Komdigi Siapkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Bantah Jadi Alat Mata-mata
Dirjen Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar dalam acara Ngopi Bareng Kemkomdigi di kantornya, Jumat (9/5/2025). [Suara.com/Dicky Prastya]
18:56
9 Mei 2025

Komdigi Siapkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Bantah Jadi Alat Mata-mata

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS).

Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi, Alexander Sabar mengutarakan kalau RUU KKS sudah masuk dalam tahap harmonisasi di tingkat antar kementerian.

"Sejauh yang saya berproses selama ini, itu sudah harmonisasi di tingkat antar kementerian. Itu sudah selesai harmonisasi di antar kementerian untuk Undang-Undang KKS," katanya dalam acara Ngopi Bareng yang digelar di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat, Jumat (9/5/2025). 

Dirinya juga membantah kalau UU KKS menjadi alat mata-mata masyarakat seperti yang dikhawatirkan selama ini. Alex menilai kalau Pemerintah sekarang tidak menerapkan sensor di ruang digital.  

"Nah kalau isi undang-undang KKS-nya sendiri yang dikatakan akan memata-matai masyarakat, sepertinya tidak seperti itu. Bahkan yang kita lakukan sekarang ini di pengawasan ruang digital saja, kita tidak menerapkan censorship kan?" papar dia.

Lebih lanjut Alex menegaskan kalau Komdigi tidak berniat untuk merampas hak privasi masyarakat lewat UU KKS. Ia menilai kalau regulasi ini justru dibuat untuk menjaga keamanan ruang digital Indonesia. 

"Jadi tidak ada niat negara kemudian merampas hak privasi warganya di undang-undang KKS. Lebih kepada bagaimana menjaga keamanan ruang digital kita, dan menjaga kedaulatan kita di ruang digital," jelasnya.

RUU KKS dikecam

Tahun 2019 lalu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sempat mengecam usulan RUU KKS yang dibahas DPR RI.

RUU KKS ini merupakan inisiatif Badan Legislatif (Baleg) DPR bulan Mei 2019. Executive Director SAFEnet kala itu, Damar Juniarto mengatakan kalau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bisa memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat.

“Penyusunan RUU KKS ini muncul tiba-tiba dan seperti terburu-buru ingin disahkan!” ujar Damar Juniarto dalam siaran pers yang dirilis 2019 lalu.

Ia menerangkan, RUU KKS tidak bisa dilepaskan dari sejarah peleburan Lembaga Sandi Negara/Lemsaneg dengan Direktorat Keamanan Informasi (Ditkominfo) Kemkominfo menjadi Badan Siber dan Sandi Nasional/BSSN, yang telah disetujui pembentukannya oleh Presiden RI kala itu, Joko Widodo alias Jokowi. 

Ada dua alasan yang mendorong Presiden mentransformasi Lemsaneg menjadi BSSN. Pertama, Presiden ingin kebijakan dan program pemerintah di bidang keamanan siber dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 

Kedua, dapat mewujudkan keamanan nasional. Ia menilai tugas BSSN hanya satu, yaitu melaksanakan keamanan siber secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber.

“Belakangan banyak negara mengambil posisi keamanan siber sebagai bagian dari keamanan nasional, sehingga menggunakan pendekatan keamanan dalam konteks keamanan siber. Dampaknya, keamanan siber menjadi kontra produktif dan cenderung melanggar kebutuhan keamanan individu, mengancam pengakuan atas hak asasi dan melukai demokrasi,” papar Damar.

Maka untuk menghindari hal tersebut, Damar menyatakan kalau keamanan siber harus juga memperhatikan keamanan individu, bukan malah mereduksi dan memberi ruang yang terbatas bagi individu dalam menjalankan aktivitasnya. 

SAFEnet menilai pasal-pasal di dalam RUU KKS ini berpotensi mengancam privasi dan kebebasan berekspresi seperti pasal 11, pasal 14 ayat 2 f, pasal 31. 

Lalu juga ada pasal-pasal yang berpotensi membatasi perkembangan teknologi yang melindungi hak asasi seperti teknologi open source dan inisiatif seperti anonimitas identitas, server virtual, enkripsi digital, yang prinsipnya melindungi dari praktek monopoli perusahaan teknologi keamanan siber dan pendulangan data oleh perusahaan teknologi informasi. 

"Dari rancangan yang disusun, juga BSSN menjadi satu-satunya pihak yang menyusun Daftar Infrastruktur Kritikal dan tidak mencerminkan pelibatan multi stakeholder yang menjadi ciri dari pengambilan kebijakan di ranah siber," umbar dia.

SAFEnet juga menyoroti mengenai kewenangan yang demikian luas dari BSSN, hingga dapat mengeluarkan regulasi kamsiber sendiri dan melaksanakan diplomasi siber, sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan UU KKS ini setelah disahkan.

Tapi di 2019 pula, DPR RI sempat membatalkan RUU KKS lantaran tidak memenuhi mekanisme peraturan perundangan dalam pembuatan legislasi. 

Namun kini RUU KKS telah ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025 berdasarkan surat Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. 

Mengutip siaran pers BSSN, proses penyusunan RUU ini melibatkan tahapan intensif, termasuk harmonisasi peraturan perundang-undangan dan pembahasan di DPR. 

Wakil Kepala BSSN, A. Rachmad Wibowo berharap RUU KKS ini dapat disahkan menjadi undang-undang pada tahun 2025. Dia menekankan pentingnya percepatan pembahasan RUU KKS guna menghadapi berbagai ancaman siber yang semakin kompleks di era transformasi digital.

“Ancaman siber nyata dan dapat mengganggu stabilitas nasional. Negara perlu hadir untuk memberikan perlindungan keamanan dan hukum kepada masyarakat di ruang siber,” ujarnya dalam siaran pers yang diunggah di akun Facebook BSSN pada Januari 2025 lalu.

“Keamanan siber adalah tanggung jawab kita bersama untuk masa depan Indonesia yang lebih aman,” tutupnya.

Editor: Dicky Prastya

Tag:  #komdigi #siapkan #keamanan #ketahanan #siber #bantah #jadi #alat #mata #mata

KOMENTAR