Belajar dari Gaya Debat Gibran, Hati-hati Efek Terbalik dari Attacking
– Debat keempat pilpres 2024 yang digelar Minggu (21/1) lalu, yang mempertemukan Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD, hingga kini masih menyedot perhatian masyarakat. Bukan hanya dari segi substansi, pertunjukan atau show dari debat itu sendiri juga menarik atensi publik. Satu hal yang jadi buah bibir masyarakat tak lain adalah gaya debat cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Dosen Komunikasi Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad, sebenarnya tidak ada masalah dengan gaya orang berdebat. Apapun gayanya, siapapun orangnya. Seorang kandidat atau politikus lazim menggunakan strategi retorika. Dijelaskan Nyarwi, dalam strategi retorika Aristoteles, ada tiga unsur terpenting yakni ethos, logos, dan pathos.
"Yang dilakukan Gibran, (beberapa kali menyebut) 'Pak Mahfud kan profesor', itu kan sebenarnya aspek ethos yang dia tonjolkan, dia sekaligus attacking terhadap kredibilitas profesor. Walaupun sebenarnya Pak Mahfud bisa menjawab lugas juga, profesor itu kan keahlian di bidang tertentu. Di luar bidangnya, ya bukan keahlian dia, kira-kira begitu," kata Nyarwi dihubungi JawaPos.com, Kamis (25/1).
Seperti diketahui, pertama kali Gibran menyebut atribusi 'profesor' yakni saat menanggapi jawaban Mahfud MD yang ditanya bagaimana strategi paslon dalam memulihkan hak-hak masyarakat adat. "Sebagai seorang ahli hukum, Prof Mahfud pasti paham bahwa RUU Masyarakat Adat ini masih kita usahakan untuk didorong," kata Gibran waktu itu.
Putra sulung Presiden Joko Widodo dan Iriana Jokowi itu pun kembali menggunakan atribusi 'profesor' saat sesi interaktif dengan Mahfud MD. Saat itu, Gibran menanyakan perihal greenflation, yang mana dalam aturan debat KPU RI, penggunaan terminologi atau istilah harus dijelaskan terlebih dahulu. Saat Mahfud MD mengingatkan moderator tentang aturan ini, Gibran pun menimpali.
"Baik. Nggak.. (huuuuu-teriakan penonton). Tunggu. Ini tadi tidak saya jelaskan, karena Beliau kan seorang profesor. Oke greenflation adalah inflasi hijau, sesimpel itu," kata Gibran.
Nyarwi melihat, posisi Mahfud MD sebagai seorang profesor dipandang sebagai sasaran empuk bagi Gibran untuk diserang, terlebih jika cawapres nomor urut 03 itu tidak bisa atau mengalami kebingungan dalam menjawab. "Jadi, karena dianggap profesor, sekaligus di-attack menjadi kelemahan Mahfud MD kan, karena tentu saja sangat sulit kalau dia tidak familiar (dengan terminologi tersebut)," lanjut Nyarwi.
Gaya attacking juga Gibran lakukan dalam menguji kompetensi Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Misalnya saja, "Enak banget ya Gus ya jawabnya sambil baca catatan tadi," kata Gibran saat menanggapi jawaban Cak Imin yang ditanya bagaimana strategi paslon untuk menghadapi dampak perubahan iklim terhadap produksi dan kualitas gizi pangan. Attacking di level ethos ini berarti menyerang karakter, personality, dan kompetensi.
Menyerang aspek ethos ini juga terlihat saat Gibran menyeret nama Tom Lembong sebagai orang yang menyiapkan materi untuk Cak Imin. Tentu kesan yang muncul di benak audiens adalah bagaimana bisa Cak Imin tidak paham, atau jangan-jangan Tim Kampanye AMIN tak cukup memadai dalam memberikan feeding ke Cak Imin.
Tapi menariknya, Nyarwi menilai, serangan Gibran ini justru bisa menjadi kritik bermanfaat bagi Tim Kampanye AMIN dalam mengevaluasi kelemahan-kelemahan cara kerja mereka. "Jadi, sebenarnya kritik Gibran ke Muhaimin itu bisa menguntungkan Muhaimin," tutur Nyarwi.
