Percepatan Perjalanan KA Jakarta-Bandung
LAYANAN transportasi antara Jakarta dan Bandung boleh dikata paling padat dibanding kota-kota lain di Indonesia, misalnya Surabaya – Malang, Yogyakarta – Jakarta, atau antara Semarang dan Jakarta. Semua jenis layanan darat, kereta api (KA), bus, travel atau kendaraan pribadi di jalur Jakarta – Bandung sangatlah padat.
Di antara semua jenis layanan, KA boleh dikata menjadi layanan favorit, baik bagi turis, penglaju (ulang-alik pekerja) atau penumpang sesekali, dibanding bus atau travel. Apalagi sejak 2023 ada KCIC (Kereta Cepat Indonesia China), Whoosh, yang menempuh perjalanan dari Stasiun Halim (Jakarta Timur) ke Padalarang, dan Tegalluar (Bandung Timur) hanya dalam 42 menit.
Bukan cuma orang Indonesia yang terpukau dengan Whoosh. Turis Malaysia dan Singapura pun suka sekali naik Whoosh karena di negeri mereka kereta jenis ini belum ada. Sekencang-kencangnya kecepatan alat transportasi darat tadi tidak ada yang bisa menandingi kecepatan Whoosh yang mendekati 350 km/jam, menempuh Halim – Padalarang hanya 35 menit.
KA Parahyangan dari Stasiun Gambir hingga Stasiun Bandung sejauh 169 kilometer, terengah-engah selama 3 jam 15 menit, apalagi KA Pangandaran (Gambir – Bandung – Banjar) atau KA Papandayan (Gambir – Bandung – Garut) yang kelasnya “lebih rendah” dibanding KA Argo Parahyangan yang kini sudah tidak diaktifkan.
Tarif KA Argo Parahyangan, KA Pangandaran, KA Papandayan tidak terlalu jauh dari tarif Whoosh, antara Rp 150.000 dan Rp 200.000 berbanding (kelas ekonomi Whoosh) Rp 150.000 hingga Rp 250.000. Jumlah penumpang sehari juga beda, Whoosh dengan 62 perjalanan bisa sampai 25.000-an, Parahyangan dengan 10 perjalanan mengangkut 4.000 hingga 5.000 penumpang, sementara KA Papandayan dan KA Pangandaran masing-masing sekitar 500-an penumpang.
Masalah terbesar KA Parahyangan hanya soal waktu tempuh yang mustahil bisa menyamai Whoosh. Padahal jalur Parahyangan – juga Papandayan dan Pangandaran – adalah jalur wisata dengan pemandangan yang bagus, terutama antara Stasiun Padalarang dan Purwakarta – Cikampek.
Pegunungan, suasana pedesaan, persawahan, terowongan dan berbagai jembatan, menjadi daya tarik penumpang yang perjalanannya tidak tergesa-gesa. Ada satu terowongan sepanjang 949 meter, terowongan Sasaksaat, dan 46 jembatan yang menampilkan pemandangan indah di kolongnya.
Jembatan Cikubang, salah satu jembatan kereta api di Indonesia.
Hanya 90 menit
Ada wacana muncul dari pertemuan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dengan Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) Bobby Rasyidin beberapa waktu lalu yang membawa angin segar. Khususnya mengenai reaktivasi jalur KA “kuno”. Dan yang paling menarik, penyegaran layanan KA Jakarta-Bandung yang namanya katanya KA Pajajaran, yang menyerempet-serempet menyaingi KCIC, melewati track itu dalam waktu hanya 90 menit, dengan mahar Rp 8 triliun.
Dana itu termasuk reaktivasi jalur Banjar – Pangandaran sepanjang 60 kilometer, punya empat terowongan dan beberapa jembatan berangka baja. Jalur ini tidak diaktifkan sejak 1 Februari 1982, setelah hidup sejak tahun 1918. Dengan dana itu PT KAI tidak akan membangun jalur baru seperti Whoosh, hanya memanfaatkan sebanyak mungkin jalur lama, terutama rel antara Purwakarta-Cikampek-Gambir.
Kemungkinan ada perubahan untuk jalur antara Padalarang hingga Purwakarta yang jalurnya melewati dan menghindari perbukitan serta lembah-lembah yang dalam.
