Penyakit Kronis Berujung Disabilitas: Celah Regulasi dan Realitas Hidup
Ilustrasi penyandang disabilitas, penyandang disabilitas di bandara.(SHUTTERSTOCK/ANDREY_POPOV)
12:12
27 Oktober 2025

Penyakit Kronis Berujung Disabilitas: Celah Regulasi dan Realitas Hidup

PENYAKIT kronis adalah penyakit yang diderita dalam kurun waktu lama. Penderita penyakit kronis harus mendapatkan pelayanan dan perawatan intensif dalam jangka lama. Penanganannya harus berkelanjutan.

Hal ini mengakibatkan penderita penyakit kronis harus membatasi aktifitas sehari-hari. Dalam keadaan tertentu, penyakit kronis bisa sangat berbahaya karena terjadinya komplikasi kesehatan, disabilitas, hingga kematian.

Secara umum penyakit kronis tidak bisa disembuhkan secara total, tapi dapat dikontrol dan membutuhkan perawatan intensif.

Jantung, kanker, diabetes, stroke, dan gagal ginjal adalah penyakit kronis yang banyak diderita di masyarakat Indonesia.

Ada penyakit lain yang dapat dikategorikan penyakit kronis karena penderitaan yang lama dan membutuhkan pengobatan seumur hidup. Contohnya thoracic outlet syndrome (TOS), dan beberapa penyakit autoimun seperti guillain barre syndrome, sjogren disease, serta inflammatory bowel disease.

Dampak panjang penyakit kronis, penderita dapat mengalami gangguan dan keterbatasan menyangkut fisik (kehilangan fungsi tubuh), intelektual (gangguan kecerdasan), mental (gangguan kejiwaan), dan sensorik (gangguan penglihatan, pendengaran).

Akibat penyakit kronis tersebut, penderita tidak dapat menjalankan aktifitas sehari-hari seperti orang lain pada umumnya. Ada keterbatasan fungsi dan hambatan partisipasi sosial karenanya.

Dalam kondisi demikian, penderita penyakit kronis pada dasarnya seorang penyandang disabilitas dan menjalani peran dan aktifitas sosial terbatas di tengah masyarakat.

Kini, ada tuntutan yang sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK) supaya penderita penyakit kronis dapat dinyatakan sebagai penyandang disabilitas, yang selama ini belum tertampung dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Tuntutan yang berangkat dari realitas serta beban besar yang mesti ditanggung keluarga, masyarakat dan negara karena disabilitas akibat penyakit kronis.

Penyakit kronis dapat menimbulkan keterbatasan dalam jangka panjang, hambatan partisipasi sosial, serta membutuhkan dukungan luas masyarakat, instansi dan pemerintah pada umumnya.

Pada kenyataannya, disabilitas dapat terjadi dari penyakit yang diderita. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 memperkirakan ada lebih dari 22 juta penyandang disabilitas. Proporsi terbesar di antaranya mucul akibat penyakit tidak menular yang bersifat kronis.

Artinya, bukan hanya cacat bawaan dan kecelakaan yang melahirkan disabilitas, tetapi juga penyakit yang memburuk secara perlahan bertahun-tahun.

Kondisi penderita yang terjadi pada penyakit gula dengan komplikasi menjalani amputasi, penyakit stroke yang lumpuh separuh tubuhnya, dan gagal ginjal dapat membatasi mobilitas dan produktivitas dalam hidup penderita.

Kondisi demikian menjadi bentuk disabilitas baru, disabilitas karena penyakit kronis, yang tidak muncul tiba-tiba, tapi tumbuh seiring waktu, diam-diam mengikis kemampuan fisik, mental dan sosial seseorang.

Jika penderita penyakit kronis menjadi disabilitas, maka yang terjadi bukan hanya persoalan medis dan keterbatasan yang harus disembuhkan. Namun juga menghadapi persoalan lingkungan dan sistem yang tidak ramah.

Orang yang kehilangan penglihatan akibat retinopati diabetic mungkin bisa tetap bekerja jika tersedia teknologi bantu dan lingkungan kerja yang inklusif.

Namun jika tidak, mereka akan tersisih, bukan karena matanya, tapi karena sistem sosial yang tidak mengakomodasi perbedaan.

Penyakit kronis sering juga membawa stigma ganda. Mereka bukan hanya menghadapi keterbatasan fisik, tetapi juga diskriminasi sosial.

Dalam banyak kejadian, mereka kehilangan pekerjaan, terisolasi, bahkan kehilangan makna hidup.

