Aturan Plasma 30 Persen untuk Pembaruan HGU Sawit Berpotensi Rusak Investasi
- Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyiapkan kebijakan akan mewajibkan aturan baru untuk kebun plasma sebesar 30 persen bagi perusahaan yang mengajukan pembaruan HGU (Hak Guna Usaha) selama 35 tahun.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha menilai rencana kebijakan itu tidak sesuai undang-undang (UU) berpotensi merusak iklim investasi di Indonesia.
"Pemerintah itu selain mengubah undang-undang juga sering membuat aturan yang sifatnya mendadak. Itu sangat tidak baik untuk iklim investasi. Pengusaha atau investor butuh kepastian hukum," kata Eugenia kepada wartawan di Jakarta pada Kamis (6/2).
Eugenia mengungkapkan, berdasarkan data bahwa jumlah investasi yang masuk ke Indonesia tidak banyak berubah. Investasi baru masih susah masuk ke Indonesia. "Banyak alternatif negara-negara lain yang memiliki kepastian hukum lebih baik. Ke sana lah uang akan mengalir," tegas anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) ini. Dia menyebut salah satunya negara Vietnam.
Untuk diketahui, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR pada Kamis (30/1) lalu, Menteri ART/BPN Nusron Wahid menyebut alokasi 20 persen lahan plasma kini hanya berlaku untuk pemberian HGU tahap pertama selama 35 tahun dan perpanjangan HGU tahap kedua untuk 25 tahun selanjutnya. Bagi pemegang izin yang mengajukan pembaruan HGU, kewajiban plasma ditambah menjadi 30 persen.
“Selain plasmanya 20 persen, kami minta tambah karena sudah menikmati selama 60 tahun (HGU pertama dan kedua), lalu diajukan pembaruan (HGU ketiga) 35 tahun. Maka total 95 tahun, akan ditambah 10 persen menjadi 30 persen dari sebelumnya kewajiban (plasma) 20 persen,” paparnya.
Aturan baru itu akan ditetapkan melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN. Kebijakan itu dilakukan agar petani lebih menikmati hasil dari industri sawit.
Data menyebut, sebanyak 16 juta hektare HGU yang dipegang oleh sekelompok pengusaha kelapa sawit yang memegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) 2.869.
Lebih jauh Eugenia menyebut, rencana Menteri ATR/BPN Nusron Wahid terkait aturan baru plasma sebesar 30 persen bagi perusahaan yang mengajukan pembaruan HGU sebagai kebijakan populis yang tidak rasional. Rencana tersebut dinilai sulit untuk direalisasikan secara baik.
Alasan pertama, rencana kewajiban plasma 30 persen bertentangan dengan UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dimana, dalam pasal Pasal 58 UU Cipta Kerja disebutkan bahwa "Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari: (a) area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha; dan/atau (b). areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20 persen dari luas lahan tersebut. Dengan adanya aturan tersebut, pemerintah sudah seharusnya mengubah undang-undang tersebut sebelum menerapkannya.
Alasan kedua, rencana Menteri ATR/BPN Nusron Wahid sulit direalisasikan dalam waktu dekat. Bahkan, misalnya, nantinya akan mengundang para transmigran untuk memenuhi kewajiban plasma 30 persen, butuh waktu lama untuk mengajari mereka bertanam sawit. "Itu bukan perkara satu dua hari," katanya.
Karena itu, Eugenia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada evaluasi pelaksanaan plasma yang diwajibkan 20 persen sesuai undang-undang. Saat ini, dia melihat kewajiban plasma 20 persen saja belum terpenuhi secara baik. Apalagi, selain dari prosentase luas lahan, juga banyak masalah-masalah lain yang terjadi di industri sawit.
Eugenia mengharapkan kemitraan antara perusahaan sawit dengan petani palsma perlu diperjuangkan. Tujuannya agar terjadi kemitraan yang benar-benar sehat. Artinya benar-benar terjadi kemitraan yang win-win antara pengusaha dengan masyarakat. Dan masyarakat juga bisa menikmati hasil dari kemitraan ini dengan senang hati.
"Jadi hubungan kemitraan antara inti (perkebunan milik swasta/negara) dan plasma (perkebunan yang dimiliki secara mandiri oleh petani) ini tidak terpaksa. Jangan hanya menguntungkan satu pihak tapi kedua belah pihak pengusaha maupun petani ya harus merasa happy. Itu yang akan membuat industri sawit ini menjadi terus bertahan di Indonesia sebagai produsen sawit nomer 1 di dunia," paparnya.
Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai kebijakan 30 persen plasma tersebut berpotensi maladministrasi karena melanggar aturan yang ada. Jika memang akan direalisasikan, dia meminta pemerintah mengubah dulu undang-undangnya. Karena ketidakpastian hukum akan memiliki konsekuensi, salah satunya berdampak pada iklim investasi.
Tag: #aturan #plasma #persen #untuk #pembaruan #sawit #berpotensi #rusak #investasi