



Masalah Truk ODOL Tak Kunjung Selesai, Pengamat: Kenapa Pemilik Barang Tak Pernah Disentuh?
- Aksi demo sopir truk yang marak dalam beberapa pekan terakhir bukan semata penolakan terhadap razia di jalan. Di balik aksi itu, ada suara yang lebih dalam: keluhan karena mereka terus disalahkan atas masalah kendaraan Over Dimension Over Load (ODOL), padahal mereka bukan pihak yang membuat keputusan.
Pengamat transportasi Muhammad Akbar menilai, masalah ODOL bukan hal baru. Truk bermuatan berlebih dan berukuran tak sesuai aturan sudah jadi pemandangan umum di jalan-jalan nasional.
Dampaknya nyata: jalan cepat rusak, angka kecelakaan naik, dan biaya logistik membengkak. Tapi yang selalu kena sanksi justru sopir—bukan pemilik barang, pemilik truk, atau bengkel karoseri.
“Sopir hanya menjalankan perintah. Mereka tak punya kuasa menolak muatan. Kalau menolak, bisa kehilangan pekerjaan,” kata Akbar melalui keterangannya.
Salah Sasaran
Selama ini, penindakan ODOL lebih banyak dilakukan lewat razia di jalan. Yang kena tilang sopir, yang ditahan truk. Tapi siapa yang menyuruh mengangkut muatan berlebih? Siapa yang memodifikasi bak truk jadi lebih panjang dari ukuran standar?
“Selalu sopir yang disalahkan, padahal keputusan mengangkut muatan berlebih bukan dari mereka,” ujar Akbar.
Banyak truk dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa membawa lebih banyak barang. Modifikasi itu bahkan lolos uji KIR, padahal seharusnya tidak.
urat-surat bisa diurus, data bisa dimanipulasi, dan pengawasan bisa diakali. Akbar menambahkan, inilah yang membuat banyak pelaku utama di balik ODOL tetap bebas melenggang.
Menurut Kementerian PUPR, setiap tahun negara harus menggelontorkan hingga Rp 40 triliun untuk memperbaiki jalan rusak akibat kendaraan ODOL. Angka itu setara dengan anggaran pendidikan atau layanan kesehatan untuk jutaan orang.
Semua kerusakan itu terjadi karena pelanggaran yang dibiarkan terjadi terus-menerus.
“Selama penegakan hukum hanya menyasar di jalan, ODOL akan terus jadi masalah tahunan. Ramai sesaat, lalu hilang lagi,” tegas Akbar.
Untuk menyelesaikan masalah ODOL, pemerintah harus menyasar pemilik barang, pemilik truk, dan bengkel karoseri—bukan hanya sopir. Di tangan merekalah keputusan pelanggaran bermula.
“Kalau yang membuat keputusan tidak disentuh hukum, ya pelanggaran akan terus berulang,” katanya.
Pemerintah juga diminta memperbaiki sistem logistik secara menyeluruh. Tarif angkutan barang harus realistis. Saat ini banyak pemilik barang menekan biaya serendah mungkin, sehingga truk dipaksa membawa muatan berlebih demi efisiensi.
Akbar menyarankan agar pengawasan truk dan logistik di Indonesia segera beralih ke sistem digital. Negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan sudah menerapkannya dengan hasil yang baik.
Di Jepang, semua kendaraan barang terhubung dengan sistem yang memantau berat muatan, rute perjalanan, dan lama perjalanan. Jika ada kejanggalan, sistem langsung memberi peringatan.
Sementara di Korea Selatan, sistem logistiknya sudah terhubung dari pemilik barang sampai sopir. Jika terjadi pelanggaran, seluruh pihak bisa langsung ditindak: dari perusahaan, pemilik barang, hingga penyedia jasa angkutan.
“Dengan sistem seperti itu, pelanggaran bisa dicegah sejak awal. Bukan baru bertindak saat truknya sudah di jalan,” jelas Akbar.
Akbar menegaskan, pemerintah perlu segera bertindak tegas dan adil. Jangan sampai hanya berani pada sopir yang lemah, tapi takut menyentuh perusahaan besar yang punya kuasa.
“Truk ODOL itu seperti bom waktu. Jalan makin rusak, kecelakaan makin banyak, dan negara rugi terus. Kita tidak bisa terus diam,” ujarnya.
Jika pemerintah ingin menyelesaikan masalah ODOL secara serius, maka penegakan hukum harus menyentuh semua pihak yang terlibat. Bukan cuma yang di belakang kemudi, tapi juga yang memberi perintah dari balik meja.
Tag: #masalah #truk #odol #kunjung #selesai #pengamat #kenapa #pemilik #barang #pernah #disentuh