Akankah Tiongkok Melakukan Invasi terhadap Taiwan?
PERSETERUAN antara Taiwan dan Tiongkok merupakan konflik berlarut yang kembali menjadi perbincangan hangat di tengah Pelaksanaan Pemilu Presiden Taiwan pada 13 Januari 2024 lalu.
Di tengah banyaknya pendapat bahwa Tiongkok akan menggunakan kekuatan militernya untuk menginvasi Taiwan, namun penulis berkeyakinan Tiongkok tidak akan melakukannya.
Tiongkok akan terus menggunakan indirect strategy untuk mencapai tujuannya reunifikasi dengan Taiwan.
Mengidentifikasi tujuan akhir Tiongkok
Berdasarkan Colin Gray dalam bukunya “The Strategy Bridge: Theory for Practice”, grand strategy menyelaraskan antara pengalokasian sumber daya dan upaya nasional (ways dan means) untuk mencapai tujuan akhir (ends).
Dalam konteks Konflik Tiongkok-Taiwan, penulis menilai bahwa tujuan akhir Tiongkok adalah rejuvenasi nasional 2049 dalam peringatan 100 tahun kemerdekaan, termasuk reunifikasi Taiwan dengan Daratan Tiongkok.
Rejuvenasi nasional ini diinterpretasikan dengan Tiongkok sebagai negara sosialis modern yang makmur sejahtera, kuat, dan maju.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jalan yang harus ditempuh oleh Tiongkok untuk dapat menyelaraskan dengan tujuan akhir yang hendak dicapai tersebut.
Tentu ada banyak faktor yang memengaruhi. Namun sebagai kesimpulan di awal, penulis berargumen bahwa invasi militer merupakan opsi yang kontradiksi dengan pencapaian tujuan akhir sesuai visi Tiongkok di 2049.
Invasi Rusia terhadap Ukraina setidaknya memberikan pelajaran kepada dunia bahwa sifat alamiah perang, yaitu “kabut perang” dan “friksi” nyata adanya.
Kabut perang adalah ketidakpastian hasil dari pelaksanaan perang akibat dari interaksi berbagai faktor yang terlibat.
Sedangkan friksi dalam perang adalah perbedaan aktualisasi perang dengan perencanaan akibat berbagai faktor yang tidak dapat dikendalikan dan di luar perhitungan perencanaan.
Meskipun memiliki kekuatan militer yang superior, baik dalam kualitas dan kuantitas, Rusia tidak dapat memenangkan perang secara cepat dan efektif melawan Ukraina yang inferior.
Rusia berhasil didesak oleh Ukraina, notabene negara yang jauh lebih kecil, untuk menghadapi perang berlanjut dan mengakibatkan jumlah korban signifikan, baik secara personel maupun materiil, termasuk sanksi ekonomi Barat.
Terlebih, keengganan Tiongkok sebagai negara sahabat Rusia untuk membantu upaya invasi menyebabkan Rusia melakukan perang sendirian. Hal mengindikasikan efek resiprokal bahwa Rusia juga tidak akan membantu Tiongkok jika kemudian hari melakukan invasi terhadap Taiwan.
Sebaliknya, Taiwan justru telah mengamankan jasa dukungan keamanan dari Amerika Serikat dan kemungkinan dukungan dari negara tetangga lainnya seperti Jepang dan Korea Selatan.
Hal ini akan membuat Tiongkok membutuhkan sumber daya ekstra jika hendak melakukan invasi untuk mengatasi perlawanan yang diberikan, terlebih jika invasi menjadi bersifat berlarut dan indesisif.
Pada tingkatan taktis dan operasional, invasi terhadap Taiwan lebih sulit dibandingkan upaya Rusia di Ukraina.
Hal ini merujuk kepada kondisi geografis yang ada bahwa kedua negara terpisahkan oleh selat yang menjadi rintangan alami bagi Tiongkok untuk melaksanakan operasi militer.
Operasi gabungan yang terlatih dan berpengalaman dibutuhkan untuk dapat menyelesaikan misi militer tersebut.
Kemampuan angkatan perang Tiongkok (People’s Liberation Army) cukup dipertanyakan dalam hal ini, apalagi terakhir kali mereka berperang pada 1979 melawan Vietnam.
Pertimbangan domestik
Tiongkok saat ini sedang mengalami tantangan domestik. Dalam dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi telah mengalami perlambatan dan dalam tren menurun, meskipun sempat naik pada 2021.
Belanja konsumen rumahan, sektor properti, dan pengangguran menjadi kontributor pada perlambatan tersebut. Kemakmuran menjadi aspek fundamental bagi perkembangan Tiongkok.