Whoosh punya jalur tersendiri untuk laju kecepatannya, track-nya tidak punya tikungan tajam atau tanjakan tajam sehingga menembus terowongan di 13 bukit, dan tanpa pintu perlintasan. Jalur KA cepat mestinya dibangun tidak selevel dengan kawasan permukiman yang akan melahirkan pintu-pintu perlintasan liar dengan kemungkinan penyeberangan paksa masyarakat.
Secara teori, laju KA Parahyangan antara Bandung sampai Padalarang dan Purwakarta-Cikampek hingga Gambir bisa sampai 150 km/jam, prakteknya hanya sekitar 115km/jam. Padatnya permukiman dan kegiatan masyarakat sepanjang sisi rel dan banyaknya pintu perlintasan selain banyaknya KA dari Jabar, Jateng dan Jatim ke Jakarta, memperlambat kecepatan KA.
Perbukitan antara Padalarang dan Purwakarta membuat KA seperkasa apa pun tidak bisa melaju, hanya mampu melaju sekitar 45 km/jam – 55 km/jam. Kereta harus memutari bukit sambil menghadapi lengkungan (R) yang radiusnya rendah, dilaporkan ada yang sekitar 150 meter, ada yang bilang 300 meter, R yang terakhir ini bisa membuat KA melaju sampai 55 km/jam.
Utang kereta cepat jakarta bandung.
Tilting bogie
Upaya paling penting dilakukan adalah membuat radius tikungan yang lebih besar, meskipun kendala alam tidak memungkinkan radius lebih dari 800 meter. Selain kemungkinan menembus gunung dengan membuat terowongan dan menerapkan teknologi tilting bogie untuk melawan gaya sentrifugal yang muncul di lengkungan.
Gaya sentrifugal membuat kereta cenderung “terlempar” ke arah yang berlawanan arah tingkungan, bisa membuat kereta keluar dari relnya. Gaya sentrifugal bisa dihilangkan dengan cara tilting bogie, memiringkan kereta ke arah bagian dalam tikungan saat melaju dengan kecepatan tetap tinggi di jalur yang berkelok-kelok. Mengimbangi gaya sentrifugal membuat penumpang merasa lebih stabil dan nyaman.
Tilting bogie digunakan di banyak negara, misalnya di bogie KA Pendolimo di Inggris dan Italia atau di KA Shinkansen seri N700 di Jepang atau di seri X2000 di Swedia.
Harus diperhatikan juga keberadaan kawasan rawan longsor antara Sukatani dan Ciganea sepanjang 4 kilometer yang sulit dihindari, sementara pemindahan jalur agak mustahil melihat kontur alamnya. Di sini pernah diupayakan menutup longsoran dengan menimbun batuan sampai 250 ton, namun tidak memberi hasil yang baik, tetap saja acap ambrol.
Ada jembatan terpanjang dan ikonik, seperti jembatan Cikubang buatan zaman penjajahan sepanjang 300 meter, ketinggiannya 80 meter di atas Sungai Cikubang, Cipatat. Ada lagi jembatan Cisomang yang panjangnya 234 meter namun tingginya sampai 100 meter di atas Kali Cisomang, Darangdan, Purwakarta. Cisomang yang baru, jembatan ketiga di tempat sama yang diresmikan Presiden Megawati pada 2004, sementara dua jembatan lain, buatan 1906 dan 1932, lebih pendek dan sudah tidak digunakan.
Membuat penumpang makin nyaman, cara penyambungan rel pun harus diperbaiki, tidak hanya dengan memasang dan membaut kedua rel dengan menyisakan kerenganggan menjaga ketika rel memuai saat kena panas matahari.
Cara thermit sudah lebih baik untuk menyambung rel, namun masih menimbulkan bunyi: jegleg .. jegleg .. ketika roda KA menginjak sambungan, sementara Whoosh pakai teknologi flash butt yang senyap.
Kereta yang disebut KA Pajajaran ini akan banyak menarik penumpang, selain para penglaju Jakarta dan Bandung karena tarifnya relatif lebih murah dibanding Whoosh. Hanya saja, dengan jalur yang juga akan menembus beberapa bukit, penumpang akan banyak kehilangan momen cantik alam Parahyangan yang memukau.