Dampak Tambang Nikel di Kawasan Raja Ampat, Ini Kata Asosiasi Pengusaha Wisata Selam
Raja Ampat Layak Dijunjungi (Maichel KOMPAS.com)
20:07
9 Juni 2025

Dampak Tambang Nikel di Kawasan Raja Ampat, Ini Kata Asosiasi Pengusaha Wisata Selam

- Asosiasi pengusaha wisata selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Company Association (IDCA) meminta Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto untuk mencabut izin tambang di seluruh kawasan Raja Ampat secara permanen.

Aktivitas tambang nikel yang saat ini terjadi di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya dinilai berpotensi merusak wisata bahari di Raja Ampat.

"Kami meminta Presiden Republik Indoneia Bapak Prabowo Subianto untuk segera memerintahkan pencabutan izin tambang di seluruh kawasan Raja Ampat secara permanen, bukan penangguhan sementara untuk kemudian dilakukan penataan ulang wilayah strategis berdasarkan karakteristik dan nilai ekologisnya sesuai keanekaragaman hayati secara jangka panjang dibanding kegiatan tambang yang bersifat destruktif dan bersifat jangka pendek," kata Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti.

Pernyataan tersebut juga dituliskan dalam Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto Nomor 001/EXT/IDCA/VI/2025 tentang Perlindungan Kawasan Raja Ampat dari Ancaman Tambang Nikel yang KompasTravel terima pada Senin (9/6/2025).

Melalui surat terbuka tersebut, IDCA prihatin dengan ancaman serius akibat aktivitas nikel yang saat ini terjadi di Raja Ampat. Lokasi tambang tersebut dinilai berada di area destinasi selam kelas dunia milik Indonesia.

"Dampak aktivitas pertambangan yang akan menghasilkan tumpukan sendiman sangat berpotensi mengintervensi kawasan perlindungan," ujar Ebram.

Ebram menyebutkan, lokasi tambang saat ini memang tidak secara langsung berada di area perlindungan. Namun, berada pada zona kawasan penyangga yang meliputi sekitar Pulau Kawe, Wayag, serta jalur migrasi satwa laut.

Pulau Gag, salah satu pulau penghasil Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.KOMPAS.COM/Roberthus Yewen Pulau Gag, salah satu pulau penghasil Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya.
Ia menyebut, lumpur tambang yang terbawa arus laut hingga Wayag, akan mengancam sinar matahari bawah permukaan laut, berpotensi merusak terumbu karang, serta berdampak pada habitat penting seperti zona migrasi manta ray di Eagle Rock.

"Bagi kami, sebagai pelaku usaha wisata alam, gambaran dan fakta-fakta tersebut sangat mengerikan. Apalagi jika kami harus berhadapan dengan dunia internasional yang selama ini mengagungkan nama besar Raja Ampat sebagai 'The World Class Diving Site in The Coral Triangle'," tambah Ebram.

Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat tersebut, lanjutnya, secara langsung akan menghancurkan reputasi Indonesia di mata dunia.

Ebram mengatakan, pihaknya menyadari bahwa pembangunan nasional memerlukan strategi multisektor. Termasuk dalam hal ini pengembangan industri nikel sebagai bagian dari hilirisasi dan transisi energi.

"Namun, kami percaya bahwa tidak semua wilayah cocok untuk ditambang. Justru di sinilah pentingnya hadir pendekatan win-win solution antara sektor pertambangan dan pariwisata," kata Ebram.

Melalui surat terbuka tersebut, IDCA juga meminta kepada Presiden Prabowo untuk memperluas perlindungan zona larangan (no take zone) dan zona penyangga atau buffer zone di antara Kawe dan Wayag.

Serta, menegakkan zonasi konservasi nasional yang melarang adanya kegiatan ekstraktif.

Turis menyelam di Raja Ampat, Papua Barat Daya.Dok. Kementerian Pariwisata Turis menyelam di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Tidak hanya itu, IDCA juga meminta agar Presiden Prabowo mendorong ekonomi hijau dan ekowisata berbasis masyarakat lokal, sebagai alternatif nyata dan bernilai jangka panjang.

"Libatkan masyarakat adat dan nelayan lokal dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan, agar pembangunan benar-benar inklusif dan berkelanjutan," terang Ebram.

Lebih lanjut, IDCA menyakini bahwa Presiden memahami bahwa pembangunan tidak bisa mengorbankan aset alam dan budaya yang tidak ternilai.

Maka dari itu, sambung Ebram, pembatalan izin tambang di Raja Ampat, penataan ulang zona strategis, dan penguatan tata kelola konservasi, akan menjadi teladan bagi dunia.

"Bahwa Indonesia bisa memimpin pembangunan hijau yang adil, lestari, dan berpihak kepada rakyat," Ebram.

Pariwisata Indonesia masih mengandalkan alam

Spot snorkeling di Pulau Arborek.Dok. indonesia.travel Spot snorkeling di Pulau Arborek.Eram mengatakan bahwa pariwisata Indonesia masih mengandalkan daya tarik wisata alam.

Ia mengatakan, berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata, lebih dari 60 persen daya tarik pariwisata Indonesia bersumber dari kekayaan alam.

"Artinya, kekuatan utama pariwisata nasional kita justru terletak pada alam yang lestari," pungkas Ebram.

Ia melanjutkan, dalam studi yang dilakukan oleh UNDP dan BRIN (2021) pendekatan konservasi berbasis masyarakat dan pengembangan ekowisata telah terbukti memberikan manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Ebram memaparkan data bahwa pada 2024, tercatat sedikitnya ada 30.000 wisatawan mengunjungi Raja Ampat, dan 70 persen wisatawan mancanegara menyumbang sekitar Rp 150 miliar per tahun sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten.

"Angka ini tentunya tidak dapat diremehkan begitu saja, karena nilai ekonomi Raja Ampat jauh lebih besar dibandingkan angka-angka yang tercatat di permukaan," kata Ebram.

Turis menyelam di Raja Ampat, Papua Barat Daya.Dok. Kementerian Pariwisata Turis menyelam di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Selain itu, sambungnya, Papua juga telah ditetapkan sebagai provinsi konservasi berdasarkan komitmen para gubernur di Tanah Papya sejak 2018, dan juga diperkuat dalam sejumlah kebijakan daerah.

Maka dari itu, tambahnya, segala bentuk pembangunan di kawasan ini sepatutnya tunduk pada prinsip konervasi dan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan data UPTD BLUD Pengelolaan Kawasan Perairan Raya Ampat, disebutkan bahwa Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat mencakup sekitar 2.000.109 hektar, dengan tujuh zona perlindungan yang dikelola nasional maupun daerah.

Termasuk dalam hal ini kawasan Selat Dampier, Misool, Kepulauan Ayau-Asia, dan Fam.

"Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tapi juga simbol konservasi laut global. Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini," pungkas Ebram.

Tag:  #dampak #tambang #nikel #kawasan #raja #ampat #kata #asosiasi #pengusaha #wisata #selam

KOMENTAR