Mengapa Rakyat Harus Menanggung Utang Whoosh?
PERHATIAN tersedot ke Stasiun Tanah Abang Baru di Cideng, Jakarta Pusat, seusai Presiden Prabowo Subianto meresmikan stasiun itu, Selasa, 4 November 2025.
Dalam kesempatan itu, Prabowo menegaskan bakal mengambil alih tanggung jawab soal Whoosh, kereta cepat warisan pendahulunya, Joko Widodo.
Dengan enteng, presiden berujar, "Enggak usah khawatir ribut-ribut Whoosh. Saya sudah pelajari masalahnya. Tidak ada masalah, saya akan tanggung jawab nanti whoosh semuanya".
Isyarat Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono bahwa APBN akan dipakai untuk Whoosh, sehari sebelumnya, akhirnya terjawab.
Pemerintah ternyata mengambil alih soal kereta cepat yang sudah bermasalah sejak dalam kandungan ini. Keputusan itu menambah kusut kereta cepat.
Dulu, menolak tawaran format government to government (G to G). Kemudian diputuskan sebagai business to business (B to B) dengan empat BUMN ditunjuk presiden saat itu, Joko Widodo, untuk berbagi beban membangun sarana dan prasarana. Itulah B to B rasa G to G.
Setelah meletup debat menyangkut utang Whoosh, satu dekade dari 2015, negara betul-betul hadir. Salah satu alasannya, kata Presiden Prabowo, di seluruh dunia transportasi publik itu adalah public service obligation (PSO).
Ini senafas dengan pernyataan Jokowi di akhir Oktober lalu: Whoosh memiliki misi investasi sosial. Bukan semata mencari laba, tapi manfaat sosial.
Jika mengemban misi sosial, mengapa harus melibatkan empat BUMN: PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga Tbk dan PT Perkebunan Indonesia Nusantara VIII? Bukankah BUMN menanggung misi bisnis, mencari untung?
Alih-alih memberi peluang BPI Danantara untuk menyelesaikan masalah utang Whoosh, Prabowo mengambil alih.
Presiden bahkan menyebut telah menyiapkan skema pembayaran utang, yakni Rp 1,2 triliun per tahun. Dana itu akan diambil dari "Duit yang tadinya dikorupsi (setelah diambil negara)," ujar presiden seperti dikutip Kompas.com (4/11/2025).
Duit yang disita atau dirampas dari koruptor, sebetulnya duit rakyat juga. Itu uang negara yang dihimpun dari pajak rakyat dan hasil kekayaan negara yang digasak koruptor, lalu berhasil disita Kejaksaan hingga Komisi Pemberantasan Korupsi. Namanya duit rakyat, berarti itu uang 280 jutaan penduduk Indonesia.
Presiden tidak boleh serta merta menggunakannya. Terlebih misi sosial atau investasi sosial yang diklaim diemban Whoosh cuma digunakan 16.000-18.000 penumpang per hari.
Total ada 12 jutaan penumpang sejak beroperasi pada Oktober 2023. Dan perlu dicatat, 12 juta itu tidak menunjukkan 12 juta orang yang berbeda. Ia akumulatif.
Bisa jadi angka itu adalah orang-orang yang itu saja--mereka yang berlangganan atau kerap menggunakan Whoosh.
Jadi, tetap layak dipertanyakan mengapa seluruh rakyat Indonesia harus menanggung utang Whoosh yang tenornya mencapai 40 tahunan?
Dengan membayar Rp 1,2 triliun per tahun, utang Whoosh tidak selesai di masa pemerintahan Prabowo. Juga tidak rampung dalam sepuluh tahun seandainya sang presiden terpilih lagi pada Pemilu 2029 nanti.
Proyek Whoosh ini menelan dana 7,26 miliar dollar AS atau Rp 118 triliun, membengkak lebih dari rencana awal sebesar 6,07 miliar dollar AS.
Sebesar 75 persen dari biaya itu adalah utang terhadap China Development Bank. Cicilan sebesar Rp 2 triliun per tahun yang harus dibayar hingga 40-45 tahun.
Skenario mencicil Rp 1,2 triliun yang dijanjikan Prabowo mengandung sejumlah konsekuensi. Pertama, negosiasi dengan China, terutama CDB, sukses menggolkan restrukturisasi utang Whoosh.
Tenornya diperpanjang sedikitnya 60 tahun sehingga besar cicilan utang dan bunga menjadi lebih kecil.
Kedua, jika restrukturisasi mulus tapi tak sesuai target dari segi tenor dan besaran cicilan, berarti harus ada subjek lain yang harus membayar cicilan utang.
Katakanlah cicilannya Rp 2 triliun dan Rp 1,2 triliun dibayar oleh pemerintah, berarti ada kewajiban Rp 800 miliar per tahun yang harus ditanggung KCIC. Dari jumlah segitu berapa yang menjadi kewajiban PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI)--konsorsium BUMN?
Menurut saya, Presiden Prabowo terjebak romantisme. Ini tergambar dari pernyataannya ihwal hubungan Indonesia dengan China. Kebetulan poros Jakarta-Beijing menguat sejak peringatan 60 tahun konferensi Asia Afrika pada 2015 silam.
