Sejarah Mudik dan Pergeseran Nilai, Pakar Unair Sebut Sekarang Jadi Ajang Social Life di Tempat Rantau
–Apa yang paling dinantikan perantau saat mudik Lebaran? Apakah merindukan berkumpul dan bertemu keluarga serta tetangga selama Lebaran di kampung halaman? Atau justru ada sesuatu yang lain?
Jika dilihat dari sejarah awalnya, mudik menjadi tradisi khas ala Indonesia untuk melepaskan kerinduan akan kampung halaman bagi seorang perantauan. Dilansir dari unair.ac.id, dosen sejarah Universitas Airlangga Moordiati menyebutkan, mudik atau perjalanan untuk pulang kampung sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit dan Mataram Islam.
Prosesi pulang kampung sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka dari penjajahan, bahkan telah ada sejak era kerajaan. Di zaman itu, masyarakat yang ditugaskan untuk bekerja di luar kerajaan, dalam momen atau waktu tertentu akan pulang ke kampung halaman.
”Di era itu, istilah mudik masih belum digunakan. Terminologi ini mulai banyak digunakan pada 1960-an hingga 1980-an,” tutur Moordiati.
Pada tahun-tahun itu, lanjut dia, masifnya penggunaan istilah mudik berbanding lurus dengan tingginya angka urbanisasi masyarakat desa ke kota.
”Jadi, istilah ini mulai berkembang dan menjadi sesuatu yang sangat masif pada 1960-an, 1970-an, 1980-an, seiring dengan masifnya urbanisasi,” ungkap Moordiati, alumni UGM tersebut.
Dia menjelaskan, asal muasal istilah mudik berakar dari beberapa serapan atau akronim tertentu. Salah satunya serapan dari bahasa Melayu.
Moordiati mengatakan, mudik dalam bahasa Melayu memiliki arti perpindahan dari hilir ke hulu. Ketika pagi pergi ke hilir, sore akan pulang ke hulu. Mudik juga disebut berasal dari istilah udik yang berarti ujung, atau pergi ke asalnya, yakni pulang kampung.
Kemudian karena diidentikkan dengan Lebaran dan diasosiasikan pada akronim Jawa, mudik berarti mulih dhisik yang memiliki arti pulang dulu.
”Seiring dengan adanya tradisi Lebaran, orang-orang mengatakan istilah mudik itu mulih dhisik, serapan dari bahasa Jawa. Ini masuk akal mengingat banyak orang Jawa yang merantau dan melakukan mudik saat Lebaran,” jelas Moordiati.
Awalnya, tradisi mudik memiliki nilai-nilai emosional yang sentimental seperti melepaskan rindu keluarga di kampung halaman. Pada era 1960 hingga 1980-an, nilai-nilai yang dijunjung dalam tradisi mudik sudah sangat mengakar dalam masyarakat, yakni mengobati rasa kangen orang di desa.
”Kalau dulu mudik itu kan, rohnya sangat kelihatan, utamanya saat proses urbanisasi sangat tinggi, sekitar tahun 60-an hingga 80-an. Orang mudik itu ya, memang karena dia ingin pulang ke kampung halamannya sebab ada ikatan emosional yang tinggi,” papar Moordiati.
Namun, menurut dia, karena perubahan zaman, pergeseran budaya, dan transformasi nilai-nilai yang dipegang, beralih pula makna tradisi mudik. Orang-orang tidak lagi mudik karena sentimen emosional seperti kerinduan, melainkan mereka pulang kampung untuk menunjukkan kehidupan sosial yang telah dicapai di tanah perantauan.
Perubahan nilai itu terjadi karena pola gaya hidup, peningkatan kehidupan sosial, hingga persaingan status sosial.
”Orang sekarang kan mudik tidak lagi seperti zaman dulu ya, jadi mereka ketika pulang itu bukan karena ada ikatan emosional lagi, tetapi karena mereka ingin menunjukkan social life mereka di tempat rantau,” ucap Moordiati, pakar sejarah Unair tersebut.
Tag: #sejarah #mudik #pergeseran #nilai #pakar #unair #sebut #sekarang #jadi #ajang #social #life #tempat #rantau