Hari Kesehatan Nasional Dibayangi Masalah Stunting yang Belum Usai?
- Di balik semangat Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-61 tahun ini mengusung tema “Generasi Sehat, Masa Depan Hebat, Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Tantangan tersebut yakni stunting yang masih belum tuntas dan menjadi ancaman serius bagi kualitas generasi emas 2045.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengingatkan, masa depan Indonesia bergantung pada keberhasilan hari ini dalam menciptakan generasi sehat dan tangguh.
“Sebanyak 84 juta anak Indonesia hari ini akan mencapai usia produktif pada tahun 2045. Kita hanya memiliki dua dekade lagi untuk memastikan mereka tumbuh sebagai generasi yang sehat, tangguh, dan unggul,” kata Budi, dalam sambutan HKN di Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Menurut Budi, dalam empat tahun terakhir, transformasi kesehatan nasional terus berjalan dengan fokus pada pencegahan dan peningkatan layanan primer.
“Fokus kita bergeser dari mengobati orang sakit menjadi menjaga agar orang tetap sehat,” ujar dia.
Ia menyebut, prevalensi stunting balita untuk pertama kalinya turun di bawah 20 persen, yakni menjadi 19,8 persen.
Meski demikian, angka tersebut masih jauh dari target nasional sebesar 14 persen.
“Angka stunting balita turun di bawah 20 persen, menandai kemajuan signifikan. Sementara itu, peningkatan kapasitas laboratorium kesehatan masyarakat dan sistem surveilans penyakit telah dilakukan secara nasional,” ujar Budi.
“Semua ini bagian dari upaya membangun sistem yang tangguh agar masyarakat terlindungi sejak awal,” tambah Budi.
Budi menegaskan, perbaikan layanan primer melalui puskesmas menjadi kunci.
Hingga kini, 8.349 puskesmas telah menerapkan integrasi layanan primer, dan lebih dari 324.000 kader kesehatan di posyandu dilatih dengan 25 keterampilan dasar.
“Ini menjadi fondasi untuk mencegah penyakit dan meningkatkan gizi anak-anak Indonesia,” kata dia.
Edukasi gizi di masyarakat
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menilai, persoalan stunting di Indonesia berakar pada minimnya edukasi gizi masyarakat.
Ia menegaskan bahwa banyak orangtua masih salah dalam memberi makanan pada anak.
“Masih banyak orangtua yang memberi makan anaknya asal kenyang. Anak dikasih nasi dua piring, perkedel kentang, kuah bakso, kecap, dan mi instan,” kata Piprim, saat dihubungi Kompas.com, Rabu.
“Kenyang, tapi tanpa protein hewani yang justru dibutuhkan untuk mencegah stunting,” lanjut Piprim.
Menurut dia, protein hewani lokal seperti ikan, telur, dan daging harus menjadi prioritas dalam pola makan anak.
Namun, sayangnya, hal ini belum benar-benar disadari oleh para orangtua.
“Ironis sekali, orangtuanya nelayan tapi anaknya malah makan mi instan. Padahal, yang mencegah stunting justru ikannya,” kata dia.
Piprim juga menyoroti program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) lokal yang sering disalahartikan di lapangan.
“Banyak PMT lokal malah bubur kacang hijau, nagasari, ubi rebu, dan semuanya tanpa protein hewani. Ini perlu diluruskan,” ujar dia.
Ia mengusulkan gerakan konsumsi telur nasional sebagai solusi konkret.
Menurut dia, untuk mencukupi protein bisa dilakukan dengan rutin memberikan pangan seperti telur, ikan atau daging merah.
“Anak umur satu tahun perlu tiga butir telur per hari, anak dua tahun empat butir. Kalau itu bisa dilakukan, insya Allah stunting bisa dicegah,” kata dia.
Mie instan bukan solusi gizi
Priprim menilai, saat ini, banyak masyarakat menjadikan mie instan sebagai pangan bergisi.
Padahal, mie instant sama sekali tidak mampu mencegah stunting.
“Padahal justru mie instan enggak bisa segah stunting, yang bisa segah stunting justru ikannya gitu,” kata dia.
“Nah, ini yang saya kira problemnya masyarakat adalah masalah edukasi makronutrisi atau makanan apa yang bisa mencegah stunting itu belum dipahami oleh masyarakat secara luas ya,” ungkap dia.
Piprim menegaskan, edukasi di masyarakat masih kurang. Menurut dia, pekerja di posyandu bahkan perlu edukasi secara konsisten agar pemahaman mengenai gizi bisa optimal.
“Bahkan, IDAI pernah lakukan diskusi dialog dengan kader posyandu waktu itu di daerah Bali ya, padahal di perkotaan ini ketika saya tanya makanan apa yang bisa mencegah stunting, jawaban mereka adalah sayuran dan vitamin,” lanjut dia.
