Amerika Klaim Rusia dan China Tanpa Malu-malu Lindungi Korea Utara
Pada hari Senin (4/11/2024), Gedung Putih mengecam Moskow dan Beijing di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) karena mendorong Pyongyang melanggar sanksi badan PBB.
"Rusia dan Tiongkok tanpa malu-malu melindungi Pyongyang dari segala bentuk pembalasan, atau bahkan kecaman atas tindakannya," kata Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, dikutip dari South China Morning Post (SCMP).
"Terlindungi dari pengawasan ketat atas aktivitas pelanggaran sanksi oleh Moskow dan Beijing, Pyongyang, tidak mengherankan, telah menjadi semakin berani untuk terus memajukan program rudal balistik, nuklir, dan WMD yang melanggar hukum," katanya, menggunakan akronim untuk senjata pemusnah massal.
Dewan yang beranggotakan 15 orang itu mengadakan pertemuan untuk membahas uji coba peluncuran rudal balistik antarbenua oleh Pyongyang pada hari Kamis (31/10/2024).
Wood mengatakan Rusia dan China telah mencegah dewan mengeluarkan pernyataan kecaman, sebuah langkah yang memerlukan konsensus.
Sedangkan, Korea Utara malah menegaskan akan terus berusaha mempercepat pembangunan kekuatan nuklirnya.
Duta Besar Korea Utara untuk PBB Kim Song mengatakan kepada DK PBB bahwa Pyongyang akan mempercepat pengembangan kekuatan nuklirnya untuk "melawan ancaman apa pun yang diberikan oleh negara-negara pemilik senjata nuklir yang bermusuhan".
"Ancaman nuklir Amerika Serikat terhadap DPRK telah mencapai titik kritis dalam hal skala dan bahayanya," kata Kim.
"Karena tindakan sembrono Amerika Serikat , situasi potensial mendekati ambang perang," jelasnya.
DPRK adalah akronim untuk nama resmi negara tersebut, Republik Rakyat Demokratik Korea.
Korea Utara telah berada di bawah sanksi Dewan Keamanan PBB sejak 2006, dan tindakan tersebut terus diperkuat selama bertahun-tahun dengan tujuan menghentikan pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik Pyongyang.
Reaksi Rusia dan China setelah Dikecam AS
Rusia dan China menolak pernyataan AS pada hari Senin (4/11/2024).
Wakil Duta Besar Rusia untuk PBB, Anna Evstigneeva menuduh negara-negara yang menyerukan pertemuan hari Seninm telah menjelek-jelekkan Korea Utara untuk terus menerapkan langkah-langkah sanksi yang tidak efektif dan membenarkan langkah-langkah agresif oleh AS dan sekutu-sekutunya di kawasan tersebut.
Untuk diketahui, pertemuan kemarin dihadiri oleh AS, Prancis, Jepang, Malta, Korea Selatan, Slovenia dan Inggris.
Mengapa Korea Utara Disanksi?
Dikutip dari Council on Foreign Relations, Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) telah melakukan berbagai macam kegiatan selama bertahun-tahun yang telah menuai kecaman internasional dalam bentuk sanksi.
Negara-negara besar dunia telah menerapkan sanksi ekonomi dan keuangan terhadap Korea Utara selama lebih dari belasan tahun untuk menekannya agar melakukan denuklirisasi.
Mereka juga telah menerapkan sanksi untuk menghukum rezim tersebut atas serangan siber, pencucian uang, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Yang paling utama adalah pengembangan senjata nuklir dan rudal balistik.
Kepemimpinan Korea Utara, di bawah rezim Kim menganggap senjata nuklir satu-satunya cara untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
DPRK meratifikasi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada tahun 1985 tetapi menarik diri pada tahun 2003, dengan alasan agresi AS.
Mereka melakukan uji coba nuklir pertamanya tiga tahun kemudian.
"Pemimpin saat ini Kim Jong-un melihat senjata nuklir sebagai aset militer , polis asuransi, dan sumber prestise yang besar sekaligus," tulis Vincent Brooks dan Ho Young Leem, mantan pemimpin Komando Pasukan Gabungan Republik Korea–AS, untuk Urusan Luar Negeri.
Meskipun sanksi telah menimbulkan dampak besar pada ekonomi Korea Utara, para ahli mengatakan efektivitasnya telah dirusak oleh kegagalan beberapa negara untuk menegakkannya dan kemauan beberapa perusahaan untuk mengabaikannya.
Akan tetapi, bahkan jika sanksi diperketat, banyak yang mempertanyakan apakah sanksi tersebut akan mencapai hasil yang diinginkan.
Tentara Korea Utara Bantu Rusia dalam Perang di Ukraina
Dalam perkembangan lain, tentara Korea Utara disebut-sebut membantu Rusia di Ukraina.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky meyakini setidaknya 11.000 tentara Korea Utara telah mencapai wilayah perbatasan Rusia di wilayah Kursk.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS), Mayjen Pat Ryder juga mengklaim hal serupa.
"Kami pikir jumlah total pasukan DPRK (Korea Utara) di Rusia ... bisa mendekati sekitar 11.000 hingga 12.000, dengan setidaknya 10.000 saat ini di oblast Kursk," kata Pat Ryder, Senin (4/11/2024) kemarin.
Zelensky lantas mengkritik sekutu Barat karena tanggapannya yang tidak tegas terhadap Korea Utara.
"Kami melihat peningkatan jumlah warga Korea Utara dan tidak ada peningkatan dalam reaksi mitra-mitra kami, sayangnya," kata Presiden Ukraina itu dalam pidato malamnya kemarin.
Kepala staf Zelensky, Andriy Yermak, mengatakan Korea Utara dianggap seperti tentara Rusia yang menimbulkan ancaman bagi Ukraina.
Sedangkan Menteri Luar Negeri Ukraina, Andriy Sybiga, mengatakan Barat takut dan ragu-ragu menghadapi Korea Utara.
"Kami menyerukan kepada Eropa untuk menyadari bahwa pasukan Korea Utara sekarang sedang melancarkan perang agresif di Eropa terhadap negara Eropa yang berdaulat," kata Andriy Sybiga.
"Ini membuktikan sekali lagi bahwa sementara Barat takut dan ragu-ragu, Rusia bertindak dan melakukan eskalasi," tambahnya, dikutip dari The Guardian.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)
Tag: #amerika #klaim #rusia #china #tanpa #malu #malu #lindungi #korea #utara