Pencabutan PBPH: Tanggung Jawab Negara atas Kerusakan Lingkungan?
BEBERAPA waktu terakhir, banjir besar kembali melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Ribuan rumah terendam, aktivitas ekonomi lumpuh, dan warga dipaksa menanggung dampak ekologis yang tak pernah mereka pilih.
Di tengah situasi itu, Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan di Hambalang secara terbuka meminta Menteri Kehutanan untuk lebih berani menertibkan perusahaan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang merusak lingkungan dan mengganggu keselamatan masyarakat.
Hingga hari ini, tercatat 22 PBPH telah dicabut izinnya. Langkah penertiban ini penting dan patut diapresiasi. Namun, pencabutan izin seharusnya tidak berhenti sebagai respons atas pelanggaran perusahaan semata.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana sosial justru membuka pertanyaan lebih mendasar: di mana posisi tanggung jawab negara ketika izin tersebut sejak awal diterbitkan atau diawasi secara tidak cermat?
Kewenangan Negara dan Beban Konsekuensinya
Secara hukum, kewenangan penerbitan PBPH berada di tangan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Kehutanan, berdasarkan Undang-Undang Kehutanan dan rezim perizinan berusaha pasca Undang-Undang Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya. Kewenangan ini bukan hanya hak administratif, tetapi juga mengandung tanggung jawab publik untuk memastikan bahwa setiap izin diterbitkan melalui prosedur yang sah, berbasis kajian lingkungan, serta diawasi secara berkelanjutan.
Dalam hukum administrasi, setiap keputusan tata usaha negara—termasuk izin PBPH—terikat pada asas legalitas, kehati-hatian, dan perlindungan kepentingan umum. Ketika sebuah perusahaan terbukti “nakal”, merusak lingkungan, dan menimbulkan kerugian sosial yang luas, maka ada dua kemungkinan yang tidak bisa dihindari: pengawasan negara gagal, atau sejak awal izin diterbitkan tanpa standar kehati-hatian yang memadai.
Dalam kedua kondisi tersebut, negara tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari tanggung jawab moral dan administratif.
Pencabutan Izin sebagai Sanksi Administratif
Pencabutan PBPH yang dilakukan pemerintah merupakan bentuk sanksi administratif, sebagaimana dikenal dalam hukum administrasi negara. Sanksi ini pada dasarnya bersifat reparatoir, yaitu bertujuan menghentikan pelanggaran dan memulihkan keadaan, bukan semata-mata menghukum pelaku.
Dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan lingkungan hidup, pencabutan izin memang ditempatkan sebagai langkah terakhir ketika pelanggaran terus terjadi atau menimbulkan dampak serius. Namun, pencabutan izin tidak boleh dipahami sebagai akhir dari persoalan.
Dalam konteks bencana lingkungan di Sumatera, sanksi administratif seharusnya juga diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap proses penerbitan izin, mekanisme pengawasan di lapangan, serta kegagalan negara dalam mencegah kerusakan sejak dini. Tanpa evaluasi ini, pencabutan izin berisiko menjadi tindakan simbolik yang tidak menyentuh akar masalah.
Dampak Nyata bagi Masyarakat
Bagi masyarakat di wilayah terdampak, banjir bukan sekadar persoalan alam, melainkan krisis sosial. Kehilangan tempat tinggal, terganggunya akses pendidikan dan kesehatan, serta rusaknya sumber penghidupan adalah kerugian nyata yang tidak bisa diganti hanya dengan pencabutan izin perusahaan. Dalam situasi seperti ini, masyarakat berada pada posisi paling rentan, sementara proses hukum dan administratif berjalan jauh dari kehidupan mereka sehari-hari.
Di sinilah pentingnya negara tidak hanya hadir sebagai regulator yang mencabut izin, tetapi juga sebagai pelindung warga. Negara perlu memastikan pemulihan lingkungan, rehabilitasi sosial, serta mekanisme pertanggungjawaban yang jelas agar beban kerusakan tidak sepenuhnya jatuh ke pundak masyarakat.
Belajar dari Kesalahan Tata Kelola
Penertiban PBPH oleh Kementerian Kehutanan seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola perizinan sumber daya alam secara lebih menyeluruh. Keberanian mencabut izin perlu diiringi dengan keberanian mengakui bahwa kesalahan kebijakan baik dalam penerbitan maupun pengawasan ikut berkontribusi pada bencana yang terjadi.
Jika tidak, negara berisiko mengulangi pola lama: memberikan izin secara longgar, menutup mata terhadap pelanggaran, lalu bertindak keras ketika kerusakan sudah menelan korban.
Pola ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap hukum dan negara.
Bencana di Sumatera adalah duka bersama. Dalam suasana ini, kritik terhadap tata kelola perizinan bukanlah upaya mencari kambing hitam, melainkan dorongan agar negara benar-benar belajar dari kegagalan. Izin negara tidak boleh menjadi sumber bencana bagi rakyatnya sendiri.
Penertiban PBPH harus menjadi awal reformasi kebijakan kehutanan yang menempatkan keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas utama, bukan sekadar koreksi administratif yang datang terlambat.
Tag: #pencabutan #pbph #tanggung #jawab #negara #atas #kerusakan #lingkungan