Keluarga yang tidak teredukasi gizi
Menurut Piprim, ada banyak keluarga yang tidak teredukasi mengenai gizi yang baik untuk anaknya.
Dia bilang, ada banyak orangtua yang cenderung asal-asalan dalam memberikan makanan untuk anaknya.
“Masih banyak keluarga yang anak-anak itu enggak jadi prioritas ya, misalnya makanannya banyak yang kemudian dihabiskan untuk beli rokok bapaknya, anak-anaknya dikasih makanan yang murah-murah,” kata dia.
Dia mengakui, harga protein hewani tidak murah. Namun, hal itu bisa disikapi dengan pemberian makan yang terjangkau seperti telur ayam.
Dia juga tidak menyarangkan orangtua untuk memberikan snack atau junk food untuk anak-anak, karena meskipun anak terlihat memiliki badan yang gemuk, bukan berarti memiliki gizi yang baik.
Sebaliknya, bisa jadi ada ancaman kesehatan di balik masalah obesitas.
“Ini saya kira sangat memperhatinkan karena memang protein hewani ini kan lebih mahal dibanding snack-snack atau makanan yang tinggi karbohidrat olahan ya,” ujar Piprim.
“Jadi, orangtua sekarang ini di satu sisi yang stunting banyak, tapi di sisi lain anak obesitas dengan penyakit-penyakit penyertanya juga banyak gitu, karena memang kurangnya edukasi tentang makanan sehat,” tegas dia.
Program MBG belum sentuh akar masalah
Menurut Piprim, saat ini program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah, belum menyentuh akar masalah.
Meski demikian, program tersebut dianggap bagus untuk menambah gizi.
“MBG itu bagus, tapi fokusnya anak sekolah. Padahal, stunting terjadi di 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari ibu hamil sampai anak usia dua tahun,” ujar dia.
Ia menyarankan agar program MBG yang menyasar ibu hamil dan balita bisa diperluas.
Menurut dia, dengan efektivitas itu, masalah stunting bisa ditekan.
“Kalau mau efektif cegah stunting, fokuskan ke 1.000 hari pertama kehidupan. Anak sekolah boleh dapat MBG, tapi itu untuk peningkatan gizi, bukan pencegahan stunting,” ujar dia.
DPR ingin MBG fokus ke ibu dan anak
Senada, Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyoroti masih tingginya angka stunting di sejumlah daerah.
“Target Presiden awalnya 14 persen, tapi sekarang masih 19 persen. Bahkan, di beberapa daerah seperti Maluku, angka stunting masih 25,6 persen,” ujar dia.
Di sisi lain, dia mengapresiasi program MBG namun meminta agar sasaran diperluas, sehingga masalah stunting bisa teratasi dengan tepat.
“Prioritas pertama harus ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi di bawah dua tahun. Kalau itu bisa dilakukan, saya yakin angka stunting bisa turun signifikan,” kata Edy.
Menurut dia, nutrisi menjadi fondasi dasar dalam menciptakan generasi sehat.
Maka dari itu, Edy menilai perlu intervensi pemerintah mengatasi masalah kekurangan gizi dari awal kehidupan.
“Kalau anak-anak kita kekurangan gizi di awal kehidupannya, mereka tidak akan tumbuh optimal, baik secara fisik maupun kecerdasan,” ujar dia.
Akar masalah pada ketimpangan ekonomi
Sementara itu, Guru Besar Fisipol UGM sekaligus pengamat kebijakan publik Prof Wahyudi Kumorotomo menilai, masalah stunting tidak cukup diselesaikan lewat program pangan instan seperti MBG.
“Pencegahan stunting harus dimulai dari ibu hamil. Itu hanya bisa dilakukan kalau pendapatan keluarga cukup untuk membeli makanan bergizi,” kata dia.
Menurut dia, pemberdayaan ekonomi keluarga dan lapangan kerja layak jauh lebih efektif daripada program karitatif.
Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi gizi di tingkat akar rumput, terutama lewat posyandu, puskesmas, dan penyuluh gizi.
“Bahan pangan lokal sebenarnya cukup, tapi masyarakat belum tahu cara mengolah dan memilih makanan bergizi,” ujar dia.
Wahyudi juga menyoroti ketimpangan dalam pengalokasian anggaran.
Menurut dia, pemerintah perlu memikirkan anggaran kesehatan di desa-desa, utamanya yang banyak warganya bermasalah dengan gizi.
“Ada Rp 63 triliun untuk program Cath-lab di rumah sakit, tapi pembiayaan layanan primer di puskesmas masih kurang. Padahal pencegahan penyakit dan perbaikan gizi harus dimulai dari sana,” kata dia.
Tag: #hari #kesehatan #nasional #dibayangi #masalah #stunting #yang #belum #usai