Industri Furnitur Masih Tertekan, Pelaku Usaha Keluhkan Biaya Produksi Tinggi dan Regulasi Berlapis
Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, di sela-sela membuka gelaran WOODFEST 2025 di Semarang, Jawa Tengah(DOKUMENTASI HIMKI )
20:44
16 Desember 2025

Industri Furnitur Masih Tertekan, Pelaku Usaha Keluhkan Biaya Produksi Tinggi dan Regulasi Berlapis

- Industri furnitur dan kerajinan masih menghadapi tekanan sejak beberapa tahun terakhir.

Pelaku usaha pun menyoroti tingginya biaya produksi, regulasi yang berlapis, serta minimnya insentif fiskal terhadap industri padat karya.

Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur menilai, tekanan yang dialami industri furnitur dan kerajinan kerap disalahartikan semata-mata sebagai persoalan daya saing pelaku usaha.

Padahal, persoalan yang dihadapi dinilai jauh lebih mendasar dan berkaitan dengan arah serta konsistensi kebijakan negara.

“Fenomena ini sering dipersepsikan sebagai persoalan daya saing pelaku usaha. Padahal jika dicermati lebih dalam, persoalannya lebih mendasar, yakni arah dan konsistensi kebijakan negara,” ujar Abdul Sobur lewat keterangan pers, Selasa (16/12/2025).

Ia membandingkan kebijakan Indonesia dengan negara lain di kawasan.

Vietnam, misalnya, menempatkan industri furnitur sebagai bagian dari strategi nasional penciptaan lapangan kerja dan penguatan ekspor manufaktur.

Negara tersebut menyediakan pembiayaan yang kompetitif, kepastian regulasi, serta dukungan logistik dan perdagangan luar negeri yang terintegrasi.

Hasilnya, ekspor furnitur Vietnam meningkat signifikan dan menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar.

Sementara itu, Malaysia memilih pendekatan yang lebih defensif.

Meski dengan skala industri yang lebih kecil, kebijakan fiskal dan industrinya diarahkan untuk tetap bertahan dan tidak kehilangan kapasitas produksi.

Indonesia, menurut Sobur, berada pada posisi yang berbeda.

Industri furnitur di Tanah Air menghadapi biaya produksi yang relatif tinggi, regulasi yang berlapis, serta minimnya insentif fiskal yang mempertimbangkan karakter industri padat karya.

Dalam kondisi tersebut, pergeseran kapasitas produksi ke negara lain menjadi sulit dihindari.

Dampak dari tekanan kebijakan tersebut mulai terlihat secara nyata.

Penutupan pabrik, pengurangan tenaga kerja alias PHK, hingga stagnasi investasi.

Lebih dari sekadar penurunan kinerja sektor, kondisi ini mengindikasikan gejala deindustrialisasi pada industri manufaktur bernilai tambah.

“Dampak dari tekanan kebijakan tersebut mulai terlihat secara nyata. Penutupan pabrik, pengurangan tenaga kerja, dan stagnasi investasi bukan lagi kasus terisolasi,” paparnya.

Sobur menambahkan, dampak jangka panjang dari kondisi ini seringkali luput dari perhatian.

Ketika kapasitas produksi hilang dan tenaga kerja terampil tersingkir, upaya membangun kembali industri akan menjadi jauh lebih sulit dan mahal.

Kehilangan tersebut tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga struktural.

Menurutnya, persoalan utama industri furnitur Indonesia bukan terletak pada kualitas produk maupun kemampuan pelaku usahanya, melainkan pada belum adanya kebijakan fiskal dan industri yang secara konsisten mendukung sektor padat karya berorientasi ekspor.

Lebih jauh, pelaku industri masih menghadapi akses pembiayaan yang mahal dan terbatas, beban fiskal yang tidak proporsional, prosedur ekspor dan kepabeanan yang belum efisien, serta ketidakpastian regulasi yang menahan investasi jangka panjang.

Situasi ini dinilai bertolak belakang dengan kebutuhan nasional untuk memperluas lapangan kerja dan memperkuat basis manufaktur non-ekstraktif.

HIMKI mendorong agar industri furnitur dan kerajinan dipandang sebagai bagian dari agenda reindustrialisasi nasional, bukan sekadar subsektor ekonomi kreatif.

Untuk itu, diperlukan arah kebijakan fiskal yang lebih berpihak, termasuk penyediaan pembiayaan berbunga kompetitif, insentif pajak yang terukur, serta penyederhanaan beban fiskal yang menghambat produksi dan ekspor.

Selain itu, penyederhanaan regulasi juga dinilai mendesak, bukan untuk menurunkan standar keberlanjutan, melainkan untuk menghilangkan tumpang tindih dan ketidakpastian yang selama ini menambah biaya usaha.

Industri furnitur juga membutuhkan strategi industri dan perdagangan yang terintegrasi, termasuk perlindungan yang wajar dari praktik impor tidak adil, serta dukungan diplomasi ekonomi yang aktif.

Indonesia, lanjut Sobur, sejatinya memiliki modal yang besar, mulai dari ketersediaan bahan baku, tenaga kerja terampil, hingga reputasi desain dan kerajinan yang telah diakui di pasar global.

Namun, tanpa keberpihakan kebijakan yang jelas, pelemahan industri furnitur dikhawatirkan akan terus berlanjut dan berdampak pada hilangnya lapangan kerja serta devisa.

Sebaliknya, dengan kebijakan yang tepat dan konsisten, sektor furnitur dan kerajinan diyakini berpotensi kembali menjadi salah satu pilar industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan.

Tag:  #industri #furnitur #masih #tertekan #pelaku #usaha #keluhkan #biaya #produksi #tinggi #regulasi #berlapis

KOMENTAR