Cermati 5 Faktor, BI Pertahankan Suku Bunga Demi Stabilitas Rupiah, Apa Saja?
- Risiko perekonomian global semakin tinggi. Disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan. Pertimbangan tersebut membuat Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya (BI-rate).
Dalam pengumuman hasil rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Rabu (20/11), Gubernur BI Perry Warjiyo memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6 persen. Fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global. Khususnya dengan perkembangan politik di Amerika Serikat (AS).
BI mencermati lima hal penting. Pertama,
perkembangan politik di AS. Perry menuturkan, kebijakan Trump akan diikuti dengan arah kebijakan fiskal lebih ekspansif. Strategi ekonomi berorientasi domestik alias inward looking policy.
Dia menjelaskan, inward looking policy merupakan penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi ketat kepada negara-negara mitra. Terutama, kepada negara-negara yang mengalami surplus besar terhadap AS. “Negara-negara mana itu, adalah Tiongkok, EU (Uni Eropa), Meksiko, dan sejumlah negara yang lain termasuk Vietnam,” ucap Perry.
Nah, tarif perdagangan yang tinggi kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II 2025. Misalnya, kepada Uni Eropa ada tarif bea 25 persen untuk besi, aluminium, motor vehicle, dan yang lain. Dengan Tiongkok 25 persen untuk mesin elektronik dan kemikal.
Pengenaan tarif tinggi ini yang akan membuat adanya fragmentasi perdagangan. Yang kemudian bakal menyebabkan perlambatan ekonomi di negara-negara tersebut.
“Tiongkok yang selama ini melambat kemungkinan juga akan lebih lambat. EU yang sebetulnya sedang akan naik, mungkin nggak jadi naik. Sehingga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi dunia itu akan menurun yang mestinya tahun depan bisa naik dari 3,2 persen atau setidaknya sama,kemungkinan akan turun menjadi 3,1 persen,” jelas lulusan Iowa State University itu.
Kedua, proses penurunan inflasi akan berjalan lebih lambat sehingga penurunan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) diprakirakan juga akan lebih terbatas. Perkiraan BI kemungkinan masih akan turun 25 basis point (bps) di Desember 2024 mendatang.
“Tapi untuk tahun depan yang kami perkirakan semula turun 75 sampai 100 basis point, perkiraan kami terkini hanya turun 50 basis point. Dua kali saja tahun depan,” terang Perry.
Yang ketiga adalah defisit fiskal pemerintah AS yang akan melebar. Perkiraan tahun depan bisa membengkak ke 7,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sedangkan perkiraan sebelumnya hanya 6,5 persen untuk mendorong ekonomi domestiknya.
Defisit fiskal yang lebih besar oleh pemerintah AS mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury. Baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang. “Defisit fiskal yang lebih tinggi harus menerbitkan utang lebih banyak,” imbuhnya.
Keempat, lanjut Perry, berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke AS. Yang berhubungan dengan indikator kelima yakni berdampak pada menguatnya mata uang dolar AS (USD) secara luas. Akibatnya, tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi. Sehingga terjadi aliran keluar portofolio asing, termasuk dari negara emerging market (EM).
Makanya, penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. “Lima ini yang kami terus pantau dari minggu ke minggu, bulan ke bulan, untuk menentukan bagaimana respon kita,” tandasnya.
Tag: #cermati #faktor #pertahankan #suku #bunga #demi #stabilitas #rupiah #saja