Pengarusutamaan Gender Menuju Pemerintahan yang Inklusif, Bias Gender Masih Menghantui Kepemimpinan Perempuan
Ratusan perempuan tergabung dalam dari berbagai organisasi melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (8/3/2024). (DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM)
09:32
11 Maret 2024

Pengarusutamaan Gender Menuju Pemerintahan yang Inklusif, Bias Gender Masih Menghantui Kepemimpinan Perempuan

International Women’s Day (IWD) 2024 mengusung tema besar Inspire Inclusion. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi bagian dari IWD sejak 1975 menerjemahkan campaign tersebut dalam berbagai perayaan bertajuk Investing in Women: Accelerate Progress di seluruh dunia. Seberapa besarkah peran perempuan dalam mewujudkan pemerintahan inklusif di Indonesia?

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat bertambahnya peran perempuan dalam politik Indonesia. Belakangan, ada banyak perempuan yang menduduki jabatan strategis pemerintahan. Kendati kenaikannya belum signifikan, capaian itu layak dicatat sebagai kemajuan.

Meski demikian, Kemen PPPA masih punya tugas berat untuk terus menyosialisasikan pengarusutamaan gender kepada lembaga-lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. ”Masih ada bias gender dalam pemahaman sebagian pejabat mengenai peran perempuan di jabatan-jabatan strategis,” kata Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender Bidang Politik dan Hukum Kemen PPPA Iip Ilham Firman kepada Jawa Pos kemarin (9/3).

Dia menjelaskan, salah satu bentuk bias gender yang dimaksudkannya adalah stereotipe. Sebagian besar pejabat masih menganggap laki-laki lebih pantas menduduki posisi-posisi tertentu ketimbang perempuan. Ada berbagai alasan yang dikemukakan untuk mengecilkan peran perempuan hanya karena dia terlahir bukan sebagai laki-laki.

Di tingkat daerah, misalnya. Jabatan kepala dinas PU dan permukiman atau kepala dinas perhubungan hampir selalu dipercayakan kepada laki-laki. Alasan utamanya adalah jabatan itu terlalu ”keras” dan terlalu berat untuk diemban perempuan. Padahal, aparatur sipil negara (ASN) perempuan punya kompetensi yang sama dengan laki-laki untuk menjadi kepala dinas PU dan permukiman atau kepala dinas perhubungan.

Ratusan perempuan tergabung dalam dari berbagai organisasi melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Monas, Jakarta, Jumat (8/3/2024). (DERY RIDWANSAH/ JAWAPOS.COM)

Kompetensi perempuan, menurut Iip, kemudian dikesampingkan lantaran jenis kelamin semata. Perempuan menjadi korban diskriminasi gender. Situasi yang sama terjadi di tingkat jabatan politik seperti gubernur atau bupati dan wali kota.

Data KPU dalam pilkada 2020 mencatat, ada 159 perempuan yang mendaftar dalam kontestasi politik daerah. Jumlah pendaftar laki-laki mencapai 1.323 calon. ”Baru 10,73 persen perempuan yang ikut berpartisipasi,” ungkap Iip. Namun, jumlah itu sudah lebih baik ketimbang persentase pada tahun-tahun sebelumnya.

Terpisah, data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) pada semester I 2023 menunjukkan tren yang unik. Untuk jabatan pemerintahan kategori lower-level dan pengawasan, jumlah perempuan masih relatif seimbang dengan laki-laki. Namun, pada level yang lebih tinggi seperti administrator ke atas, jumlah laki-laki mendominasi. Untuk jabatan pimpinan tinggi (JPT) utama, misalnya. Ada tujuh posisi yang diisi laki-laki dan hanya dua yang diisi perempuan. Demikian pula JPT madya. Sebanyak 546 pejabatnya adalah laki-laki dan hanya 90 pejabat perempuan.

Kondisi itulah yang membuat Kemen PPPA terus menyosialisasikan pengarusutamaan gender. Khususnya untuk mendorong tumbuhnya jumlah perempuan yang duduk di jabatan strategis. Salah satu caranya adalah meminta pemimpin daerah untuk tetap melakukan asesmen terukur dan penilaian yang sesuai dengan perundangan terkait promosi jabatan.

”Tentu dengan tidak mendasarkannya pada bias gender. Jadi, akan semakin terbuka kesempatan bagi perempuan untuk mengakses jabatan-jabatan strategis di level birokrasi,” papar Iip.

Peluang itu tentunya juga harus didorong hingga ke level pemimpin. Duduknya Sri Wahyuni sebagai Sekdaprov Kalimantan Timur atau Hevearita Gunaryanti Rahayu sebagai wali kota Semarang menjadi sinyal baik menuju pemerintahan yang inklusif. Sebelumnya, ada Khofifah Indar Parawansa yang memimpin Jawa Timur dan Tri Rismaharini yang memimpin Surabaya.

Iip mengungkapkan, pemimpin perempuan punya daya tarik tersendiri di mata publik. Penelitian Cakra Wikara Indonesia 2021 mencatat beberapa ciri kepemimpinan perempuan. Salah satunya adalah kemampuan menerapkan pembenahan birokrasi secara gradual. Pemimpin perempuan juga punya ketelitian dan sikap hati-hati. Mereka juga relatif lebih taat pada peraturan yang berlaku.

”Di beberapa daerah, para pemimpin perempuannya juga memperhatikan kesejahteraan pegawainya,” ungkap Iip. Selain itu, pemimpin perempuan tak segan menghukum jika memang pegawainya melakukan kesalahan. Kombinasi sifat dan karakter itu menjadi potensi besar sekaligus kekuatan perempuan untuk menjadi pemimpin yang berkualitas. (elo/c14/hep)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #pengarusutamaan #gender #menuju #pemerintahan #yang #inklusif #bias #gender #masih #menghantui #kepemimpinan #perempuan

KOMENTAR