Riset Ungkap Kesiapan Masyarakat Indonesia Sambut Era EV: Masih Banyak yang Skeptis
Deretan motor listrik Smoot yang semakin masih penyebarannya di jalanan. (Dony)
14:20
15 November 2024

Riset Ungkap Kesiapan Masyarakat Indonesia Sambut Era EV: Masih Banyak yang Skeptis

 

  - Dalam beberapa tahun terakhir, industri kendaraan listrik atau Electric Vehicle atau EV di Asia Pasifik telah melonjak. Tiongkok memimpin dalam penggunaan dan produksi, Jepang unggul dalam penjualan hibrida, dan pasar India mulai menyusul.    Di Indonesia sendiri, peralihan ke EV dilaporkan telah menunjukkan perkembangan positif. Terkait hal tersebut, perusahaan riset global PwC Indonesia baru saja merilis studi mengenai kesiapan kendaraan listrik Indonesia pada 2024.   Sebagai bagian dari studi global di 27 wilayah, ini memungkinkan perbandingan antara Indonesia dan pasar lain di Asia Pasifik (APAC), Amerika Latin (LATAM), Amerika Utara (NA), Eropa, Timur Tengah dan Afrika (EMEA).   Secara global, pasar EV mengalami pertumbuhan yang didorong oleh meningkatnya kepedulian lingkungan, insentif pemerintah, dan kemajuan teknologi. Pasar utama, seperti Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat, memimpin dalam adopsi EV, dengan kebijakan kuat yang mendukung transisi ke mobilitas listrik.    Pada tahun 2030, banyak negara telah menetapkan target ambisius untuk menghapus Mesin Pembakaran Dalam atau Internal Combustion Engines (ICE), yang semakin mendorong industri EV.   Dalam hal minat konsumen terhadap EV, angkanya meningkat: Lebih dari 60 persen responden berencana membeli EV dalam lima tahun mendatang, dengan variasi regional yang signifikan.   Minat tinggi diamati di Tiongkok, India, Indonesia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika (70-80 persen prospek EV), sementara Jepang menunjukkan minat yang lebih rendah (21 persen prospek EV).   Di kawasan Asia Pasifik, Tiongkok berada di garis depan, dengan investasi besar dalam infrastruktur dan manufaktur EV. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi produsen baterai utama dan produsen otomotif yang fokus pada mobilitas listrik.   Sementara di Indonesia, dengan sumber daya nikel melimpah yang merupakan bahan baku penting untuk baterai, Indonesia siap menjadi pemain kunci di pasar baterai EV, sehingga dapat menarik investasi dan pengembangan yang signifikan.    Hendra Lie, PwC Indonesia Automotive Leader, menjelaskan, dengan menerapkan kebijakan strategis dan menawarkan insentif yang menarik, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan pengolahan nikel tetapi juga mendorong pertumbuhan manufaktur EV dan baterai domestik.    "Ini menempatkan Indonesia sebagai kontributor utama dalam pergeseran global menuju transportasi berkelanjutan," jelas Hendra melalui keterangannya, Jumat (15/11).   Studi tersebut juga mengidentifikasi tiga segmen responden di pasar: pemilik EV, prospek EV, dan skeptis EV. Dengan hanya 7 persen responden yang sudah memiliki EV. Sebanyak 93 persen terbagi antara 78 persen yang berniat membeli satu dalam lima tahun ke depan dan 15 persen yang tetap skeptis.   Selain itu, 60 persen responden pemilik EV adalah perempuan, 51 persen prospek EV adalah perempuan, dan 55 persen skeptis EV adalah laki-laki. Dinamika ini menyoroti potensi pasar Indonesia yang belum terjamah, yang jika dimanfaatkan secara efektif, dapat menempatkan negara ini sebagai salah satu pemimpin di kawasan ini.   