Ancaman Pandemi Besar Bernama Antibiotik
Resistansi akibat penggunaan antibiotik serampangan bisa memicu kematian 10–39 juta orang pada 2050. Puskesmas dan posyandu bisa jadi garda depan untuk kampanye pencegahan.
FERLYNDA PUTRI, Jakarta-FAHMI SAMASTUTI, Surabaya
---
SIAPA yang tak keder dengan fakta-fakta ini: estimasi 10–39 juta kematian sampai 2050, USD 100 triliun untuk penanganan, prevalensi yang meningkat, dan perekonomian yang terdampak. Sebuah pandemi besar membayang jika satu hal ini tak segera diberi perhatian serius.
Apa itu? Resistansi antibiotik! Angka 10 juta kematian tersebut disampaikan Ketua Departemen Hubungan Lembaga Pemerintah Pengurus Besar (PB) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Soroy Lordo SpPD KPTI FINASIM. Tapi, merujuk studi Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington yang dipublikasikan pada September lalu, angkanya bahkan diperkirakan lebih mengerikan lagi: 39 juta.
Sedangkan ekonom Inggris Jim O’Neill memprediksi, pada 2050, butuh USD 100 triliun untuk menangani bakteri resistan. Yang bakal paling terbebani tentu saja negara miskin lantaran penanganan infeksinya lebih kompleks dibandingkan negara maju.
”Ini jika antibiotik tidak dikelola dengan baik,” kata Soroy dalam ajang yang dihelat PB IDI secara daring Kamis (28/11) lalu.
Yang mengkhawatirkan, mengutip hasil surveilans dari 80 rumah sakit yang divalidasi Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, Ketua Purna Komite Pengendalian Resistansi Antimikroba Kemenkes Dr dr Hari Paraton SpOG(K) menyebut prevalensi bakteri resistan di Indonesia naik drastis. Dari sekitar 50–60 persen pada 2019 kini di kisaran 77 persen.
Pandemi Covid-19 juga disebut Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Rizka Andalucia menyebabkan peningkatan penggunaan antibiotik. Dia mencontohkan pemakaian azithromycin.
Sebelumnya, dokter hati-hati meresepkan. ’’Tapi, setelah pandemi Covid-19 terjadi, orang dengan mudahnya mencari azithromycin untuk mengobati flu ringan,” tuturnya.
Mikroba Mutasi
E, seorang ibu tiga anak di Surabaya, mengaku tiap kali membawa buah hati berobat ke dokter anak hampir selalu mendapat antibiotik. Terutama jika radang.
’’Kalau tidak ada antibiotiknya, biasanya panas atau demamnya tak turun-turun,” tuturnya kepada Jawa Pos.
Menurut dr Fauna Herawati SSi MFarm-Klin Apt, dalam penelitiannya pada 2020, banyak orang yang masih mengonsumsi antibiotik secara sembarangan karena belum memahami risiko kematian akibat infeksi bakteri resistan.
”Pasien yang merasa pusing, demam, atau reaksi inflamasi lainnya sering merasa pulih akibat konsumsi antibiotik. Jadi, mereka merasa disembuhkan oleh itu,” kata dosen Fakultas Farmasi Universitas Surabaya itu.
Resistansi antimikroba atau resistansi antibiotik menyebabkan berkurangnya kepekaan patogen atau mikroba terhadap antibiotik.
Mikroba sebagai makhluk hidup, tambah Soroy, akan melakukan adaptasi dengan mutasi. Dia mengistilahkan mikroba yang sering diberi antibiotik sembarangan layaknya petinju yang sering dilatih.
Mikroba tentu tidak ingin spesiesnya mati karena itu bermutasi. Akhirnya, ’’si petinju” pun jadi kuat (baca: resistan terhadap antibiotik).
Kasus resistansi pertama tercatat pada 1940-an, yang ironisnya ditemukan oleh penemu penisilin Alexander Fleming. ’’Bakteri yang tadinya mati oleh penisilin, ada yang tak mati dan menimbulkan infeksi. Bakteri ini lalu bermutasi sebagai bentuk adaptasi,” ujar Hari.
Mikroba makin resistan hingga di satu titik berkembang menjadi superbac. Alias bakteri yang super resistan hampir dengan seluruh jenis antibiotik.
Hari menambahkan, resistansi antibiotik juga diperkirakan bisa menciptakan grand pandemic atau pandemi besar yang skalanya jauh lebih besar ketimbang Covid-19. Karena itu, pada 2024, Bank Dunia bahkan mencanangkan program stop the grand pandemic.
Indonesia juga telah melakukan deteksi bakteri resistan sejak 2000 lewat riset Antimicrobial Resistance in Indonesia (Amrin). Penelitian yang dilaksanakan di RSUD dr Soetomo Surabaya dan RSUP dr Kariadi Semarang itu membuktikan, bakteri resistan menimbulkan masalah.
’’Covid, angka kematiannya hanya 2,6 juta orang per tahun. Sementara, ada sekitar 10 juta kematian akibat bakteri resistan, baik yang berupa infeksi primer maupun infeksi yang dipicu karena ’menumpang’ penyakit metabolik seperti stroke dan diabetes,” katanya.
Sebenarnya, untuk menentukan suatu penyakit dipicu bakteri, perlu ada pemeriksaan laboratorium mikrobiologi. ’’Nanah, darah, urine bisa diambil sampelnya, dibiakkan, lalu dicari tahu, ini infeksi karena apa? Bakterinya resistan atau tidak?” papar Hari.
Tanpa pengecekan tersebut, pemberian antibiotik bisa tidak tepat sasaran. Misal, bakteri A diberi antibiotik yang tidak tepat. ”Akhirnya enggak manjur. Malah terjadi cross resistance, di mana bakteri ini resistan dengan banyak jenis antibiotik,” imbuhnya.
Beragam Aksi
Indonesia sebenarnya sudah punya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Nomor 7 Tahun 2921 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba 2020–2024 sebagai payung hukum. Kepedulian terhadap antibiotik, kata Soroy, juga telah lama muncul.
”Sayangnya, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tidak dilakukan secara konsisten,” imbuhnya.
Lewat riset Amrin, terang Hari, Kemenkes mencanangkan program pengendalian resistansi antimikroba pada 2015 yang masih aktif hingga saat ini. Melalui program tersebut, pemerintah melaksanakan global action plan WHO yang di antaranya juga meliputi pengawasan penggunaan antibiotik di peternakan, pertanian, dan perkebunan.
Namun, mengandalkan pemerintah saja jelas tak cukup. Masyarakat juga kudu aktif terlibat, salah satunya dengan menjaga imunitas tubuh. Baik dengan pola hidup sehat, melakukan vaksinasi wajib, maupun menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
Fauna menambahkan, kalaupun diresepkan antibiotik, patuhi petunjuk konsumsi obat. Dia mengingatkan untuk tidak membeli dan mengonsumsi antibiotik di luar resep dokter. Meski, gejala yang dirasakan sama. ”Meski keluhannya sama, misal demam, penyebabnya bisa jadi berbeda. Sehingga, obat yang diperlukan pun tidak sama,” imbuhnya.
Adapun Soroy mengusulkan untuk menempatkan puskesmas dan posyandu sebagai garda terdepan dalam melakukan edukasi. ”Masyarakat butuh pendampingan,” katanya. (*/c6/ttg)