



Terus Dipertanyakan Fadli Zon, Begini Laporan soal Perkosaan Massal ’98
- Mari membuka kembali laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan tentang Kerusuhan Mei 1998 untuk mengetahui soal pemerkosaan massal yang dipertanyakan terus oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Kompas.com mengakses dokumen "Temuan TGPF Peristiwa Kerusuhan Mei 1998" dan laporan Tim Relawan untuk Kemanusiaan dari situs web Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Selasa (24/6/2025).
Bab soal perkosaan atau pemerkosaan massal disampaikan pada bab lampiran Tim Relawan untuk Kemanusiaan dalam buku tersebut.
“Ratusan perkosaan dengan modus operandi brutal yang punya banyak kesamaan adalah ‘kebiadaban massal yang sangat sistematis dan diorganisir’,” tulis Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Kebanyakan korban adalah perempuan etnis Tionghoa. Tim juga mencantumkan keterangan saksi mata peristiwa pemerkosaan yang terjadi pada bulan Mei itu.
Lokasi
Perkosaan dan pelecehan seskual massal terjadi di wilayah Jakarta.
“Perkosaan massal hanya terjadi di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan beberapa kawasan lain yang selama ini dikenal sebagai konsentrasi tempat tinggal dan tempat kerja warga Tionghoa,” tulis Tim.
Perkosaan massal di Jakarta Barat terjadi di Angke, Jelambar, Jembatan Dua, Jembatan Tiga, Jembatan Lima, Jembatan Besi, Cengkareng, Glodok, dan Kota.
Perkosaan massal di Jakarta Utara terjadi di Pluit, Pantai Indah Kapuk, dan Sunter.
Di sekitar Jakarta, perkosaan massal juga terjadi di Tangerang dan Bekasi.
Jakarta Barat menjadi wilayah dengan laporan perkosaan massal paling banyak.
Meski begitu, ada pula laporan dari luar Jakarta, yakni dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) juga menuliskan bahwa sebagian besar kasus perkosaan terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha.
“Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan,” tulis TGPF dalam laporan akhirnya.
Modus
Tim menyebut perkosaan massal punya pola cara yang mirip dengan modus operandi sistematik dan terorganisir yang dipakai dalam pengrusakan dan pembakaran pada Mei jelang lengsernya Presiden Soeharto saat itu.
“Pada hampir semua kasus, kedekatan yang sangat kuat antara cara pengrusakan dan perkosaan massal mengisyaratkan bahwa kedua peristiwa itu terjalin sebagai satuan kejadian,” tulis Tim.
Tim tersebut memaparkan contoh modus operandi pada 16 kasus pelecehan seksual dan perkosaan massal pada 13 hingga 15 Mei 1998.
Bila Fadli Zon meragukan aspek “massal” dalam perkosaan tahun 1998 itu, Tim Relawan Kemanusiaan di dokumen ini mengatakan sifat massal dari perkosaan bisa dikenali pada begitu banyak peristiwa perkosaan dan pelecehan seksual, contohnya, orang tak dikenal menyerbu rumah untuk menjarah, dan memperkosa.
Modus umumnya, pelaku pemerkosaan datang berkelompok. Pelaku pemerkosaan disebut tidak dikenal oleh korban. Pada beberapa kasus, korban diselamatkan oleh warga setempat.
“TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain,” tulis TGPF.
Jumlah korban
Secara umum, ada ratusan orang yang dilaporkan telah menjadi korban pemerkosaan massal dan kekerasan seksual.
“Jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor sampai 3 Juli 1998 adalah 168 orang (152 dari Jakarta dan sekitarnya, 16 dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya),” tulis TIm Relawan Kemanusiaan.
Dari laporan di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang diterima Tim Relawan Kemanusiaan dari 13 sampai 3 Juli 1998, ada 9 orang yang tewas dalam peristiwa perkosaan sekaligus pembakaran, ada 26 orang menjadi korban perkosaan dan penganiayaan dan 9 orang di antaranya tewas, serta 103 orang korban perkosaan dengan 1 orang di antaranya tewas.
Ada pula 14 orang menjadi korban pelecehan seksual dengan 1 orang di antaranya mati.
Total ada 152 orang menjadi korban perkosaan dan pelecehan seksual di Jakarta dan sekitarnya dengan 20 orang di antaranya tewas.
Jumlah tersebut dikatakan bukan jumlah keseluruhan korban melainkan jumlah sejauh yang dilaporkan. Tim itu mengumpulkan data dari kesaksian korban, keluarga korban, dan saksi mata peristiwa 13-15 Mei 1998.
