Salah Gunakan Teknologi DeepFake Bisa Masuk Penjara 6 Tahun atau Denda 1 Miliar
- Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah memberikan dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang komunikasi digital.
Salah satu inovasi yang sedang mendapat perhatian adalah teknologi deepfake, yaitu produksi konten berupa gambar, audio, atau video secara artifisial dengan kemampuan meniru suara maupun wajah seseorang.
Konten deepfake mampu memanipulasi citra dan suara dengan tingkat realisme yang tinggi sehingga sering kali sulit dibedakan dari konten asli.
Meskipun memiliki potensi positif, seperti dalam industri kreatif dan pendidikan—contohnya penggunaan deepfake untuk menciptakan pelajaran interaktif dengan menampilkan pidato bersejarah—teknologi ini juga menghadirkan risiko besar penyalahgunaan.
Resiko ini misalnya untuk tujuan pornografi, penipuan, atau pencemaran nama baik. Di Indonesia, maraknya penyebaran konten deepfake yang bermuatan asusila atau menyesatkan telah memicu keresahan masyarakat dan menambah tantangan baru dalam penegakan hukum pidana.
Ketika perkembangan teknologi bergerak lebih cepat dibandingkan regulasi yang ada, diperlukan pendekatan hukum yang lebih komprehensif guna melindungi hak korban sekaligus menjaga ketertiban di ranah digital.
Terkait hal ini bagaimana regulasi yang telah berlaku, ancaman hukuman yang bagaimana serta peran pemerintah dalam mengatasi tantangan hukum di era kecerdasan buatan?
Deepfake sebagai Penyalahgunaan Teknologi AI
Bila Bermuatan Kesusilaan
Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) ditegaskan bahwa:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.”
Jika teknologi deepfake dimanfaatkan untuk menghasilkan konten pornografi, maka penyebarannya dapat dikenai sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal ini berfungsi sebagai landasan utama untuk menindak pelaku yang menyebarkan deepfake dengan muatan yang melanggar norma kesusilaan.
Digunakan untuk Pelanggaran Nama Baik
Dalam Pasal 27A UU ITE tertulis:
“Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”
Pasal tersebut mengatur tindak pencemaran nama baik secara sengaja lewat media digital. Penggunaan deepfake atau manipulasi digital lain dapat dianggap dasar hukum untuk menjerat pelaku yang memakai teknologi AI demi merusak kehormatan atau nama baik seseorang.
Contohnya, jika seseorang membuat video deepfake yang menampilkan individu dalam situasi memalukan atau kriminal yang sebenarnya tidak terjadi, lalu menyebarkannya di media sosial agar publik percaya dan reputasi korban hancur, tindakan ini memenuhi unsur “menuduhkan suatu hal supaya diketahui oleh umum”.
Digunakan untuk Penipuan
Sedangkan untuk Pasal 492 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang akan diberlakukan pada Januari 2026 menegaskan bahwa:
“Setiap Orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu Barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.”
Dalam pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana penipuan yang dilakukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Penipuan ini dilakukan melalui penggunaan identitas palsu, posisi fiktif, tipu daya, atau serangkaian pernyataan bohong yang bertujuan memengaruhi seseorang agar menyerahkan barang, memberikan utang, mengakui utang, atau menghapuskan piutang.
Dalam konteks teknologi deepfake, pasal tersebut berpotensi digunakan sebagai dasar hukum untuk menjerat pelaku kejahatan digital yang memanfaatkan kecerdasan buatan guna menciptakan identitas palsu atau manipulasi audio/visual secara meyakinkan.
Dalam praktiknya, pelaku dapat membuat video deepfake yang menunjukkan seseorang seolah-olah menyetujui transaksi keuangan atau berpura-pura menjadi tokoh berpengaruh untuk mendorong korban menyerahkan uang atau barang lain. Pembuatan konten deepfake ini memenuhi elemen “identitas palsu” atau “posisi fiktif” karena pelaku menciptakan representasi digital yang menyesatkan.
Narasi manipulatif yang mendampingi konten tersebut, khususnya dalam bentuk rangkaian kata bohong, juga berkontribusi sebagai upaya untuk membujuk korban hingga mengambil keputusan yang merugikan dirinya.
Sebagai contoh, terdapat kasus penipuan menggunakan teknologi deepfake dengan wajah Presiden Prabowo Subianto.
Dalam kasus ini, tersebar video yang memperlihatkan sosok Prabowo lengkap dengan suara dan wajahnya, seolah menawarkan bantuan pemerintah bagi masyarakat yang membutuhkan.
Pelaku bahkan mencantumkan nomor kontak untuk dihubungi oleh korban. Lalu korban diarahkan untuk mendaftar sebagai penerima bantuan namun diminta mentransfer sejumlah dana yang dinyatakan sebagai biaya administrasi.
Penipuan menggunakan teknologi deepfake merupakan salah satu bentuk kejahatan siber yang semakin kompleks dan sulit dideteksi.
Pasal 492 KUHP menjadi relevan sebagai landasan hukum dalam menindak para pelaku. Namun sejumlah ahli hukum menilai KUHP baru masih belum secara spesifik mengatur modus kejahatan digital seperti deepfake ini.
Maka diperlukan penguatan regulasi tambahan agar lebih adaptif terhadap kemajuan teknologi saat ini.
Ancaman Hukuman bagi Pelaku Menurut UU ITE dan KUHP
Sanksi UU ITE
Diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, bahwa hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar atas pendistribusian informasi elektronik bermuatan asusila.
Kemudian dalam Pasal 45 ayat (4) UU ITE bahwa para pelaku tindakan pencemaran nama baik akan terancam hukuman 2 (dua) tahun atau/atau denda paling banyak Rp400 juta.
Sementara itu, terkait dengan informasi yang menyesatkan dan mengakibatkan kerugian materiil bagi seseorang akan terancam pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sanksi KUHP
Pasal 492 mengatur penipuan digital dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun atau denda maksimal Rp500 juta (kategori V).
Tag: #salah #gunakan #teknologi #deepfake #bisa #masuk #penjara #tahun #atau #denda #miliar