Asosiasi Minta Tarif BMAD 20 Persen Diterapkan untuk Benang filamen Impor
Ilustrasi industi tekstil(SHUTTERSTOCK/OLEKSANDR BEREZKO)
13:16
14 Juni 2025

Asosiasi Minta Tarif BMAD 20 Persen Diterapkan untuk Benang filamen Impor

- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mendorong pemerintah untuk menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sebesar 20 persen terhadap produk benang filamen impor, terutama dari China.

Hal ini guna mengatasi dampak serius dari praktik dumping yang telah menggerus daya saing dan kapasitas produksi industri tekstil nasional dari hulu hingga hilir.

Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menjelaskan bahwa praktik dumping oleh produsen luar negeri telah menciptakan distorsi harga di pasar domestik yang sangat merugikan produsen dalam negeri, khususnya di sektor benang filamen dan industri polimer.

Menurut dia, BMAD sebesar 20 persen merupakan titik keseimbangan yang ideal, cukup untuk memulihkan industri hulu, namun tetap mempertimbangkan beban yang mungkin ditanggung sektor hilir.

“Harga normal itu ada di kisaran 20 persen di atas harga dumping. Kalau lebih tinggi dari itu, memang produsen hulu punya ruang untuk margin lebih besar, tapi berisiko membebani industri hilir. Kita perlu titik tengah yang sehat dan berkelanjutan,” ujar Redma dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).

Dirinya turut menyampaikan bahwa rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) menyarankan tarif BMAD yang bervariasi, dengan batas atas mencapai 42,3 persen.

Namun, APSyFI menilai bahwa sebagian tarif tersebut perlu diturunkan demi menciptakan keseimbangan antara sektor hulu dan hilir.

“Rekomendasi KADI ada yang sampai 42 persen. Tapi setelah diskusi dan evaluasi dengan mempertimbangkan dampak ke hilir, kami usulkan tarif itu diturunkan. Rekomendasi APSyFI adalah BMAD rata-rata 20 persen,” ungkap Redma.

Praktik dumping benang filamen, menurut Redma, tidak hanya merugikan produsen langsung, tetapi juga memicu efek domino terhadap seluruh rantai industri tekstil.

Salah satu dampak paling terasa adalah menurunnya permintaan benang pintal, karena benang filamen impor mengambil porsi pasar yang sebelumnya dimiliki oleh produk dalam negeri.

“Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan karena mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya,” jelas Redma.

Redma mencontohkan bahwa beberapa perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF telah menutup lini produksi polimer mereka akibat anjloknya permintaan.

Saat ini, hanya sekitar empat perusahaan yang masih memproduksi polimer untuk kebutuhan dalam negeri, dan itu pun dalam kondisi terbatas.

APSyFI berharap bahwa dengan penetapan BMAD 20 persen, industri tekstil dari sektor hulu seperti produksi polimer, benang filamen, dan benang pintal, hingga sektor hilir seperti kain dan produk jadi, bisa kembali bangkit dan bersaing secara sehat di pasar domestik.

"Tujuan utama dari kebijakan anti-dumping ini adalah mengembalikan ekosistem industri ke kondisi normal. Bukan hanya untuk menyelamatkan benang filamen, tapi juga pemintalan dan polimer. Ini soal keberlangsungan industri nasional,” tegas Redma.

Tak hanya itu, Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan pada sektor hulu lainnya, khususnya Purified Terephthalic Acid (PTA) sebagai bahan baku utama serat sintetis.

Jika bahan baku masih dibiarkan bebas masuk dengan harga dumping, maka seluruh rantai industri tetap terancam.

“PTA juga harus diberi proteksi. Kalau hulunya lepas, ya tetap saja kita enggak bisa bersaing. Minimal, bea masuk tetap atau BMAD juga diberlakukan untuk PTA,” tambah dia.

Pandangan senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal.

Ia menilai bahwa penetapan tarif BMAD minimal 20 persen adalah langkah logis dan relevan dengan kondisi industri yang tengah mengalami kerusakan struktural akibat praktik dumping.

“Angka 20 persen itu secara kasar masih masuk akal, dan itu pun batas minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury yang dialami industri kita,” ujar Faisal.

Ia menambahkan bahwa untuk sejumlah produk tekstil, harga barang impor, terutama dari China, bisa kurang dari separuh harga produksi dalam negeri.

Dalam kondisi ini, BMAD 20 persen masih belum cukup menutup disparitas tersebut.

Faisal menegaskan bahwa penerapan kebijakan antidumping bukan berarti menutup pasar atau menghalangi persaingan, melainkan bagian dari strategi industri nasional agar tetap hidup dan tidak tergerus dalam kompetisi yang tidak sehat.

“Kalau harga impor dari China bisa setengahnya harga lokal, maka dengan BMAD 20 persen pun, produk dalam negeri tetap akan terlihat lebih mahal. Ini yang perlu dihitung serius oleh pemerintah,” pungkasnya.

Tag:  #asosiasi #minta #tarif #bmad #persen #diterapkan #untuk #benang #filamen #impor

KOMENTAR