Marak Kekerasan pada Bayi dan Balita, Kemenkes: Perlu Evaluasi Kesehatan Jiwa Pengasuh dan Orangtua
Ilustrasi anak-anak di daycare. Kemenkes turut merespons maraknya kekerasan yang dialami bayi dan balita dari daycare maupun orang terdekatnya. 
08:30
10 Agustus 2024

Marak Kekerasan pada Bayi dan Balita, Kemenkes: Perlu Evaluasi Kesehatan Jiwa Pengasuh dan Orangtua

-- Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi turut merespons maraknya kekerasan yang dialami bayi dan balita dari daycare maupun orang terdekatnya.

Belakangan pemberitaan terkait penganiaayan balita di sebuah daycare di Depok maupun kekerasan terhadap bayi oleh pacar ibunya yakni dengan membanting bayi ramai jadi sorotan.

Imran menuturkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah memsosialiasikan buku pengasuhan positif pada anak dan P3LP (Pertolongan pertama pada luka psikologis) untuk guru-guru.

Hal ini sebagai upaya meningkatkan perhatian terhadap penanganan kesehatan mental dengan mengangkat program Kesehatan jiwa menjadi salah satu program prioritas dengan harapan kasus-kasus serupa akan menurun angka kejadiannya di masyarakat.

Namun sayangnya untuk daycare banyak yang belum mendapatkan izin dari Kemendiknas karena daycare tersebut memang digabungkan dengan yayasan sekolah TK yang sudah lebih dahulu berdiri.

"Perlu adanya evaluasi untuk kesehatan jiwa guru dan orangtua para balita yang merawat," kata dia kepada wartawan, Jumat (9/8/2024).

Imran menerangkan, UU 17 tahun 2023 tentang Kesehatan memberikan definisi Kesehatan jiwa sebagai kondisi dimana seseorang dapat berkembang secara fisik, mental, sosial dan spiritual serta mampu menyadari kemampuan dirinya dan memberikan kontribusi bagi lingkungannya.

Ada sejumlah pencegahan dapat dilakukan dengan meminimalisir mengeliminasi faktor-faktor risiko munculnya gangguan jiwa.

Faktor risiko tersebut diantaranya :

1. Genetik dan Biologis: Riwayat keluarga dengan gangguan kesehatan jiwa, ketidakseimbangan kimiawi di otak, dan kondisi medis kronis bisa meningkatkan risiko.

2. Pengalaman Hidup yang Traumatis: Pengalaman seperti kekerasan, pelecehan, kehilangan orang yang dicintai, atau bencana alam dapat memicu gangguan kesehatan jiwa.

3. Stres Berkepanjangan: Stres yang berlangsung lama, baik dari pekerjaan, sekolah, atau hubungan, dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan jiwa.

4. Lingkungan Sosial dan Ekonomi: Isolasi sosial, kemiskinan, diskriminasi, dan kurangnya dukungan sosial juga merupakan faktor risiko.

5. Penyalahgunaan Zat: Penggunaan alkohol, obat-obatan, atau zat lain secara berlebihan dapat menyebabkan atau memperburuk kondisi kesehatan jiwa.

6. Perubahan dalam Kehidupan: Perubahan besar dalam hidup seperti perceraian, kehilangan pekerjaan, atau pindah ke lingkungan baru bisa menjadi pemicu stres dan masalah kesehatan jiwa.

7. Memahami faktor-faktor ini penting untuk pencegahan dan penanganan dini masalah kesehatan jiwa.

8. Baby blues syndrome adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Gangguan ini ditandai dengan munculnya perubahan suasana hati, seperti gundah dan sedih secara berlebihan.

9. Pada kasus baby blues penguatan peran bidan untuk pengawasan dan support system keluarga yg mendukung kesehatan mental ibu pasca bersalin. Jadi bukan hanya ibunya saja yg kita perhatikan tapi ibu tsb harus dibantu untuk merawat bayinya agar tidak kelelahan secara fisik dan mental.

Dengan menerapkan upaya menuju esehatan jiwa mulai dari kandungan hingga lansia (Sepanjang siklus hidup) akan melahirkan individu dewasa yang stabil /sehat jiwa.

"Kementerian Kesehatan melalui direktorat Kesehatan jiwa telah mengupayakan program promotive , preventif hingga kuratif secara menyeluruh dan berkesinambungan disepanjang siklus hidup," terang Imran.

Editor: Anita K Wardhani

Tag:  #marak #kekerasan #pada #bayi #balita #kemenkes #perlu #evaluasi #kesehatan #jiwa #pengasuh #orangtua

KOMENTAR