



Triliunan Rupiah Berputar di Judi Online!
- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, sampai dengan kuartal pertama tahun 2025, triliunan rupiah berputar di judi online atau judol.
Ketua PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, perputaran dana judi online alias judol mencapai Rp 47 triliun pada kuartal I-2025.
“Jika kita lihatlah ini kuartal I-2025, perolehan transaksi perputaran uang (bukan nilai uang) itu Rp 47 triliun,” kata Ivan, dalam acara Program Mentoring Berbasis Risiko TPPU dan TPPT dari Tindak Pidana Siber 2025, di Gedung PPATK, Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Namun, dibandingkan dengan kuartal I-2024, terdapat penurunan 38 persen.
Sementara itu, untuk transaksinya juga menurun 36 persen.
Pada tahun 2024, nilai perputaran dana judol mencapai Rp 359,8 triliun, atau naik tipis 10 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2023 sebesar Rp 327 triliun.
Namun, perputaran dana judol mengalami kenaikan signifikan di tahun 2023 sebesar 213 persen dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp 104,4 triliun.
Pencapaian di 2024 tersebut, menurut Ivan, terjadi karena pemerintah memberikan tekanan balik pada waktu itu.
“Sehingga pada 2024 hanya menyentuh Rp 359 triliun. Jadi, kenaikan ketika kita tekan balik itu, mereka hanya berhasil naik sekitar Rp 359 triliun. Ini sekitar 10 persenan,” ungkap dia.
Antisipasi bisa tekan nilai perputaran uang
Ivan yakin penurunan transaksi judi online bisa terus terjadi hingga akhir tahun ini, selama pemerintah mampu terus memperkuat antisipasi.
“Kita optimis ditutup tahun 2025 akan tercapai. Pilihannya cuma dua, ketika yang sudah kita lakukan sekarang kita teruskan, dia akan menekan sampai Rp 223 triliun,” ujar Ivan.
Bahkan, dia memprediksi jika antisipasi diperkuat dan dimaksimalkan lagi, potensi perputaran uang judi online di Indonesia bisa turun sampai dengan Rp 150 triliun hingga akhir tahun ini.
“Ketika yang sudah kita lakukan kita perkuat lagi, dia akan menekan sampai Rp 150 triliun,” lanjut dia.
Jika tidak diantisipasi
Namun demikian, jika pemerintah tidak melakukan antisipasi, maka perputaran dana judol bisa menembus angka fantastis, yakni Rp 1.100 triliun di akhir 2025.
Adapun perputaran uang judi online pada tahun ini pun diperkirakan akan meningkat karena masifnya penggunaan teknologi finansial atau fintech yang membuka akses terhadap judi online.
“2025 ada potensi bahwa judi online ini akan bergerak dengan bantuan fintech secara masif dan naik sampai Rp 1.100 triliun,” ujar Ivan.
“Ini catatannya jika pemerintah tidak menekan balik. Jadi jika pemerintah tidak menekan balik, akses masyarakat akan ada kenaikan 21,43 persen,” imbuh dia.
Pemain judol pendapatannya kecil
Data PPATK menyebut, pelaku judi online mayoritas adalah orang dengan penghasilan rendah, atau di bawah Rp 5 juta per bulan.
“Mayoritas dari pemain judi online itu adalah mereka, saudara-saudara kita yang berpenghasilan rendah,” kata Ivan.
“Kalau dilihat dari data kuartal I-2025, dari 1.066.000 pemain judi online, itu 71 persennya adalah mereka yang berpenghasilan Rp 5 juta ke bawah,” tambah dia.
Pada 2023, jumlah pemain judi online yang berpenghasilan rendah mencapai 80 persen dari total 3,7 juta pemain.
Sementara, pada 2024, persentase masyarakat berpenghasilan rendah yang bermain turun menjadi 70,7 persen dari total 9,7 juta pemain.
“Bisa dibayangkan ini sangat masif ketika saudara-saudara kita yang berpenghasilan rendah terlibat judi online,” ujar dia.
Dia menuturkan, para pemain judol juga mengoptimalkan jumlah deposit yang diambil dari gaji saat bermain judi online.
“Kalau gaji cuma Rp 5 juta, dipakai Rp 4,5 juta buat kepentingan judi online. Persentase ini terus naik sampai 73 persen,” ujar dia.
