



Sajak: Sukun di Dusun
Sukun di Dusun
Sebelum buah sukun jatuh dan membusuk
di jalan dusun, seorang paman memetiknya:
sebutir yang gemuk, kiranya cukup
untuk teman menghabiskan teh manis
di hari-hari gerimis.
Kiranya akan jadi pelipur
bagi masa kecil yang jauh-mengabur
–dan sesekali kauceritakan dengan
mata berkabut kepada anakmu.
Tentang hujan yang menipis menjelang magrib
dan siapa yang lebih dulu melewati jalan pintas:
bergegas dari cerita-cerita hantu berwajah pias,
penunggu pohon kesayangan orang-orang dewasa.
Tentang siapa yang lebih dulu tiba
di rumah dengan aroma diang
dan hangat sukun kukus
baru diangkat dari dandang.
Dan kau tak perlu tahu
–seperti juga anakmu kini–
seberapa jauh jarak rumah ke musim panen:
musim-musim ketika tangan lebih mudah
menjangkau hangat kemakmuran
di lubang pendaringan.
Kolomayan, 7 Maret 2024
---
Fragmen Embacang
Telah kaucium wangi serupa sebelum kuweni,
sebelum aroma tajam terpentin menghunus
dari hutan-hutan pinus,
dan kau selalu berkata:
’’Aku tak punya apa-apa di dusun ini
selain kenangan yang begitu sulit
dijadikan puisi,
tapi adakalanya aku simpan merah gula
untuk meredam rasa asam di lidah
dan melupakan ngilu ketika jauh dari rumah,
jauh dari bermukimnya kata-kata.”
Telah kaupilih ranum-matang embacang
dari pohonnya yang kerap dilupakan,
dari ingatan lama orang-orang
yang memunggungi kampung halaman.
Maka kaupilih juga hari paling terik
untuk membersihkan getah gatal paling tengik
agar tak membakar kata-kata di bibirmu
dan menjadi luka di lambungmu,
agar kau tak pernah lupa
–di antara semua yang diabaikan–
ada yang tetap tumbuh di pekarangan
dalam ketenangan, dalam diam
dalam manis dan asam.
Kolomayan, 8 Maret 2024
---
Riwayat Singkat Sebuah Resep Masakan
Kau terkenang rasa lapar yang samar, hangat kuali
menguarkan harum-manis daging gori
sejak lama. Sejak tangan-tangan sareh
mengentalkan warna putih areh
–gurih santan pada sarapan pagimu.
Kau teringat pohon-pohon yang dibabat
untuk sebuah kota. Pohon-pohon nangka,
pohon-pohon kelapa, pohon-pohon rempah,
pohon-pohon pemberi buah di belantara Mentaok:
bakal tanah swatantra di mana riwayat
sebuah resep masakan bermula
dari tangan para kawula, para pekerja,
para prajurit abdi Panembahan Senopati
–merekalah juru masak itu, laskar pengaduk
dengan sendok dayung berputar-putar dalam belanga
demi cita rasa istimewa; paduan paling tanak nangka
muda, santan kelapa, aneka bumbu masa lalu
yang terus mengendap dalam ingatanmu–
dan kau segera teringat muasal kata:
gudeg telah menyerap perjalanan jauh hangudeg
dengan cara paling tenang ke lidah para pendatang,
ke percakapan sehari-hari, atau sambil lalu
para pelancong yang rindu.
Tapi kini kau terpisah jauh dari sejarah
kota yang kerap melembutkan keras-pedasnya hidup
ke dalam rasa manis yang menggenang
di lambungmu. Kau mengenang semua itu
segala yang mengeras dalam kepalamu,
dengan cinta yang tak pernah lunas.
Ampenan, 1 Oktober 2023
---
TJAK S. PARLAN, Lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Beberapa bukunya, antara lain, Kota yang Berumur Panjang (Kumcer/2017), Berlabuh di Bumi Sikerei (Feature Perjalanan/2019), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Kumcer/2020), dan Cinta Tak Pernah Fanatik (Puisi/2021). Saat ini bermukim di Desa Kolomayan, Kec Wonodadi, Kab Blitar.