Asa dari Kampung Rufei Papua, Kehidupan Layak Siapapun Presidennya...
Kondisi Rumah Warga Kampung Rufei, Sorong, Papua Barat Daya yang dihuni oleh 3-5 keluarga, diambil pada Selasa (15/1/2024).(KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO)
21:14
18 Januari 2024

Asa dari Kampung Rufei Papua, Kehidupan Layak Siapapun Presidennya...

- Suara decit papan kayu terdengar dimana-mana, jembatan penghubung, rumah dan dinding rumah-rumah yang dibangun menggunakan kayu papan di atas rawa air payau dengan penuh sampah di bawahnya.

Rumah-rumah ini disebut Kampung Rufei, kampung yang dihuni oleh tiga suku Imeko yakni Inanwatan, Metemani dan Kokoda di Kota Sorong, Papua Barat Daya.

Awalnya kami mengira, kampung yang dibuat di atas tanah rawa itu memang sengaja dibuat sebagai salah satu bentuk kebudayaan dan cara tinggal suku tertentu.

Namun ternyata tidak, mereka berada di tempat itu karena terpaksa.

 

Penduduk Kampung Rufei awalnya adalah penduduk yang bermukim di lahan tempat pembangunan pasar modern Rufei.

Mereka kemudian tergusur, diminta hengkang dari tanah yang puluhan tahun mereka tempati dengan uang ganti rugi sebesar Rp 2 juta.

Setidaknya itu pengakuan salah satu warga yang terus-menerus mengucapkan harapannya agar pemerintah membuatkan mereka rumah yang layak.

Rumah yang kini mereka tempati tak bisa disebut layak, bahkan lebih mirip tempat pengungsian sementara. Satu rumah bisa dihuni oleh tiga sampai empat keluarga.

Dindingnya tak rapat, sesekali terlihat tangan kecil anak-anak mereka mengeluarkan sampah sisa makanan dari dinding yang terlihat lapuk dimakan waktu.

Mereka terpaksa tinggal di tempat itu sejak 2003, uang ganti rugi yang minim tak bisa diharapkan untuk membeli lahan. Mereka akhirnya membangun rumah panggung ini di lahan orang, untuk meneruskan hidup mereka.

Kondisi Rumah Warga Kampung Rufei, Sorong, Papua Barat Daya yang dihuni oleh 3-5 keluarga, diambil pada Selasa (15/1/2024).KOMPAS.com/SINGGIH WIRYONO Kondisi Rumah Warga Kampung Rufei, Sorong, Papua Barat Daya yang dihuni oleh 3-5 keluarga, diambil pada Selasa (15/1/2024).

"(Tempat) kita tinggal ini tidak bisa miliki karena ini perusahaan minyak punya tempat, jadi tidak bisa bangun rumah sembarang, harus izin baru kita kasih (membuat) rumah. Dari tahun 2003 (tergusur) karena pasar mau bangun jadi kita pindah, (ganti rugi) satu rumah cuma dikasih dua juga," kata Keturamudai saat ditemui Selasa (16/1/2024) lalu.

"Padahal dulu (kami punya) rumah, kami pindah di sini kita tidak dapat rumah. Yang lain dapat bantuan kita ini bagaimana?" katanya lagi.

Air bersih yang sulit ditemui

Pantauan Kompas.com, rumah-rumah panggung berdinding papan tipis, berpintu kayu, kadang tak berjendela, kadang jendela hanya ditutup kain. Atap seng terlihat sudah banyak berkarat.

Beberapa rumah juga terlihat sudah lapuk, tak berpenghuni. Toilet tempat mereka buang hajat juga dibuat seperti rumah panggung. Septik tanknya tak ditanam, terlihat tabung besar berwarna oranye yang pipanya mengarah ke rawa tempat rumah warga dibangun.

Sesekali anak kecil terlihat mencari ikan di rawa itu, bergelut bersama lumpur, limbah dan sampah sisa makanan yang dibuang begitu saja dari tembok-tembok bolong rumah warga.

Kampung ini berada di dekat pesisir, sehingga rawa air payau itu tak bisa dijadikan harapan untuk diolah menjadi bersih. Lagipula, pembuangan air limbah sudah bercampur di rawa tersebut.

Penampungan air bersih terlihat berada di dekat akses jalan masuk kampung, di tempat itu warga menampung air menggunakan jerigen dan membawa ke dapur mereka.

Ironi warga kampung yang dulunya memiliki rumahnya sendiri ini tak jauh dari pusat kota Sorong, Papua Barat Daya. Kampung ini hanya berjarak 9 kilometer dari Bandara Domine Eduard Osok.

"Kami tinggal di satu rumah itu tiga keluarga, empat keluarga," kata Keturamudai yang kami sapa Mama itu.

Profesinya sebagai pedagang di pasar tak bisa memberikan harapan banyak untuk mengubah nasib keluarga besarnya.

Selama 21 tahun mereka menjalani kehidupan seperti pengungsi ini, padahal mereka sedang berada di Indonesia, di negara yang menyebut mereka sebagai warga negara.

Sulit mengubah nasib, pendidikan mahal

Harapan untuk mengubah nasib kampung yang tak layak huni itu pun sulit dilakukan karena pendidikan yang mahal di tempat itu.

Keturamudai bilang, anaknya yang semangat sekolah harus berhenti karena masalah biaya.

Padahal anaknya tersebut sudah berada di bangku kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA).

Menjelang ujian sekolah, Keturamudai bingung karena pihak sekolah menagih biaya ujian sebesar Rp 1,5 juta.

"Biaya sekolah mahal, saya punya anak su kelas tiga putus (sekolah) karena tidak mampu bayar. Uang ujian saja Rp 1.500.000. SMA kelas tiga, harus putus (sekolah). Saya bilang, biar sudah, mungkin ke depannya kita pilih baik," imbuh dia.

Sebab itu, harapannya di tahun pemilu ini, siapapun yang akan terpilih bisa mengubah nasib mereka untuk tinggal lebih layak.

"Kami ingin punya rumah, bantuan rumah. Kami ingin ada harapan, kami tidak kecewa lagi," tandasnya.

Editor: Singgih Wiryono

Tag:  #dari #kampung #rufei #papua #kehidupan #layak #siapapun #presidennya

KOMENTAR