Oleh karena itu, membicarakan disabilitas karena penyakit kronis bukan hanya bicara soal rehabilitasi medis, tetapi juga tentang keadilan sosial.

Dalam praktik pelayanan kesehatan di Indonesia, fase pascapenyakit seringkali luput dari perhatian dan pengendalian.

Banyak pasien stroke yang pulang dari rumah sakit tanpa akses rehabilitasi jangka panjang. Banyak penyandang diabetes yang kehilangan kaki tanpa bimbingan alat bantu jalan dan pelatihan adaptasi.

Kunci penanganan penyakit kronis ada pada rehabilitasi. Pelayanan kesehatan tidak berhenti di rumah sakit, tetapi berlanjut hingga pemulihan dan kemandirian penderita.

Sayangnya sistem dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) selama ini masih lebih fokus pada pembiayaan pengobatan daripada rehabilitasi.

Akibatnya banyak pasien yang tidak dapat melanjutkan terapi fisik, okupasi, atau alat bantu pasien karena beralasan biaya dan sosial. Padahal, pascapenyakit kronis, hal ini merupakan fase paling penting untuk mengembalikan kemampuan hidup mandiri.

Dampak ekonomi dari disabilitas akibat penyakit kronis juga tidak kecil. Seseorang yang kehilangan kemampuan bekerja berdampak pada penurunan pendapatan keluarga. Sementara biaya pengobatan dan perawatan terus meningkat.

Di sinilah peran keluarga menjadi sentral, di mana mereka harus menjadi perawat, pengelola keuangan, sekaligus menjadi penyemangat.

Namun, tak semua keluarga siap dengan disabilitas penderita penyakit kronis. Banyak penderita ditangani seadanya di rumah tanpa dukungan profesional.

Tekanan psikologis dan sosial muncul dari dua arah: penderita merasa menjadi beban, sementara keluarga merasa kewalahan. Hal ini memicu depresi, baik pagi penderita maupun keluarganya.

Kita memerlukan kebijakan kesehatan yang memperluas cakupan pandangan, dari sekadar menyembuhkan penyakit menjadi memulihkan kehidupan.

Kementerian kesehatan, BPJS Kesehatan, Kementerian Sosial, dan pemerintah daerah perlu mengintegrasikan layanan rehabilitasi kesehatan dan sosial sebagai bagian wajib manajemen penyakit kronis.

Selain itu, pendekatan lintas sektor mutlak diperlukan. Dunia kerja, pendidikan, dan sosial harus lebih inklusif terhadap mereka yang hidup dengan keterbatasan akibat penyakit.

Program pelatihan kerja berbasis kemampuan residual, bantuan alat bantu, serta kampanye antistigma perlu diperkuat dalam implementasinya.

Disabilitas akibat penyakit kronis (keterbatasan fungsi dan hambatan partisipasi sosial) dituntut diberi makna yang nyata dalam UU tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia. Kehidupan mereka masih panjang dan yang terjadi bukan akhir dari kehidupan produktif.

Diharapkan ada sistem yang tepat sehingga mereka tetap berkarya, memimpin komunitas, bahkan dapat menginspirasi orang lain. Negara harus hadir secara nyata dan dirasakan oleh penyandang disabilitas.

Dengan demikian, mereka dapat memperoleh hak-hak yang dijamin negara seperti hak pekerjaan dan penghidupan layak, hak pendidikan inklusif, hak rehabilitasi dan aksesibilitas, serta hak perlindungan sosial.

Kita harus dapat melihat kondisi penyakit kronis lebih dalam dan menjangkau masa depan. Ketika penyakit kronis mengubah tubuh, seringkali yang paling berat bukan rasa sakitnya, tetapi kehilangan fungsi dan makna diri.

Penyakit kronis memang awet dan seringkali memberikan kita ujian, apakah kita mampu melihat penderita penyakit kronis bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari keberagaman manusia yang hidup dan masih bermanfaat.

Disabilitas karena penyakit kronis mengajarkan bahwa kesehatan bukan hanya urusan bebas dari penyakit, tetapi juga kemampuan untuk tetap hidup bermartabat di tengah keterbatasan.

Tugas negara adalah memastikan setiap warga, apapun kondisi fisiknya dan keterbatasan lainnya, punya kesempatan yang sama untuk hidup layak dan bermakna.

Tag:  #penyakit #kronis #berujung #disabilitas #celah #regulasi #realitas #hidup

KOMENTAR