Dan kedekatan serta kerja sama dengan China kian kokoh ketika negeri kita bergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, South Africa) pada 6 Januari 2025 lalu.
Kelompok ini beraliansi untuk menjadi penyeimbang dominasi negara Barat dalam tatanan ekonomi dunia. Dan saat ini ada "I" kedua dalam BRICS, yakni Indonesia.
Bukan kebetulan jika presiden menyatakan, "Dan ini ingat ya, ini (Whoosh) simbol kerja sama kita dengan Tiongkok. Jadi, sudahlah, saya sudah katakan presiden Republik Indonesia yang ambil alih tanggung jawab. Jadi tidak usah ribut, kita mampu. Dan kita kuat" (Kompas.com, 4/11/2025).
Namun, menurut saya, Whoosh bukan monumen penting seperti Gelora Bung Karno yang dibangun oleh Sukarno dekade 1960-an silam.
Whoosh adalah proyek mercusuar yang mengabaikan kelayakan bisnis dan lingkungan. Faktanya, rute Jakarta-Bandung itu pendek. Rel kereta Whoosh cuma sepanjang 142,3 kilometer. Penumpang harian cuma 16.000 orang. Ini secuil dari jumlah perjalanan Jakarta-Bandung.
Dengan rasionalitas empiris, mestinya KA Parahyangan yang justru dimodernisasi. Ia bisa diganti dengan kereta kecepatan menengah sehingga bisa melaju hingga 150-200 kilometer per jam. Relnya sudah tersedia.
Stasiunnya ada di dalam kota: Gambir, Jakarta serta Bandung---bukan pinggiran seperti Halim dan Tegalluar. Dengan begitu, tak perlu keluar uang hingga 7,26 miliar dollar AS. Yang diperlukan adalah memodernisasi gerbong dan kereta Parahyangan.
Langkah ini lebih masuk akal, menjangkau masyarakat yang lebih luas dan sudah memiliki pasar (market) tetap. Alih-alih mengambil langkah itu, pemerintahan Jokowi ngegas ke kopling lima: Loncat ke kereta cepat.
Sebuah moda transportasi yang belum dibutuhkan. Toh, cuma mengangkut 16.000-18.000 per hari. Namun, beban Whoosh kini dialihkan ke negara.
Artinya seluruh penduduk Indonesia harus menanggung utang Whoosh yang baru lunas paling cepat 40 tahun mendatang. Anak-anak yang belum lahir sudah dibebani oleh utang.
Jokowisme, jika istilah ini tepat untuk menggambarkan minat besar Jokowi pada infrastruktur dan proyek mercusuar, terbukti belum manjur memajukan ekonomi Indonesia.
Rata-rata ekonomi dalam 10 tahun terakhir kurang dari 5 persen. Jauh dari kinerja ekonomi masa Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa mencapai 6 persen.
Dan ingat, kendati tidak gembar-gembor infrastruktur, rel ganda Jakarta-Surabaya dibangun di masa SBY. Rel sepanjang 720 KM itu menelan Rp 10 triliun.
Jalur ganda itu resmi dioperasikan pada Juli 2014, atau 150 tahunan sejak pemerintah kolonial Belanda membangun jalur rel kereta api pertama di negeri kita tahun 1864 silam.
Satu lagi yang perlu diingat, penataan dan perbaikan manajemen serta operasi kereta api dimulai di masa SBY, terutama ketika Ignasius Jonan memimpin KAI. Di masa itu rencana membangun kereta cepat juga mulai muncul, tapi untuk rute panjang: Jakarta-Surabaya.
Saya kira rasionalitas ala SBY itu harus juga menjadi perhatian Prabowo yang menginginkan ada trans Sumatera dan Kalimantan.
Kereta api adalah moda transportasi yang betul-betul massal dan bersama bangsa ini sejak lama. Menoleh pada kereta api sangat masuk akal. Namun, jangan dibebani dengan ambisi yang di luar rasionalitas.
Whoosh telah beroperasi. Sarana dan prasarananya tidak dimungkin dibongkar. Menyangkut utang, pengambilalihan tanggung jawab oleh negara harus juga dilakukan secara rasional.
Presiden Prabowo juga harus mendengar barisan kritis. Ribut-ribut menyangkut Whoosh itu biasa dalam negara demokrasi, bagian dari fungsi kontrol agar pemerintah dapat mengambil policy yang terbaik.
Sembari itu, PT KCIC mesti berbenah. Ia harus punya strategi memperluas pasar. Bagaimana menjawab keluhan penumpang soal stasiun terjauh yang terletak di pinggiran kota.
Seorang teman saya dari Bandung sedikit jera setelah naik Whoosh. Ia mesti naik sekian moda transportasi, termasuk ojek online demi tiba tepat waktu di lokasi tujuan yang terletak di dalam kota Jakarta.
Keluhan semacam ini harus direspons dengan pembenahan, karena konsumen adalah raja. Toh KCIC berkepentingan lebih dari menutup operasi, tapi tidak tekor terus-menerus. Dalam 1,5 tahun beroperasi konsorsium BUMN Indonesia merugi hingga Rp 5,8 triliun.