Semua pemilik EV (7 persen) dikatakan membeli kendaraan mereka melalui dealer dan 93 persen pemilik EV saat ini sangat puas dengan kendaraan mereka. Faktor utama kepuasan adalah 68 persen puas dengan durasi pengisian, 43 persen dengan biaya operasional yang lebih rendah, dan 35 persen puas dengan ketersediaan tempat parkir.    Secara global, Indonesia (93 persen) memiliki salah satu tingkat kepuasan EV tertinggi, dibandingkan dengan, antara lain, 98 persen dari Tiongkok, dan 80 persen dari Jepang. Prospek EV (78 persen) cenderung mempertimbangkan biaya, lingkungan, dan kenyamanan dalam membeli EV.    Biaya adalah faktor pendorong terpenting dengan 73 persen, membuktikan bahwa konsumen masih memperhatikan harga saat melakukan investasi dalam teknologi yang relatif baru. Kepedulian lingkungan berada di tempat kedua dengan 47 persen dan diikuti oleh kenyamanan dengan 44 persen.   Biaya sebagai faktor utama di Indonesia (73 persen) lebih tinggi dibandingkan Tiongkok dan India (57 persen). Konsumen Indonesia juga ditemukan lebih dipengaruhi oleh aspek lingkungan positif dari EV dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik.   "Akan tetapi, prospek EV tetap khawatir tentang waktu pengisian, jangkauan berkendara yang terbatas, dan masa pakai baterai. Durasi pengisian yang lama mengkhawatirkan 60 persen responden prospektif EV, terutama selama perjalanan jauh atau jadwal yang sibuk," tambah Hendra.   Selain itu, 59 persen calon pembeli mengalami 'kecemasan jangkauan,' takut mereka kehabisan baterai sebelum mencapai stasiun pengisian. Meskipun ada perbaikan dalam teknologi baterai, 47 persen calon pembeli masih tidak yakin tentang umur panjang dan kinerja baterai dari waktu ke waktu, yang mempengaruhi kepercayaan mereka dalam investasi jangka panjang pada EV.   Skeptis EV adalah kelompok terkecil kedua (15 persen) tetapi mewakili tantangan signifikan bagi pasar EV di Indonesia. Hambatan kritis bagi skeptis EV termasuk kekhawatiran tentang jangkauan berkendara yang terbatas (75 persen), waktu pengisian yang lama (51 persen), dan ketidakpastian masa pakai baterai EV (46 persen).    Hanya 37 persen tinggal di daerah pinggiran kota dan melakukan perjalanan rata-rata 23 km perbhari. Skeptisisme mereka diperparah oleh kurangnya kepercayaan pada infrastruktur dan teknologi saat ini serta biaya awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan ICE tradisional.   Temuan signifikan lainnya adalah bahwa pasar EV bekas di Indonesia masih dalam tahap awal. Berbeda dengan wilayah yang lebih berkembang, di mana EV bekas populer, hanya 20 persen pemilik saat ini di Indonesia yang tertarik membeli EV bekas.   Pemilik EV khawatir tentang degradasi baterai (55 persen) dan kerusakan tersembunyi yang mungkin muncul di masa depan (53 persen), serta kurangnya garansi (45 persen). Di pasar EV bekas, peluang meliputi peningkatan pasokan, pengalaman konsumen, jaminan after sales, dan kemajuan teknologi.    Namun, tantangan seperti kekhawatiran tentang masa pakai baterai dan biaya penggantian, kesadaran yang terbatas, kurangnya stasiun pengisian, dan tingkat depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan tradisional masih ada.    Secara global, 80-90 persen konsumen di Meksiko, Brasil, Timur Tengah, dan Afrika menganggap nilai sisa sebagai faktor kunci saat membeli kendaraan. Di Asia Pasifik, Indonesia memiliki kekhawatiran tertinggi tentang nilai sisa sebesar 73 persen, diikuti oleh Jepang sebesar 60 persen, Tiongkok sebesar 63 persen, dan India sebesar 64 persen.

Editor: Estu Suryowati

Tag:  #riset #ungkap #kesiapan #masyarakat #indonesia #sambut #masih #banyak #yang #skeptis

KOMENTAR