Pakar Hukum Tata Negara: di Masa Presiden Jokowi Ada Legalisasi Praktik Otokratisme
Otokratis sendiri bermakna seorang pemimpin yang menuntut orang lain untuk patuh tanpa mempedulikan pendapat atau anggapan orang lain, enggan menerima kritik dan saran, serta terlalu tergantung pada kekuasaan.
“Makanya demokrasi akan selalu gaduh, demokrasi yang baik adalah demokrasi yang gaduh. Demokrasi yang tenang, menurut saya, adalah otokratisme terselubung,” kata Bivitri dalam ‘Temu Ilmiah Universitas Memanggil’ di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat pada Kamis (14/3/2024).
Otokratisme terselubung ini menurutnya pas dengan kondisi berbangsa dan bernegara yang belakangan terjadi.
Di mana publik dilarang melawan, kemudian ada praktik mematikan lembaga penyeimbang kekuasaan seperti DPR dengan tak lagi ada check and balances.
DPR yang semestinya menjadi penyeimbang kekuasaan, justru pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah.
Bivitri kemudian mencontohkan bagaimana revisi UU KPK hanya butuh 2 pekan, kemudian konsensi bagi pemilik tambang batubara cukup 6 hari hingga revisi UU Minerba terbit, lalu pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari DKI Jakarta ke Nusantara hanya perlu 21 hari untuk aturannya diterbitkan DPR.
Selain DPR, hal ini lanjutnya juga terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, praktik ini adalah bentuk otokratik yang telah dilegalisasi di Indonesia.
“Satu DPR, kedua MK. Lihat sendiri revisi UU KPK yang dibiarkan, Perppu Cipta Kerja dan lain sebagainya. Yang ketiga, masyarakat sipil yang kritiknya dibungkam. Keempat, KPK itu sendiri yang sudah dibungkam. Itu saya potret sebagai otokratik legalism di Indonesia,” kata Bivitri.
Tag: #pakar #hukum #tata #negara #masa #presiden #jokowi #legalisasi #praktik #otokratisme