Memahami Purbaya dan Mantra Optimisme
PADA kuartal terakhir 2025, Indonesia memiliki Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia memberikan warna baru dengan gayanya yang kerap disebut “koboi” karena komunikasinya yang blak-blakan. Salah satu gaya komunikasi yang paling sering ditunjukkan Purbaya adalah optimisme tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pada berbagai kesempatan, Purbaya sering melontarkan pernyataan optimis kepada publik, diantaranya pertumbuhan 6% tidak sulit, yakin pertumbuhan bisa mencapai 8%, IHSG bisa menembus 36.000, dan Indonesia kaya bersama-sama. Nada positif tersebut sejauh ini diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia, terlihat dari melesatnya popularitas Purbaya di berbagai survei publik.
Meskipun realitanya, sudah dua dekade ekonomi Indonesia tertahan di level 5%, sehingga optimisme Purbaya menghadapi tantangan cukup berat.
Menariknya, walaupun gaya komunikasi Sang Menteri Keuangan terkesan spontan, ternyata hal itu memiliki akar kuat dalam teori ekonomi klasik dan modern. Mari kita pahami lebih lanjut.
Penggerak Likuiditas
Di awal Purbaya menjabat, ia langsung melakukan kebijakan yang berani, memindahkan dana kas pemerintah Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke bank-bank BUMN. Kebijakan itu diambil untuk mendorong likuiditas atau uang beredar di masyarakat. Langkah ini sejalan dengan teori monetarisme dari Milton Friedman, melalui buku A Monetary History of the United States, 1867–1960 (terbit 1963) yang ditulis bersama Anna J. Schwartz).
Secara garis besar, buku ini menunjukkan bahwa secara empiris “kekeringan likuiditas” justru memperparah tekanan ekonomi ketika terjadi Great Depression pada era 1930-an. Oleh karena itu penguatan uang beredar atau likuiditas menjadi kunci untuk menjaga stabilitas makroekonomi.
Strategi pilihan Purbaya itu menarik karena secara tidak langsung menyentuh sisi moneter, yang merupakan ranah Bank Sentral atau BI. Padahal Kementerian Keuangan berada pada sisi fiskal, yang lebih terkait pada penerimaan pendapatan dan pengeluaran belanja negara.
Di tengah berbagai dinamika, BI menyelaraskan kebijakan moneternya dengan langkah Purbaya. Jajaran Dewan Gubernur BI beberapa kali menyampaikan kepada publik mengenai sinergi kebijakan ekspansi likuiditas, seperti pembelian SBN di market, repo dan swap valas, penurunan GWM serta BI-rate.
Bagaimana hasilnya sejauh ini? Dalam konferensi pers APBN Kita periode November 2025, Purbaya mengungkapkan bahwa injeksi likuiditas menunjukkan impresi yang baik, terliihat dari likuiditas perbankan yang menguat, DPK tumbuh, dan suku bunga bank menurun. Namun ternyata pertumbuhan kredit belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Penyaluran kredit di bulan Oktober 2025 tercatat tumbuh 7,3% year on year (yoy), justru menurun dibandingkan bulan September 2025 yang tumbuh 7,7%. Kondisi ini menunjukkan tren penurunan penyaluran kredit di 2025, setelah sempat tumbuh di kisaran 8,4% di awal tahun, lalu terus melambat hingga saat ini.
Oleh karena itu Purbaya menambah injeksi likuiditas sebesar Rp76 triliun pada November 2025. Ia pun kembali melontarkan optimisme bahwa kebijakan ini akan segera memperlihatkan dampaknya di Januari 2026.
Berbagai “mantra” optimisme dengan mendorong likuiditas tersebut menarik dicermati karena Purbaya menghadapi tantangan kondisi pasar yang cenderung masih lesu. Dalam laporan pertemuan tahunan BI, diinformasikan bahwa permintaan kredit (demand side) belum cukup kuat dipengaruhi pelaku usaha yang masih cenderung wait and see, sedangkan undisbursed loan juga masih tertahan cukup besar sekitar Rp2,4 kuadriliun pada Oktober 2025. Selain itu BPS juga mengungkapkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal 3 tahun 2025 juga masih melambat.
