DPR Didorong Pakai Hak Angket untuk Periksa Polri, Mahfud MD: Biasanya Putus di Tengah Jalan
Usulan tersebut muncul menyusul rentetan kasus kekerasan terhadap masyarakat yang melibatkan Polri.
Menurut Mahfud, usulan tersebut bisa direspons secara positif oleh DPR.
Akan tetapi, menurutnya hal tersebut lebih baik direspons oleh pemerintah.
Hal itu disampaikannya usai menghadiri Seminar Nasional “Outlook Penegakan Hukum Indonesia 2025” di Hotel Borobudur Jakarta pada Kamis (12/12/2024).
"Ya silakan aja. Yang masyarakat sipil menurut saya bisa saja direspon secara positif oleh DPR. Dan sebenarnya lebih responnya itu lebih diperlukan dari pemerintah ya. Terutama pimpinan negara," kata Mahfud.
"Kalau DPR kan gitu-gitu saja. Nanti ada angket, ada apa. Putus di tengah jalan biasanya kan. Lalu terjadi political trade off atau macam-macam. Ya lebih baik pemerintah aja. Internal Polri aja menurut saya yang lebih efektif ya," sambungnya.
Menurutnya Polri juga harus mendengar kritik dan masukan masyarakat sipil terkait hal tersebut.
Ia mengingatkan hal itu karena apa yang disampaikan masyarakat sipil bedasarkan data dan fakta.
"Polisi harus mendengar. Terutama presiden harus memberi perhatian khusus. Karena yang dikatakan oleh masyarakat sipil. Itu adalah fakta. Bukan opini. Data-datanya ada. Orang-orangnya ada. Peristiwanya jelas gitu ya," kata Mahfud.
"Meskipun tidak keseluruhan polisi melakukan itu. Tapi itu menjadi sangat penting. Karena kalau itu tidak ditata dari sekarang ya kapan lagi," pungkas dia.
DPR Dinilai Lemah Dalam Pengawasan
Diberitakan sebelumnya, Amnesty International Indonesia (Amnesty) dalam rekomendasinya atas rentetan kasus kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Januari sampai November 2024 di antaranya mendorong DPR menggunakan hak angket atau hak interpelasi guna menyelidiki hal tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya ingin mengingatkan DPR memiliki hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.
Dia menangkap kesan belakangan ini DPR seperti menjadi pihak yang membenarkan apa yang salah dari pihak kepolisian.
Usman memandang DPR saat ini adalah bagian dari pengawasan kepolisian yang paling lemah.
Hal itu disampaikannya saat diskusi di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Senin (9/12/20204).
"Jadi hak angket, hak interpelasi itu sangat penting untuk diingatkan saat ini karena yang paling lemah dalam pengawasan kepolisian adalah di DPR," kata Usman.
Dia juga menjelaskan paling tidak ada lima pengawasan kepada kepolisian.
Pertama, lanjut Usman, pengawasan internal di kepolisian baik melalui Divisi Propam, Irwasum, Paminal, Irwasda, atau Karo Wasidik.
Kedua, kata dia, pengawasan eksekutif di tingkat presiden termasuk pengawasan di bawah Kompolnas.
Ketiga, ucap Usman, pengawasan di DPR atau pengawasan legislatif.
Keempat, kata dia, adalah pengawasan oleh institusi yang independen seperti Komnas HAM bila pihak kepolisian mengakibatkan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia.
Kelima, ujar Usman, pengawas dari lembaga-lembaga NGO independen.
"Kenapa rekomendasi kami dominan kepada DPR itu karena fungsi pengawasan legislatif, fungsi pengawasan politik dari Komisi XIII itu belum terlihat efektif dalam mengawasi kepolisian," kata Usman.
Akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti dalam kesempatan yang sama mengamini hal itu.
Menurut dia, hak angket dan hak interpelasi tersebut perlu diaktivasi karena suda sekian lama DPR "ditidurkan".
"Karena memang DPR sudah terkooptasi, kita semua tahu, sekarang ini juga sudah ada koalisi yang luar biasa besaryang sebenarnya akan membuat politik kita mati, demokrasi itu bisa dibilang mati," kata Usman.
