



DPR Tunda Co Payment Asuransi, Nasabah Tidak Jadi Bayar 10 Persen
Komisi XI DPR RI memutuskan untuk menunda pelaksanaan co-payment asuransi yang seharusnya dimulai sejak 2026.
Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan penundaan ini menunggu POJK yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Dalam rangka penyusunan POJK sebagaimana yang dimaksud dalam poin 2 (dua), OJK menunda pelaksanaan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 , Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan sampai diberlakukannya POJK," ujar Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, di gedung Parlemen RI, di Jakarta, Senin, (30/6/2025).
Dalam hal ini. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan pihaknya dapat memahami dan menerima kesimpulan tersebut. "Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi," kata Mehendra.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan, pihaknya mengikut saran dari Komisi 11 DPR RI.
Meski demikian, ia tetap menegaskan pentingnya SE OJK terbaru ini demi kesehatan industri asuransi kesehatan di Indonesia.
"Klaim ratio itu sudah mendekati 100 persen, bahkan kalau dimasukin dengan OPEX-nya itu sudah di atas lagi. Jadi itu tahun lalu rata-rata naikkan premi asuransi kesehatan itu kan mencapai lebih dari 40 persen. Jadi sebenarnya sudah cukup tinggi premi yang dibayarkan. Jadi ini adalah salah satu langkah untuk memperbaiki ekosistem asuransi kesehatan.Jadi itu co-payment hanya salah satu," katanya.
DPR meminta agar co-payment untuk ditunda sampaiada peraturan yang lebih tinggi, yaitu Peraturan OJK (POJK). Tentunya, keputusan ini bakal diterima oleh OJK.
"Kita ikutin lah, karena mereka yang mengawasi," bebernya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan alasan menerbitkan kebijakan co-payment alias pembagian risiko dengan peserta asuransi kesehatan, di mana peserta harus tetap membayar 10 persen dari total biaya.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengatakan jasa asuransi yang sangat penting dan dibutuhkan untuk memberikan proteksi kepada masyarakat serta para pelaku usaha di Indonesia demi tercapainya tujuan pembangunan.
"Namun di lain pihak, saat ini kapasitas dari industri asuransi di Indonesia dapat dikatakan masih terbatas dalam memberikan proteksi kepada masyarakat dan pelaku usaha itu," katanya.
Menurutnya, aset perusahaan asuransi di Indonesia saat ini baru mencapai 5,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara ASEAN yakni 15 persen, di luar Singapura yang sudah hampir 70 persen.
Begitu pula dengan total premi asuransi yang dibayarkan setiap tahunnya dibandingkan PDB atau terminologi penetrasi, dia mengungkapkan saat ini masih di bawah 3 persen dari PDB, jauh di bawah Singapura 10 persen dan rata-rata ASEAN 3-5 persen.
Dia pun menuturkan, jarak proteksi (protection gap) di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia masih sangat besar, jumlahnya ditaksir mencapai USD 886 miliar pada tahun 2022.
Hal ini, menurutnya, mencerminkan belum ratanya proteksi asuransi terhadap berbagai risiko kesehatan, sementara risiko seperti bencana alam dan penyakit kritis terus meningkat.
"Dalam kaitan dengan konteks Indonesia, kami akan menyampaikan beberapa hal yang menunjukkan bahwa banyak sekali hal-hal yang belum terproteksi oleh asuransi, baik oleh Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan maupun oleh asuransi kesehatan yang non wajib,"bebernya.
Tag: #tunda #payment #asuransi #nasabah #tidak #jadi #bayar #persen