Kemudian, selain menyerang ethos, Gibran juga terlihat melakukan attacking pada level logos. Strategi ini tecermin saat Gibran menanyakan perihal greenflation pada Mahfud MD dan LFP (Lithium Ferro Phosphate) pada Cak Imin. "Itu sebenarnya Gibran mengetes dari aspek logos, logika, argumen," ungkap Nyarwi.
Dan tentu saja, yang masih diingat di benak penonton debat hingga saat ini yakni gaya longak-longok Gibran saat Mahfud MD menjawab pertanyaan soal greenflation tadi. "(Longak longok, tingak tinguk). Saya lagi nyari jawabannya Prof. Mahfud. Saya nyari-nyari dimana ini jawabannya. Kok nggak ketemu jawabannya. Saya tanya masalah inflasi hijau kok malah menjelaskan ekonomi hijau," kata Gibran.
Nyarwi menyebut, attacking Gibran kali ini menyasar pada aspek pathos. Gibran berusaha membuat koneksi secara emosional dengan audiens, menarik perhatian audiens. "Menjadikan dirinya pusat perhatian (dengan gesture longak-longok), supaya (audiens) relate (mencari jawaban Mahfud juga). Kan kira-kira begitu. Nah, itu pada level pathos," kata Nyarwi.
Secara teori, pesan atau retorika akan menarik apabila orang yang menyampaikan tersebut mampu menarik perhatian audiens. Inilah yang dilakukan Gibran. Cuma sayangnya, lanjut Nyarwi, yang muncul kemudian justru sentimen negatif (tecermin dari data Drone Emprit), apakah yang dilakukan Gibran itu sopan atau tidak. "Sentimen negatif ke Gibran tinggi sekali. Di situ yang saya lihat attacking itu kadang menimbulkan efek balik atau boomerang effect," lanjut Nyarwi.
Boomerang Effect
Nah, pertanyaannya kemudian adalah apa penyebab efek terbalik dari gaya attacking Gibran? Nyarwi dalam hal ini berpendapat, tentu setiap penonton atau pemilih memiliki standar norma dan etika sendiri. Bisa jadi, orang yang punya sentimen negatif pada Gibran, memiliki standar norma bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Gibran itu tidak pantas.
"Apalagi orang muda, bicara seperti itu. Bahkan beberapa orang ada yang menganggap (Gibran) mempermalukan orang tua. Humiliation, tindakan mempermalukan orang," jelas Nyarwi.
Jika berkaca dari debat sebelumnya, gimik-gimik yang dilakukan Gibran dalam debat Minggu lalu sebetulnya juga pernah dilakukan Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu menanyakan soal TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) dan Unicorn. Terminologi ini sempat membuat Prabowo Subianto kebingungan. Akan tetapi, sentimen negatif pada Jokowi saat itu tidak sebesar pada Gibran sekarang. "Betul (sentimennya berbeda), karena mungkin konteksnya berbeda," ucap Nyarwi.
Pada masa itu, Jokowi sangat lekat dengan label sebagai 'Presiden rakyat', Presiden yang berasal dari bawah, dari rakyat. Istilahnya, kata Nyarwi, Jokowi ini adalah Presiden dari rakyat, bukan anak dari Presiden. Sementara Gibran, sebagaimana diketahui adalah cawapres yang merupakan putra dari seorang Presiden. Apalagi, beberapa peristiwa yang terjadi sebelum debat sudah menimbulkan sentimen negatif terhadap sosok cawapres nomor urut 02 ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) salah satunya.
"Ya, betul (itu juga berpengaruh). Orang punya preferensi sendiri dalam memandang siapa yang sedang berdebat. Itu juga ngaruh, loh. Konteksnya di sana," pungkas Nyarwi.
Tag: #belajar #dari #gaya #debat #gibran #hati #hati #efek #terbalik #dari #attacking