Kevin Rudd menyatakan, salah satu misi dari Partai Komunis Tiongkok adalah untuk menghilangkan kemiskinan, menaikkan standar hidup nasional menuju tingkat negara maju, dan menumbuhkan pendapatan pemerintah untuk mengompensasi peningkatan pengeluaran kesejahteraan sosial di bidang pendidikan, kesehatan, dan perawatan penduduk usia lanjut.
Pemerintah otokrasi memiliki peran yang signifikan dalam menyelesaikan isu tersebut. Ketidakmampuan untuk memformulasikan kebijakan yang mampu menghadirkan solusi bagi masalah tersebut akan memengaruhi taraf hidup masyarakat Tiongkok.
Permasalahan tentang kebutuhan dasar dapat menimbulkan ketidakpuasan rakyat terhadap keberlangsungan pemerintahan Xi Jinping yang otoriter. Hal ini dapat berdampak terhadap keamanan posisinya sebagai orang nomor satu di Tiongkok.
Dengan demikian, pelaksanaan invasi terhadap Taiwan akan menjadi hal kontraproduktif di tengah permasalah domestik yang belum terselesaikan.
Memulai suatu perang hanya akan menunjukkan suatu upaya mengalihkan isu domestik daripada menyelesaikannya, bahkan cenderung mengkomplikasi permasalah tersebut.
Reunifikasi secara damai kemudian mengintegrasikan kekuatan ekonomi Taiwan tentu akan meningkatkan kekuatan ekonomi Tiongkok dan menjadi jalan yang lebih menguntungkan jika memungkinkan.
Terlebih, Taiwan memonopoli lebih dari 90 pesen pasar semikonduktor dunia. Angka yang amat menggiurkan bagi Tiongkok.
Dampak dari invasi mampu menggagalkan visi Tiongkok pada 2049 sebagai kekuatan hegemoni dunia.
Perang selalu membawa efek yang menyengsarakan bagi pihak manapun yang terlibat, baik menang maupun kalah.
Riset oleh OECD menunjukkan angka rata-rata 22 tahun yang dibutuhkan untuk negara melakukan recovery ekonomi. Beberapa negara lebih cepat, beberapa lebih lambat, dan ada yang tidak dapat melakukan recovery. Hal ini menandakan seberapa parah dampak suatu perang terhadap pihak yang terlibat.
Dengan mempertimbangkan waktu yang dimiliki Tiongkok menuju satu abad pertamanya hanya 25 tahun, hal ini sangat berisiko bagi Tiongkok untuk memulai operasi militer.
Taruhannya begitu tinggi jika dibandingkan dengan hasil yang kemungkinan dapat diperoleh. Pelaksanaan invasi lebih mengarah kepada judi/pertaruhan dibandingkan perencanaan dengan kalkulasi yang matang.
Terlebih, kekuatan militer Tiongkok saat ini masih berada di belakang Amerika Serikat yang menjadi penjamin keamanan bagi Taiwan.
Alternatif bagi Tiongkok
Merujuk kembali kepada analisa grand strategy, maka invasi sebagai ways dan means tidak selaras dengan tujuan akhir (ends) rejuvenasi nasional yang hendak dicapai di tahun 2049.
Masih terdapat banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk menempuh reunifikasi dengan Taiwan. Indirect Strategy yang tidak menggunakan kekuatan militer akan menjadi pilihan.
Proposal “satu negara, dua atau tiga sistem” akan selalu terbuka. Operasi informasi dan propaganda untuk membentuk opini publik dan mengubah perilaku warga Taiwan agar mau bergabung dengan Tiongkok Daratan juga terus dilakukan.
Intimidasi militer juga terlihat lebih sering akhir-akhir ini. Latihan militer dan patroli aktif di sekeliling pulau Formosa acap dilakukan.
Tentu, keberadaan pemimpin Taiwan yang lebih pro-unifikasi daripada kemerdekaan merupakan peluang yang ditunggu-tunggu oleh Tiongkok pula.
Pada akhirnya, meskipun intimidasi militer oleh Tiongkok semakin nyata dan sering terjadi, namun cukup banyak pertimbangan yang meyakinkan bahwa penggunaan kekuatan militer untuk invasi cenderung untuk dihindari.
Sangat krusial untuk memahami grand strategy yang dimiliki oleh Tiongkok guna mendapatkan analisa yang obyektif terkait ends, ways, dan means yang akan digunakan.
Hal ini akan memungkinkan para pengambil kebijakan untuk mengambil keputusan yang rasional dan masuk akal.
Tag: #akankah #tiongkok #melakukan #invasi #terhadap #taiwan