Pemerintah Setop Insentif Mobil Listrik, Harga Moblis Bakal Makin Mahal?
Ilustrasi pekerja sedang merakit mobil di sebuah pabrik otomotif. [Antara]
15:01
19 Desember 2025

Pemerintah Setop Insentif Mobil Listrik, Harga Moblis Bakal Makin Mahal?

Baca 10 detik
  • Pemerintah Indonesia mengindikasikan subsidi besar untuk kendaraan listrik tidak diperpanjang.
  • Anggaran subsidi EV akan dialihkan untuk mendukung pengembangan dan kemandirian produksi Mobil Nasional (Mobnas).
  • Penghentian insentif, termasuk pembebasan PPN DTP dan PPnBM, diprediksi menyebabkan lonjakan harga jual mobil listrik.

Subsidi besar-besaran untuk kendaraan listrik (EV) di Indonesia tampaknya akan segera menemui titik akhir. Pemerintah memberikan sinyal kuat bahwa berbagai insentif fiskal yang selama ini dinikmati oleh produsen dan konsumen mobil listrik tidak akan diperpanjang pada tahun anggaran 2025.

Kebijakan ini tentu menjadi sorotan tajam bagi masyarakat, terutama kalangan profesional muda di kota-kota besar yang sedang menimbang untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa anggaran yang semula dialokasikan untuk merangsang pasar mobil listrik akan diputar haluan.

Pemerintah berencana mengalihkan dana tersebut untuk mendukung pengembangan Mobil Nasional (Mobnas).

Pergeseran kebijakan ini menandai babak baru dalam strategi industri otomotif tanah air, yang kini lebih menitikberatkan pada kemandirian produksi domestik daripada sekadar adopsi teknologi impor.

Daftar Insentif yang Terancam Berhenti

Selama ini, harga mobil listrik di Indonesia bisa ditekan agar kompetitif dengan mobil bermesin pembakaran internal (ICE) berkat "karpet merah" perpajakan.

Jika insentif ini dihapus, harga jual kendaraan listrik di dealer diprediksi akan melonjak signifikan. Berikut adalah rincian subsidi pajak yang saat ini masih berlaku namun terancam disetop:

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) DTP 10 Persen

Salah satu insentif yang paling dirasakan langsung oleh pembeli adalah PPN Ditanggung Pemerintah (DTP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12 Tahun 2025, pemerintah menanggung 10 persen dari total 12 persen PPN yang seharusnya dibayar konsumen.

Artinya, pembeli hanya perlu membayar PPN sebesar 2 persen. Namun, fasilitas ini tidak diberikan kepada semua merek.

Hanya mobil listrik yang diproduksi secara lokal dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen yang berhak mendapatkannya. Sejauh ini, pabrikan besar seperti Hyundai, Wuling, Chery, MG, dan Neta telah memanfaatkan skema ini untuk memikat pasar Indonesia.

2. Pembebasan Bea Masuk CBU (Impor Utuh)

Pemerintah juga memberikan kelonggaran luar biasa bagi merek baru yang ingin menjajaki pasar Indonesia melalui jalur impor utuh atau Completely Built Up (CBU).

Secara normal, mobil impor dikenakan bea masuk sebesar 50 persen. Namun, melalui program insentif saat ini, tarif tersebut dipangkas menjadi 0 persen.

Fasilitas ini diberikan dengan syarat yang cukup ketat. Produsen wajib memberikan komitmen investasi berupa produksi lokal di masa depan dengan rasio 1:1.

Artinya, jumlah mobil yang diimpor tanpa bea masuk harus diganti dengan jumlah produksi lokal yang sama dalam periode 1 Januari 2026 hingga 31 Desember 2027.

Sebanyak enam pabrikan telah menyanggupi komitmen ini, termasuk BYD, VinFast, Geely, Xpeng, Great Wall Motor, serta PT National Assemblers (AION, Citroen, Maxus, VW).

3. Bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Melalui PMK No. 135 Tahun 2024, pemerintah memberikan insentif PPnBM 100 persen ditanggung pemerintah untuk mobil listrik berbasis baterai tertentu. Insentif ini mencakup unit yang diimpor secara CBU maupun yang dirakit di dalam negeri secara CKD (Completely Knocked Down).

Kebijakan ini sangat krusial karena tanpa insentif, mobil listrik dikategorikan sebagai barang mewah yang memiliki tarif pajak tinggi.

Pembebasan PPnBM ini menjadi alasan mengapa mobil listrik kelas menengah ke atas tetap bisa memiliki harga yang masuk akal di pasar otomotif nasional.

Langkah mengejutkan ini memicu perdebatan mengenai masa depan ekosistem hijau di Indonesia. Pemerintah berargumen bahwa pengembangan mobil nasional akan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih berkelanjutan daripada terus-menerus memberikan subsidi pada produk yang komponen utamanya masih banyak bergantung pada rantai pasok global.

Pengembangan mobil nasional diharapkan dapat menghidupkan industri komponen lokal secara lebih masif, menciptakan lapangan kerja bagi tenaga ahli dalam negeri, dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok otomotif regional.

Namun, di sisi lain, penghentian insentif EV dikhawatirkan akan menghambat target net zero emission yang telah dicanangkan pemerintah.

Jika rencana ini benar-benar dieksekusi, kenaikan harga mobil listrik tidak dapat dihindari.

Sebagai gambaran, mobil listrik seharga Rp400 juta yang saat ini mendapat PPN DTP 10 persen bisa mengalami kenaikan harga sekitar Rp40 juta hanya dari sektor pajak saja. Belum lagi ditambah beban PPnBM yang mungkin akan kembali diberlakukan.

Para analis otomotif memprediksi penjualan mobil listrik akan mengalami penurunan tajam (anjlok) jika tidak ada skema transisi yang mulus.

Konsumen kemungkinan besar akan kembali melirik mobil hybrid atau bahkan kembali ke mobil konvensional karena faktor harga yang lebih ekonomis.

Bagi para produsen yang sudah terlanjur menanamkan modal besar dengan harapan adanya dukungan regulasi jangka panjang, kebijakan ini tentu menjadi tantangan berat bagi rencana bisnis mereka di Indonesia.

Editor: M Nurhadi

Tag:  #pemerintah #setop #insentif #mobil #listrik #harga #moblis #bakal #makin #mahal

KOMENTAR