"Kalau analis legalisme yang berkarakter otokratisme yang didukung oleh hukum, sebenarnya sudah sukses sekali. Karena justru DPR yang harusnya melakukan pengawasan supaya demokrasi tidak mati, sudah dimatikan duluan, makanya bukan demokrasi lagi tapi otokrasi," lanjutnya.
Dia menyadari penggunaan hak angket di DPR memerlukan sejumlah syarat yang bersifat prosedural.
Untuk itu, Usman mendorong setidaknya substansi dari penggunaan hak angket dan hak interpelasi tersebut bisa diangkat oleh para anggota DPR.
"Tapi yang penting kan substansinya dulu diangkat sama politikus. Jangan cuma di konsumsi yang sifatnya di Podcast," kata Bivitri.
"Kenapa kita membutuhkan para wakil rakyat kita itu kan karena kalau kita tanya, kita ramaikan di media sosial mungkin dampaknya kecil. Paling-paling yang bisa mengangkat ya teman-teman jurnalis yang bisa bertanya secara tajam," pungkas dia.
Temuan Amnesty
Amnesty mencatat sebanyak 116 kasus kekerasan hingga 29 pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) yang melibatkan anggota Polri di seluruh Indonesia dalam periode Januari sampai November 2024.
Hal tersebut merupakan bagian dari temuan Amnesty yang dipaparkan di kantor Amnesty, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2024).
Amnesty mencatat 116 kasus kekerasan yang melibatkan Polri terdiri dari 29 kasus pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing), 26 kasus penyiksaan, 21 kasus penangkapan sewenang-wenang dalam aksi damai, 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 7 kasus penggunaan kekuatan gas air mata dan water canon, 3 kasus penahanan incommunicado, 1 kasus pembubaran diskusi, dan 1 kasus penghilangan sementara.
Amnesty juga mencatat 29 kasus pembunuhan di luar hukum tersebut menewaskan 31 orang.Kasus tersebut tersebar di Papua, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten.
Amnesty juga mencatat temuan khusus terkait rangkaian aksi protes pada 22 sampai 29 Agustus 2024 atau Peringatan Darurat di 14 kota yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia.
Dalam aksi tersebut, ujar Usman, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.
Amnesty juga mewawancari sejumlah saksi di enam kota yang mengalami dan melihat peristiwa tersebut.
Amnesty juga menunjukkan sejumlah bukti video yang dikumpulkan dan diverifikasi.
Atas temuan tersebut, Amnesty mengemukakan empat poin kesimpulan.
Pertama, kekerasan polisi yang berulang ialah "lubang hitam" pelanggaran HAM.
Penggunaan kekuatan yang tak perlu dan tak proporsional secara berulang dan tanpa adanya akuntabilitas, lanjutnya, adalah kebijakan kepolisian merepresi tiap protes atas kebijakan negara atau pejabat atau industri strategis, bukan tanggung jawab petugas yang bertindak sendiri di lapangan atau melanggar perintah atasan.
Kedua, kekerasan polisi atas aksi Peringatan Darurat merupakan pilihan kebijakan mengamankan kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis atas proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika, dan lainnya.
Seluruhnya, menurut Amnesty menunjukkan polisi mengkhianati tugas melindungi HAM sesuai hukum nasional dan internasional.
Ketiga, jika ditambah deretan kekerasan polisi yang marak dibincangkan masyarakat, maka tahun 2024 tidak memperlihatkan adanya perbaikan sistem di kepolisian.
Sebaliknya, menurut Amnesty hal itu malah memperlihatkan semakin darurat karena seluruh kasus kekerasan polisi berujung dengan pembenaran dan tanpa pertanggungjawaban.
Keempat, menurut Amnesty janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo bahwa era kepemimpinannya akan mengutamakan pendekatan humanis terbukti gagal.
Tag: #didorong #pakai #angket #untuk #periksa #polri #mahfud #biasanya #putus #tengah #jalan