500 Ribu Perceraian Terjadi Setiap Tahun, Kepala BKKBN Beberkan Pentingnya Hamil di Usia Ideal
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dokter Hasto, secara ilmiah membeberkan mengapa usia ideal perempuan untuk hamil direntang usia 20 hingga 35 tahun.
“Secara ilmiah, ibu hamil kalau sudah di atas 35 tahun disebut hamil risiko tinggi. Sehingga jabatannya itu naik jadi KRT (Kehamilan Risiko Tinggi). Jadi, di atas 35 tahun kalau hamil memang sudah masuk dalam risiko-risiko. Karena puncak kejayaan manusia itu usia 32 tahun,” ujar dokter Hasto ketika memberikan sambutan pada acara Silaturahmi BKKBN Bersama Tim Pendamping Keluarga (TPK), Keluarga Berisiko Stunting (KRS) dan masyarakat, bertempat di Masjid Adzuriyah BKKBN Pusat, Jakarta, (02/04).
Namun, menurut Hasto yang juga dokter kandungan, jika hamil di atas usia 35 tahun, sebelum hamil sebaiknya calon ibu harus melakukan beberapa pemeriksaan kesehatan.
"Tips-nya gini, sebelum hamil cek gula darah, cek tensi, cek Hipertiroid (hormon). Karena semakin tua biasanya gula darahnya naik. Dalam keadaan seperti itu kalau hamil berbahaya untuk ibu dan bayinya," jelasnya.
Namun, lanjut Hasto, Ada orang yang begitu 35 tahun jantungnya sudah agak nggak beres. Maka, kalau usia sudah 35 tahun, jantungnya harus dicek dulu sebelum hamil. Karena orang hamil beban jantung yang terberat di umur kehamilan 32 minggu. "Jadi, kalau hamil 1 bulan, 2 bulan, masih enteng. Begitu hamil 32 minggu atau kira-kira tujuh bulan sesak nafas,” tegasnya.
Dalam paparannya itu, Hasto juga menegaskan bahwa ia sama sekali tidak melarang orang hamil.
"Maknanya, sadar bahwa Anda termasuk kelompok berisiko,” tambah dokter Hasto.
Lebih lanjut ia juga menuturkan tentang peran ayah pada penurunan stunting, dalam hal ini terkait dengan cuti suami. "Suami cuti melahirkan itu salah satu yang juga mendukung (penurunan stunting)," ujarnya.
Karena itu, ia menilai layak suami diberikan cuti seminggu sebelum hari perkiraan lahir (HPL). Sehingga menjelang kelahiran, istri berada dalam kondisi tenang karena didampingi suami.
"Cuti suami saat istri melahirkan setidaknya selama tiga minggu, satu minggu sebelum HPL dan dua minggu setelahnya," jelasanya.
Sebab, setelah melahirkan sebaiknya suami bisa mendampingi istri sampai 10 hari. Apa dasar ilmiahnya 10 hari? Sebab puncak perempuan mengalami 'postpartum blues' atau stress, depresi, neurosa, cemas, psikosa setelah melahirkan pada hari ke-3 sampai ke-10.
"Gejala seorang ibu pasca persalinan yang mengalami stres berat. Dia bisa tersenyum sendiri, berbicara sendiri, menangis sendiri. Jadi, pada saat masa sulit, saat ibu stress hari 3-10, menyusuinya belum sukses, kadang payudaranya bengkak, nyeri, alangkah indahnya suami mendampingi," terangnya.
Hasto juga menyinggung soal orangtua yang bercerai yang bisa mengakibatkan anak tidak terurus dengan baik. Sehingga parentingnya menjadi tidak baik. Salah satu penyebab stunting karena anak tidak bahagia. "Kalau anak tidak happy, makannya nggak bagus,” ungkap dokter Hasto.
Menurutnya, anak yang hidup dalam keluarga broken home memiliki ketahanan yang lemah. Karena salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Keluarga (iBangga) adalah ketenteraman. Jika perceraian tinggi, maka ketenteraman akan turun.
“Indeks Pembangunan Keluarga bisa turun kalau seandainya banyak perceraian. Itu dampak terhadap indeks ya, tetapi dampak bagi keluarga sendiri adalah broken home,” ujar dokter Hasto, seraya menyatakan keprihatinannya bahwa angka perceraian semakin meningkat. Data yang dimiliki dokter Hasto menunjukkan belakangan ini lebih dari 500 ribu perceraian terjadi setiap tahun.
Tag: #ribu #perceraian #terjadi #setiap #tahun #kepala #bkkbn #beberkan #pentingnya #hamil #usia #ideal