Apa Itu Solusi Dua Negara untuk Penyesesaian Konflik Palestina?
Kepulan asap mengepul di atas Khan Yunis dari Rafah di jalur Gaza selatan selama pengeboman Israel pada 8 Januari 2024 di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas Palestina.(AFP)
11:48
23 Januari 2024

Apa Itu Solusi Dua Negara untuk Penyesesaian Konflik Palestina?

PEMIMPIN dan pemerintahan sejumlah negara di dunia kembali menyuarakan solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Palestina. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, Senin (22/1/2023), misalnya, mengatakan bahwa Israel tidak dapat membangun perdamaian hanya dengan cara militer. Borrell mengusulkan solusi dua negara. Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, juga telah menyuarakan gagasan itu: solusi dua negara.

Namun, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah berkali-kali menegaskan penolakannya terhadap usulan pembentukan negara Palestina. 

Apa itu solusi dua negara dan bagaimana sejarahnya?

Secara sederhana, solusi dua negara adalah pembentukan negara Palestina di samping Israel. Solusi itu diharapkan akan mengakhiri konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Jadi, akan ada dua negara di lokasi antara Sungai Yordan dan Laut Tengah.

Solusi dua negara yang diusulkan Perjanjian Oslo tahu 1993 itu lahir dari serangkaian peristiwa sejarah.

Setelah runtuhnya Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, orang Yahudi maupun Arab mengklaim hak penentuan nasib sendiri di Palestina. Usulan pertama pembentukan negara Yahudi dan Arab di wilayah Mandat Inggris di Palestina dibuat dalam laporan Komisi Peel tahun 1937. Dalam usulan itu, Yerusalem tidak dibagi.

Berdasarkan rencana tersebut, orang-orang Palestina hanya mendapatkan tanah-tanah tandus, termasuk Gurun Negev, dan area saat ini dikenal sebagai Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sementara sebagian besar garis pantai dan beberapa tanah pertanian paling subur di Galilea diberikan kepada orang Yahudi.

Usulan itu ditolak oleh komunitas Arab Palestina, dan diterima oleh sebagian besar komunitas Yahudi.

Pembagian wilayah wilayah Palestina kembali diusulkan dalam Rencana Pembagian PBB tahun 1947. Rencana tersebut mengusulkan pembagian dalam tiga bagian. Lagi-lagi Yerusalem ditangani secara terpisah, di bawah kontrol internasional. Rencana pembagian diterima oleh Badan Yahudi untuk Palestina dan sebagian besar faksi Zionis yang melihat proposal itu sebagai batu loncatan untuk ekspansi wilayah pada waktu yang tepat.

Namun Komite Tinggi Arab, Liga Arab dan pemimpin serta pemerintah Arab lainnya, menolaknya dengan alasan bahwa orang Arab merupakan mayoritas dua pertiga dari populasi dan harus memiliki sebagian besar tanah. Mereka juga menunjukkan ketidakmauan untuk menerima bentuk pembagian wilayah, dengan berargumen bahwa hal tersebut melanggar prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri berdasarkan Piagam PBB.

Mereka mengumumkan niatnya untuk mengambil semua langkah yang diperlukan guna mencegah pelaksanaan resolusi itu. Akibatnya, perang saudara pecah di Palestina dan rencana tersebut tidak dilaksanakan.

Negara Israel kemudian berdiri tahun 1948. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza masing-masing kemudian berada di bawah kendali Yordania dan Mesir.

Namun dalam Perang Enam Hari tahun 1967, Israel menaklukkan dan menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan wilayah-wilayah Arab lainnya. 

Gagasan solusi dua negara telah menjadi kebijakan yang paling luas diterima secara internasional, meskipun orang-orang Israel dan Palestina semakin melihatnya sebagai sesuatu yang mustahil.

Mengapa solusi dua sulit dicapai?

Pendudukan Israel merupakan isu kunci yang mencegah orang-orang Palestina membentuk negara mereka sendiri. Israel memegang kendali atas wilayah Palestina (Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur) pada tahun 1967 dan warga Palestina telah hidup di bawah pemerintahan militer sejak saat itu. Upaya mediasi internasional sejak 1990-an gagal mengubah status quo.

Bahkan jika pendudukan berakhir, hanya tinggal sedikit tanah yang tersedia bagi orang-orang Palestina untuk membangun negara. Orang-orang Yahudi yang tinggal di permukiman Israel di wilayah Palestina kini mencapai 700.000 orang.

Selain itu, jika pun Israel dipaksa untuk mengakhiri pemerintahan militernya di lokasi itu, orang-orang Palestina sendiri sudah sangat terpecah. Kelompok seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diakui secara internasional mendukung solusi dua negara, sementara gerakan Islamis Hamas ingin penghancuran Israel.

Apakah penolakan Netanyahu sesuatu yang baru?

Tidak. Netanyahu yang menjadi Perdana Menteri Israel dengan masa jabatan terpanjang itu tidak pernah menerima gagasan negara Palestina.

Tahun 2009, Netanyahu mengatakan "negara Palestina" secara teoritis bisa berdampingan dengan Israel, tetapi kondisinya akan begitu ketat sehingga tidak akan dianggap sebagai negara berdaulat, tanpa militer atau kontrol atas wilayah udaranya sendiri.

Tahun 2017, ia mengatakan Palestina bisa memiliki "negara minus". Sementara para politisi Israel berbicara tentang mempertahankan "kontrol keamanan" atas semua wilayah itu, yang oleh orang Palestina dilihat sebagai pengawasan.

Bagaimana dengan Proposal Satu Negara"?

Banyak orang Palestina dan sejumlah orang Israel kini menganjurkan "solusi satu negara". Dalam konsep itu sebuah negara sekuler binasional diciptakan.

Pemerintah Israel menilai hal itu tidak dapat diterima karena pada dasarnya akan menjadi akhir dari negara Yahudi. Soalnya, mereka secara demograif tidak akan menduduki posisi mayoritas dalam "solusi satu negara".

Orang-orang Palestina dan pendukungnya, dan bahkan beberapa kaum Zionis yang ingin Israel mengubah kebijakannya, mengatakan situasi saat ini pada dasarnya adalah "kenyataan satu negara". Namun Israel memiliki kontrol besar dengan menerapkan rezim apartheid, membedakan hak warganya berdasarkan ras. Israel mengecam klaim apartheid itu dan menyebutnya sebagai "fiktif".

Tag:  #solusi #negara #untuk #penyesesaian #konflik #palestina

KOMENTAR