“Nah, pertanyaannya, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kebutuhan membeli makanan, bayar sekolah, dan segala macam, dia cari dari mana?” tanya Ivan.
Gunakan pinjol
Berdasarkan temuan PPATK pada 2023, ada 2,4 juta pemain judol yang memiliki pinjaman dari total 3,7 juta pemain pada saat itu.
“Dia berhutang, punya pinjaman di bank. Di tahun 2024, dari 8,8 juta pemain, 3,8 juta memiliki pinjaman,” lanjut dia.
“Jadi, dia main judi online plus minjem uang di bank,” tambah dia.
Ivan lalu mengatakan bahwa jika pemain judol tersebut tidak punya akses ke bank, mereka akan meminjam uang dari pinjaman online untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup sehari-hari.
“Dia pinjamnya ke mana? Dia pinjamnya, larinya ke pinjol. Inilah yang kemudian kita sebut dengan dampak sosial yang luar biasa, tekanan yang dihadapi oleh masyarakat terkait dengan judi online ini, luar biasa,” ujar dia.
DKI dan Jawa Barat tertinggi kasus judol
Dua provinsi dengan jumlah kasus judi online terbesar adalah Jakarta dan Jawa Barat.
“Jawa Barat sama Jakarta ini berhimpitan terus karena literasi terhadap fintech-nya terjadi luar biasa di Jawa Barat dan di DKI Jakarta,” kata Ivan.
Dia mengatakan, posisi tersebut bergerak dinamis.
Menurut dia, DKI Jakarta pernah menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan kasus judol terbanyak.
“Jika dilihat dari provinsi, tadinya DKI nomor 1, lalu menurun di 2017, di 2018. Sementara, Jawa Barat pergerakan sampai 2023, steady,” ujar dia.
Usia pemain judol semakin menurun
Sementara itu, berdasarkan usia pelaku judol menunjukkan usia yang semakin muda terpapar judol.
Data PPATK, pada kuartal I-2025, pelaku judol dengan usia 10-20 tahun sudah mencapai 1,67 persen dari total seluruh pelaku judol.
Usia 30-50 tahun mendominasi sebesar 55,4 persen, dan 21-30 tahun sebesar 37,6 persen.
“Usia itu bervariasi dan berpotensi semakin muda. Jika dilihat dari 2017-2025, bergerak terus usianya,” ujar dia.
“Usia 21-30 tahun itu sedikit, sekarang naik ke atas. Sekarang naik ke usia 10-20 tahun dan semakin banyak,” tambah dia.
Pemberantasan judi online
Menteri Komunikasi dan Digitalisasi (Komdigi) Meutya Hafid menegaskan bahwa Indonesia menghadapi tantangan luar biasa dalam menghadapi kejahatan di ruang digital yang kini semakin kompleks, akibat kemajuan teknologi informasi, termasuk kecerdasan buatan (AI).
“Artificial intelligence membantu kita memerangi kejahatan, tapi di saat bersamaan juga digunakan para pelaku kejahatan untuk memproduksi kejahatan secara lebih cepat, masif, dan lebih pintar,” ujar Meutya.
Meutya menyoroti bahwa kejahatan digital juga banyak bersumber dari kebocoran data pribadi.
Ia menyebut, kerja sama dengan Polri dalam menangani kasus Fake BTS (Base Transceiver Station), di mana masyarakat menerima SMS palsu yang menyerupai pesan dari bank.
“SMS-nya identik. Format dan bahasanya sama persis seperti dari perbankan resmi. Ini menunjukkan bagaimana data pribadi yang bocor digunakan untuk menjebak masyarakat,” kata dia.
Namun, dia menekankan bahwa dalam era digital ini, tidak ada satu pun negara yang bisa sepenuhnya mengendalikan masuknya teknologi informasi.
“Digital itu global. Tidak ada satu pemerintah pun yang bisa menentukan sendiri kecepatan laju digitalisasi. Kita tidak bisa menahan teknologi hanya karena belum siap,” ujar dia.
Meutya mengajak semua pihak untuk memperkuat kolaborasi, mempercepat kesiapan teknologi pertahanan digital, dan memastikan seluruh sistem keamanan siber nasional mampu mengimbangi kecanggihan pelaku kejahatan.
“Kalau penjahatnya pakai teknologi digital canggih, maka kita juga harus dilengkapi dengan teknologi digital yang lebih canggih. Harus selalu selangkah di depan,” ujar dia.