Pembelaan Hakim Agung Gazalba Saleh usai Dituntut 15 Tahun Penjara: Penuh Kebencian dan Membabi buta
Sidang pembacaan pleidoi atau nota pembelaan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh terkait kasus dugaan gratifikasi dan TPPU di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (17/9/2024). 
00:17
18 September 2024

Pembelaan Hakim Agung Gazalba Saleh usai Dituntut 15 Tahun Penjara: Penuh Kebencian dan Membabi buta

- Hakim Agung non aktif Gazalba Saleh mengklaim bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkesan penuh kebencian hingga disebut ingin balas dendam terhadapnya.

Adapun hal itu dituangkan Gazalba dalam nota pembelaan atau pleidoi yang ia beri judul 'Pemaksaan Pengakuan dan Rekayasan Penyidikan pada Tuntutan Pidana Penjara 15 tahun'.

Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu Gazalba mulanya mempertanyakan apakah Jaksa memiliki acuan atau standar ketika menjatuhi tuntutan 15 tahun terhadapnya dalam perkara dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) tersebut.

"Jika tidak ada, maka penuntut umum KPK telah menggunakan kewenangannya secara berlebihan abuse of power, suka-suka, subjektif, penuh kebencian, dan membabi buta," ujar Gazalba saat bacakan pleidoi di ruang sidang, Selasa (17/9/2024).

Lebih jauh Gazalba pun menilai jaksa KPK telah mengabaikan penegakkan hukum yang bersifat objektif dan rasional.

Tak hanya itu, tuntutan 15 penjara itu kata dia juga dianggap penuh dengan semangat balas dendam terhadap dirinya.

"Karena gagal memenjarakan saya pada perkara sebelumnya," ucapnya.

Terkait hal ini, Gazalba kemudian mengungkit kasus dugaan korupsi yang pernah menjeratnya sehingga ia harus diadili di Pengadilan Tipikor Bandung pada 20 Juli 2023 lalu.

Saat itu, Gazalba Saleh divonis bebas lantaran tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang dituduhkan oleh Jaksa.

"Alhamdulillah nota pembelaan pribadi dan penasihat hukum saya diterima oleh Majelis Hakim yang ditandai dinyatakan tidak bersalah dan membebaskan saya dari segala tuntutan dan dakwaan dari penuntut umum KPK," pungkasnya.

Hakim Agung Dituntut 15 Tahun Penjara

Jaksa KPK menuntut agar majelis hakim menghukum Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dengan hukuman 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Jaksa KPK menilai Gazalba Saleh terbukti menerima gratifikasi serta melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Gazalba Saleh dengan pidana penjara selama 15 tahun, dan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan pengganti selama enam bulan,” ucap Jaksa KPK Wawan Yunarwanto kala membacakan amar tuntutan pidana di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/9/2024).

Jaksa KPK juga menuntut Gazalba Saleh dihukum pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 18.000 dolar Singapura dan Rp1.588.085.000 selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan inkrah.

Apabila dalam jangka waktu tersebut Gazalba Saleh tidak mampu membayar, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Dalam hal Gazalba tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama dua tahun.

“Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,” kata jaksa.

“Menetapkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan,” imbuhnya.

Pada tahun 2020, Gazalba menangani perkara peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas nama terpidana Jaffar Abdul Gaffar dengan register perkara nomor: 109 PK/Pid.Sus/2020. 

Jaffar Abdul Gaffar didampingi oleh pengacara Neshawaty Arsjad yang juga memiliki hubungan keluarga dengan Gazalba.

Wakil Direktur Pelayanan RSUD Pasar Minggu yang juga teman wanita hakim agung Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh (kiri), Fify Mulyani (kanan), saat dihiadirkan sebagai saksi kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Gazalba Saleh di Pengadilan Tipikor Jakarta. Wakil Direktur Pelayanan RSUD Pasar Minggu yang juga teman wanita hakim agung Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh (kiri), Fify Mulyani (kanan), saat dihiadirkan sebagai saksi kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) Gazalba Saleh di Pengadilan Tipikor Jakarta. (Tribunnews.com/Kompas.com)

Pada 15 April 2020, PK tersebut dikabulkan Gazalba Saleh selaku hakim agung di MA. Atas pengurusan perkara dimaksud, Neshawaty dan Gazalba menerima uang sebesar Rp37 miliar dari Jaffar Abdul Gaffar.

Gazalba sebagai hakim agung dari tahun 2020–2022 disebut telah menerima gratifikasi sebesar 18.000 dolar Singapura sebagaimana dakwaan kesatu dan penerimaan lain berupa 1.128.000 dolar Singapura, 181.100 dolar Amerika Serikat (AS), serta Rp9.429.600.000.

Gazalba Saleh dinilai melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Gazalba juga diduga melakukan TPPU. Perbuatan itu dilakukan bersama-sama dengan Edy Ilham Shooleh dan Fify Mulyani pada tahun 2020–2022.

Edy Ilham Shooleh merupakan kakak kandung Gazalba yang namanya dipakai untuk membeli mobil Toyota Alphard. Sedangkan Fify Mulyani merupakan teman dekat Gazalba yang namanya digunakan untuk membeli rumah di Sedayu City At Kelapa Gading.

Gazalba disebut membeli di antaranya satu unit kendaraan Toyota New Alphard 2.5 G A/T warna hitam; sebidang tanah atau bangunan di Jalan Swadaya II, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan sebagaimana Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 288; sebidang tanah atau bangunan di Tanjungrasa, Bogor, sebagaimana SHM Nomor 442; tanah atau bangunan di Citra Grand Cibubur sebagaimana SHM Nomor 7453.

Kemudian membayarkan pelunasan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) satu unit rumah di Sedayu City At Kelapa Gading, Cakung, Jakarta Timur serta menukarkan mata uang asing berupa dolar Singapura sejumlah 139.000 dolar Singapura dan 171.100 dolar AS yang keseluruhannya sebesar Rp3.963.779.000.

Editor: Acos Abdul Qodir

Tag:  #pembelaan #hakim #agung #gazalba #saleh #usai #dituntut #tahun #penjara #penuh #kebencian #membabi #buta

KOMENTAR