Namun dalam laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), jumlahnya menjadi 52 orang korban perkosaan. Jumlah itu muncul setelah TGPF melakukan verifikasi dan uji silang.
Di luar itu, ada 14 orang korban perkosaan dan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual.
Sifat massal
Istilah “massal” bertebaran pada tulisan laporan Tim Relawan Kemanusiaan mengenai perkosaan pada Mei 1998 ini.
“Tim Relawan Kemanusiaan berpendapat bahwa perkosaan massal tidak bisa dipisahkan dari jaringan perencana dan pelaku perusakan dan pembakaran pada pertengahan Mei 1998,” tulis Tim.
Menurut mereka, modus operandi perkosaan massal tidak bisa dipisahkan dari modus operandi kerusuhan, perusakan, dan pembakaran. Mereka percaya ada pihak yang merencanakan semua peristiwa huru-hara itu.
“Istilah ‘jaringan perencana’ juga bukan hasil fantasi melainkan nyata dari begitu banyak bukti tentang bagaimana rencana dan operasi ‘kerusuhan’ serta ‘perkosaan’ dilakukan secara sistematis, berpola, dan terorganisir,” tulis Tim.
Suatu hari, seorang hadiri yang tidak dikenal berbicara dalam pertemuan Tim Relawan di Jakarta Pusat pada Juni 1998.
Orang tak dikenal itu memperkenalkan diri sebagai bukan intel tapi komandan yang mengerahkan kerusuhan, merekrut 60 orang berbagai angkatan, dan sesumbar bisa memperkosa perempuan-perempuan Tionghoa, serta membunuh orang.
Ada pula saksi mata yang bercerita pada Juni 1998. Suatu hari di permukiman miskin dekta Pantai Indah Kapuk, ada laki-laki berbadan tegap dan kekar.
Pria itu mentraktir para pemuda setempat untuk makan, minum, dan rokok sampai akrab.
“Laki-laki itu kemudian bilang, ‘Kalau lu mau sebentar lagi lu dapat barang-barang mewah, bisa *** (menggauli seksual) amoy-amoy yang selama ini lu kagak bisa jamah!’,” tulis Tim dalam laporan itu.
Sifat sistematis dan terorganisir dari perkosaan perkosaan itu menjadi kesimpulan Tim Relawan Kemanusiaan setelah mencermati peristiwa itu terjadi di kantong-kantong etnis Tionghoa.
“Seleksi wilayah dan sasaran korban perkosaan massal secara spesifik ini justru makin membuktikan betapa tindakan perkosaan massal tersebut melibatkan jaringan dan operasi yang sistematis dan terorganisir,” tulis Tim.
Tim Relawan Kemanusiaan tidak berpandangan bahwa peristiwa pemerkosaan itu sebagai peristiwa kebetulan pada kerusuhan 1998.
Indikasi bahwa peristiwa perkosaan itu bukan kebetulan adalah adanya persamaan modus operandi antara kerusuhan 1998 dengan perkosaan massal 1998.
Pertama, ada persamaan pengkondisian massa. Kedua, penyebaran isu. Ketiga, ada pihak yang berperan sebagai pengajak atau pemimpin/pengarah, pemberi komando. Keempat, pelaku tidak dikenali warga setempat.
Kelima, baik kerusuhan maupun perkosaan massal diiringi yel-yel ‘anti-Cina’. Keenam, ada teror yang mengiringi. Ketujuh, adanya sasaran teror.
“Sebab dan akibat perkosaan massal dan kerusuhan merupakan hasil jaringan rencana dan operasi yang berpola, sistematis, dan terorganisir. Dan dengan demikian juga melibatkan para perencana dan pelaku melalui jaringan yang sistematis dan terorganisir,” tulis Tim.
Tim Relawan Kemanusiaan mendorong peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998 itu dibongkar.
Meski begitu, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), terpisah dari Tim Relawan Kemanusiaan, tidak menyimpulkan adanya sifat “terencana” dari kekerasan seksual tahun itu.
“Belum dapat dipastikan bahwa kekerasan seksual yang terjadi merupakan kegiatan yang terencana atau semata ekses dari kerusuhan,” tulis TGPF dalam kesimpulan laporan akhirnya di poin nomor tujuh.
Tag: #terus #dipertanyakan #fadli #begini #laporan #soal #perkosaan #massal