Sajak: Sukun di Dusun
Ilustrasi (Budiono/Jawa Pos)
09:04
12 Mei 2024

Sajak: Sukun di Dusun

Sukun di Dusun

 


Sebelum buah sukun jatuh dan membusuk

di jalan dusun, seorang paman memetiknya:

sebutir yang gemuk, kiranya cukup

untuk teman menghabiskan teh manis

di hari-hari gerimis.

 


Kiranya akan jadi pelipur

bagi masa kecil yang jauh-mengabur

–dan sesekali kauceritakan dengan

mata berkabut kepada anakmu.

 


Tentang hujan yang menipis menjelang magrib

dan siapa yang lebih dulu melewati jalan pintas:

bergegas dari cerita-cerita hantu berwajah pias,

penunggu pohon kesayangan orang-orang dewasa.

 


Tentang siapa yang lebih dulu tiba

di rumah dengan aroma diang

dan hangat sukun kukus

baru diangkat dari dandang.

 


Dan kau tak perlu tahu

–seperti juga anakmu kini–

seberapa jauh jarak rumah ke musim panen:

musim-musim ketika tangan lebih mudah

menjangkau hangat kemakmuran

 


di lubang pendaringan.

 


Kolomayan, 7 Maret 2024

---

Fragmen Embacang

 


Telah kaucium wangi serupa sebelum kuweni,

sebelum aroma tajam terpentin menghunus

dari hutan-hutan pinus,

 

dan kau selalu berkata:

’’Aku tak punya apa-apa di dusun ini

selain kenangan yang begitu sulit

dijadikan puisi,

 


tapi adakalanya aku simpan merah gula

untuk meredam rasa asam di lidah

dan melupakan ngilu ketika jauh dari rumah,

jauh dari bermukimnya kata-kata.”

 


Telah kaupilih ranum-matang embacang

dari pohonnya yang kerap dilupakan,

dari ingatan lama orang-orang

yang memunggungi kampung halaman.

 


Maka kaupilih juga hari paling terik

untuk membersihkan getah gatal paling tengik

agar tak membakar kata-kata di bibirmu

dan menjadi luka di lambungmu,

 


agar kau tak pernah lupa

–di antara semua yang diabaikan–

ada yang tetap tumbuh di pekarangan

dalam ketenangan, dalam diam

 


dalam manis dan asam.

 

Kolomayan, 8 Maret 2024

---

Riwayat Singkat Sebuah Resep Masakan

 


Kau terkenang rasa lapar yang samar, hangat kuali

menguarkan harum-manis daging gori

sejak lama. Sejak tangan-tangan sareh

mengentalkan warna putih areh

–gurih santan pada sarapan pagimu.

 


Kau teringat pohon-pohon yang dibabat

untuk sebuah kota. Pohon-pohon nangka,

pohon-pohon kelapa, pohon-pohon rempah,

pohon-pohon pemberi buah di belantara Mentaok:

bakal tanah swatantra di mana riwayat

 


sebuah resep masakan bermula

dari tangan para kawula, para pekerja,

para prajurit abdi Panembahan Senopati

 


–merekalah juru masak itu, laskar pengaduk

dengan sendok dayung berputar-putar dalam belanga

demi cita rasa istimewa; paduan paling tanak nangka

muda, santan kelapa, aneka bumbu masa lalu

yang terus mengendap dalam ingatanmu–

 


dan kau segera teringat muasal kata:

gudeg telah menyerap perjalanan jauh hangudeg

dengan cara paling tenang ke lidah para pendatang,

ke percakapan sehari-hari, atau sambil lalu

para pelancong yang rindu.

 


Tapi kini kau terpisah jauh dari sejarah

kota yang kerap melembutkan keras-pedasnya hidup

ke dalam rasa manis yang menggenang

di lambungmu. Kau mengenang semua itu

segala yang mengeras dalam kepalamu,

 


dengan cinta yang tak pernah lunas.

 


Ampenan, 1 Oktober 2023

---

TJAK S. PARLAN, Lahir di Banyuwangi, Jawa Timur. Beberapa bukunya, antara lain, Kota yang Berumur Panjang (Kumcer/2017), Berlabuh di Bumi Sikerei (Feature Perjalanan/2019), Sebuah Rumah di Bawah Menara (Kumcer/2020), dan Cinta Tak Pernah Fanatik (Puisi/2021). Saat ini bermukim di Desa Kolomayan, Kec Wonodadi, Kab Blitar.

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #sajak #sukun #dusun

KOMENTAR