Dari Dapur ke Budaya menempatkan dapur sebagai ruang pelestarian identitas kuliner Nusantara. Adapun Mira Zulia Suriastuti dalam Leluri Rupa Perempuan menggunakan medium kayu untuk merekam jejak gerak perempuan dalam benda-benda sehari-hari.
Fatimah Yasmin Hasni melalui karya Secarik Kenangan, Aroma Kain menampilkan aroma kain dan simbol gawangan ukir sebagai penanda pentingnya peran perempuan dalam keberlanjutan tradisi batik.
Penafsiran kontemporer muncul lewat eksplorasi identitas dan tubuh. Anggi Dwi Astuti memadukan tradisi dan mode adibusana sebagai pernyataan negosiasi makna diri perempuan masa kini. Sementara itu, patung berkepala ganda berwarna biru kobalt karya Nina Maftukha mematahkan stereotip perempuan ideal.
Kritik sosial turut hadir dalam karya Nukke Sylvia yang menampilkan figur Janin Emas sebagai metafora pengambilalihan identitas dalam kapitalisme. Chandrarezky Permatasari melalui Air Mata Pertiwi menggugat simbolisasi Ibu Pertiwi yang kerap membebani tubuh perempuan sebagai representasi bangsa.
Nuansa spiritual dan mitologis disajikan lewat Mythos karya Dwi Susilawati, yang menggambarkan perempuan sebagai dewi penjaga siklus kehidupan. Vania Aqmarani Sulaiman memaknai perempuan sebagai empu kontemporer melalui perhiasan logam bertema “seribu peran dalam satu jiwa.”
Sebagai penutup, video art CINTA karya Novena Ulita menempatkan dapur sebagai ruang perubahan, menegaskan bahwa transformasi besar sering berawal dari tindakan kecil dalam keseharian perempuan.
Pameran Per’EMPU’an menampilkan pembacaan baru atas kiprah perempuan dalam merawat, menafsirkan, dan membentuk kebudayaan Nusantara melalui berbagai medium artistik. (*)
Tag: #pameran #perempuan #soroti #kaum #hawa #sebagai #penjaga #pengetahuan #nusantara