Realita itu menjadi hambatan karena meskipun pemerintah berusaha “membanjiri” likuiditas dana, namun jika pelaku pasar masih cenderung takut dan berhati-hati maka pertumbuhan ekonomi tidak akan kemana-mana.
Pembentukan Ekspektasi
Mendorong likuiditas melalui perbankan ternyata belum bisa secara instan menggerakkan perputaran ekonomi, namun Purbaya punya berbagai jurus tambahan. Dalam berbagai forum publik, Purbaya terus menebar optimisme dan bahkan juga beberapa kali menyebut tentang buku The Macroeconomics of Self-Fulfilling Prophecy (1993) karya Roger Farmer.
Menteri Keuangan lulusan Purdue University, AS, itu mengatakan bahwa kebijakan dan komentar optimisnya sengaja dilakukan untuk menciptakan ekspektasi positif. Sebagaimana buku Roger Farmer tadi, pembentukan ekspektasi kolektif masyarakat dapat mendorong keyakinan pasar.
Sederhananya, jika masyarakat takut dan pesimis akan masa depan yang buruk, maka semua akan menyimpan dananya, menahan konsumsi, dan mengurangi investasi. Perusahaan enggan membuka pabrik atau menambah pegawai baru. Kondisi ekonomi yang normal pun bisa tergelincir menjadi krisis. Sebaliknya, jika masyarakat yakin dan optimis akan masa depan yang cerah, maka semua akan berupaya membuka usaha baru, berbelanja dan berinvestasi. Perusahaan yakin untuk membuka pabrik dan menambah pegawai baru.
Dengan produktivitas ini, kondisi ekonomi akan terus terdorong maju. Hal ini selaras dengan problem yang dihadapi kebijakan Purbaya ketika injeksi likuiditas masih tertahan penyaluran kredit yang lemah. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa kondisi ekonomi akan membaik jika semua bergerak bersama-sama.
Langkah mendorong optimisme kolektif masyarakat juga relevan dengan struktur ekonomi Indonesia yang mayoritas masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga. BPS mencatat konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh PDB (sekitar 53–54%), sementara UMKM menyumbang sekitar 60% PDB dan menyerap mayoritas tenaga kerja. Artinya, jika rumah tangga dan UMKM masih menahan belanja dan investasi, suntikan likuiditas sebesar apa pun akan sulit mengangkat pertumbuhan secara berkelanjutan.
Tentu masyarakat Indonesia tidak seharusnya mengandalkan Purbaya seorang untuk mengangkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kredit dan konsumsi rumah tangga yang masih cenderung melambat seharusnya menjadi sinyal kuat bahwa ada yang perlu diperbaiki di sisi permintaan dan persepsi risiko.
Tidak dipungkiri, ekonomi global sedang penuh ketidakpastian dan Indonesia tidak bisa mengabaikan turbulensi itu jika ingin terus tumbuh dengan kuat. Purbaya pun pernah berucap bahwa jika ingin menjadi negara maju, ekonomi Indonesia harus tumbuh double digit selama lebih dari 10 tahun.
Namun optimisme yang terlalu percaya diri juga menyimpan risiko. Ketika ekspektasi dibangun lebih cepat daripada perbaikan fundamental ekonomi, jarak antara narasi dan realitas bisa memicu kekecewaan pasar.
Pada akhirnya, sang Menteri Keuangan sedang menguji satu pertanyaan besar dalam ilmu ekonomi modern. Seberapa jauh likuiditas dan ekspektasi bisa mendorong pertumbuhan di tengah sisi permintaan yang lesu.
Purbaya mungkin belum sepenuhnya berhasil mengubah optimisme menjadi lonjakan kredit dan konsumsi, tetapi ia sudah menggeser percakapan publik dari sekadar bertahan menjadi berani mengejar angka 8%. Jika momentum ini disertai reformasi struktural dan memperkuat fondasi—UMKM, produktivitas, serta daya beli—mantra optimisme itu masih berpeluang menjadi babak baru pertumbuhan ekonomi Indonesia.