Ujian Serius bagi Otonomi Daerah jika Kepala Daerah Dipilih Lagi oleh DPRD
- Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengertian ini tertuang dalam poin keenam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Bentuk otonomi ini dinilai akan hilang jika wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD dilaksanakan.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Alwis Rustam mengatakan, otonomi daerah bisa terlaksana ketika ruang dialog terjadi antara pemimpin daerah dan rakyatnya.
Dialog inilah yang menjadi bagian penting atau bahkan tulang punggung bagi daerah yang otonom.
Namun, belakangan, ruang dialog tersebut semakin tertutup, kebijakan tak lagi berdasarkan partisipasi masyarakat yang bermakna, dan semakin diperparah dengan wacana kepala daerah dipilih oleh elite politik.
"Problemnya sekarang dialog sudah ditutup, kan sudah jelas mungkin besok gubernur dipilih Presiden, wali kota/bupati (dipilih oleh) DPRD, mungkin," katanya dalam acara yang digelar Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Rabu (17/12/2025).
Lembaga seperti KPPOD atau Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dari Kementerian Dalam Negeri mungkin akan hilang.
Sebab, jika pemilihan kepala daerah kembali mundur pada titik dipilih dengan tidak langsung, maka otonomi daerah tak akan berjalan.
Sebab itu, Alwis berharap agar pemerintah dan DPR-RI tak lagi mempertentangkan pemilihan langsung atau pemilihan yang dilakukan lewat DPRD.
Karena menurut dia, problematik kepala daerah yang hadir saat ini bukan karena pemilihan langsung, melainkan penyakit politik yang datang dari aktor-aktor politiknya sendiri.
Seperti Bupati Lampung Tengah, misalnya, yang menyebut dirinya melakukan praktik korupsi karena ingin membayar utang kampanye pilkada 2024 yang disebut mahal.
Lantas, bukan berarti pemilihan langsung yang berbiaya mahal, tetapi cara-cara meningkatkan electoral dan politik uang yang menjadi biang keladinya.
"Padahal problem kita itu sistem, gimana supaya enggak boros, supaya tidak culas harus modal tinggi, money politic dan lain-lain, itu yang harus dibahas mati-matian," katanya.
Pilkada langsung berjalan semakin baik
Pada acara yang sama, Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mardyanto, mengatakan, pemilihan kepala daerah secara langsung saat ini justru berjalan semakin baik.
Hal ini berbeda dari apa yang sering digaungkan elite politik baik dari DPR-RI maupun pemerintah yang mengatakan pilkada secara langsung semakin buruk.
Karena basis utama pemilihan secara langsung adalah cara yang paling mengedepankan demokrasi dan memperkuat kedaulatan rakyat dalam mandat kepala daerah.
Salah satu contoh peningkatan kemajuan pilkada secara langsung terlihat di wilayah Papua.
Mardyanto mengatakan, wilayah Papua dikenal dengan penggunaan sistem noken, atau perwakilan kepala suku.
Namun, seiring berjalannya waktu, sistem noken mulai berkurang.
"Kalau tidak salah tahun sebelumnya sekitar 15-16 (kabupaten), sekarang turun menjadi 12-13 kabupaten yang menggunakan sistem noken. Artinya apa? Perbaikan semakin baik," ucapnya.
Sebab itu, menurut Mardyanto, tak mungkin Indonesia memilih mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah yang telah usang melalui DPRD lagi.
Adapun masalah yang sering disebutkan dalam wacana kepala daerah dipilih DPRD, Mardyanto menilai masalah justru berada pada sistem yang mengekang partisipasi calon kepala daerah untuk dipilih.
Misalnya, calon independen.
Jika memang ingin menjawab masalah politik berbiaya mahal, pembentuk undang-undang bisa mencoba opsi agar calon kepala daerah independen dipermudah untuk mengikuti kontestasi.
"Saya kira mungkin akan lebih memperbaiki dari persoalan-persoalan high cost politic dan lain sebagainya," ucap Mardyanto.
Satu-satunya hak suara warga yang masih terjaga
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman, mengatakan, mereka tetap percaya bahwa pemilihan secara langsung adalah hak suara secara langsung satu-satunya yang dimiliki masyarakat saat ini.
Karena ketika menyentuh pada kebijakan pemerintah, masyarakat sering hanya menjadi penonton, tak dilibatkan, dan diminta untuk legawa pada setiap keputusan para pejabat.
"Yang hanya masyarakat bisa tentukan sendiri (memberikan hak suara) itu pilihan langsung," katanya.
Lebih murah dan tidak brutal menjadi alasan wacana kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pernah mengatakan, selain biaya mahal, pilkada dengan pemilihan langsung tidak menjamin hasil kepala daerah yang baik.
"Jadi bahan evaluasi kita ini kira-kira, termasuk evaluasi mengenai mekanisme rekrutmen kepala daerah. Ternyata kan Pilkada langsung enggak harus membuat otomatis kepala daerahnya baik," kata Tito di kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Karena alasan itu juga, Tito sebagai representasi pemerintah menggaungkan wacana pilkada dipilih melalui DPRD.
Dia mengatakan, pilkada lewat DPRD tak dilarang, asalkan berlangsung secara demokratis.
Konstitusi juga disebut tak melarang hal tersebut.
Sehingga menurut dia, patut untuk dilakukan kajian lebih dalam, apakah perlu pilkada dipilih secara tidak langsung.
Meski menyebut pilkada secara langsung tak menjamin kepala daerah yang baik, Tito juga tidak memberikan jaminan pilkada dipilih DPRD akan lebih baik dari pilkada yang dipilih secara langsung.
Katanya "semua tergantung daripada kepala daerah sendiri integritasnya."
Tag: #ujian #serius #bagi #otonomi #daerah #jika #kepala #daerah #dipilih #lagi #oleh #dprd