Cisco: Indonesia Unggul dalam Kesiapan AI, tapi Ada 2 Tantangan
Tekno ilustrasi AI. 8 Keterampilan yang Tidak Bisa Digantikan AI, Apa Saja?(ChatGPT)
15:06
25 Oktober 2025

Cisco: Indonesia Unggul dalam Kesiapan AI, tapi Ada 2 Tantangan

Rangkuman Berita:

  • Indonesia termasuk negara paling siap menghadapi AI, dengan 23 persen perusahaan sudah siap, di atas rata-rata global 13 persen.
  • Sebanyak 97 persen organisasi di Indonesia berencana mengadopsi AI dalam waktu dekat.
  • Namun, adopsi AI terhambat oleh tiga masalah utama: kurang talenta, infrastruktur lemah, dan keamanan siber belum kuat.

- Indonesia disebut sebagai salah satu negara paling siap menghadapi era kecerdasan buatan (AI) di Asia Pasifik.

Namun, di balik optimisme itu, Indonesia masih menghadapi tiga tantangan besar yang bisa menghambat realisasi transformasi AI: minimnya talenta digital, infrastruktur yang belum siap, dan keamanan siber yang masih lemah.

Dalam laporan Cisco AI Readiness Index 2025, disebutkan bahwa 23 persen perusahaan di Indonesia sudah memiliki kesiapan memadai untuk mengadopsi AI, jauh di atas rata-rata global yang baru mencapai 13 persen.

Kemudian, hampir 97 persen organisasi di Tanah Air memiliki rencana untuk mengadopsi AI dalam waktu dekat di perusahaan mereka. 

Namun di balik optimisme itu, Cisco melihat masih ada tiga tantangan besar yang harus segera diatasi agar potensi besar AI di Indonesia tidak hanya sekadar wacana.

Tiga tantangan besar ini disampaikan oleh EVP Global Sales and Chief Sales Officer Cisco, Oliver Tuszik dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Kompas.com pada Rabu (22/10/2025) lalu. 

Oliver sedang berkunjung ke Indonesia untuk mengurus beberapa hal yang berkaitan dengan pelanggan mereka yang ada di Indonesia. 

Nah, menurut Oliver, tiga tantangan yang bisa menghadang "mimpi" perusahaan Indonesia untuk mengadopsi AI adalah kekurangan talenta, infrastruktur yang belum siap, dan sistem keamanan yang dinilai masih lemah. 

Talenta digital kurang

Oliver menyebut kurangnya talenta digital di Indonesia bisa menjadi faktor utama yang sangat menghambat perkembangan AI di perusahaan-perusahaan di Indonesia.

"Hal ini disebabkan oleh teknologi AI yang memang tergolong masih baru. Tidak ada orang yang punya pengalaman puluhan tahun di bidang ini," kata Oliver kepada Kompas.com.

"Selain itu, AI juga terus berkembang seiring berjalannya waktu. Jika seorang pengguna tak beradaptasi, maka ia tak bisa mengejar kecepatan perkembangan teknologi AI," imbuh Oliver. 

Untuk membantu memperbanyak talenta digital, Cisco memiliki program pelatihan talenta digital bernama Cisco Networking Academy yang sudah dimulai sejak kurang lebih dua dekade lalu.

Hingga kini, program tersebut sudah melatih lebih dari 500.000 orang dengan pengalaman di bidang jaringan, keamanan, hingga cloud.

Ke depannya, Oliver mengeklaim program ini diharapkan melatih 500.000 talenta tambahan di Indonesia, termasuk untuk bidang AI, pada lima tahun ke depan alias di 2030 mendatang. 

“Negara yang punya lebih banyak talenta akan lebih cepat berkembang. Itulah sebabnya kami berinvestasi di pendidikan. Kami yakin, target satu juta talenta AI di Indonesia bisa tercapai, dan harapan kami akan lebih cepat dari target," jelas Oliver. 

Oliver menyebut Cisco Networking Academy tidak hanya ditujukan bagi mahasiswa atau profesional di bidang informasi dan teknologi (IT), melainkan juga guru, ASN, hingga pelaku UMKM. 

Kenapa tidak hanya mahasiswa dan karyawan IT? Karena tujuannya program ini adalah supaya AI tidak menjadi teknologi eksklusif, tapi bisa dimanfaatkan semua lapisan masyarakat.

Infrastruktur belum siap

EVP Global Sales and Chief Sales Officer Cisco, Oliver Tuszik (kiri) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan jurnalis Kompas.com, Bill Clinten (kanan) pada Rabu (22/10/2025) lalu. KOMPAS.com/Bill Clinten EVP Global Sales and Chief Sales Officer Cisco, Oliver Tuszik (kiri) dalam sebuah wawancara eksklusif dengan jurnalis Kompas.com, Bill Clinten (kanan) pada Rabu (22/10/2025) lalu. 

Seperti disebutkan di atas, Cisco mengeklaim hampir 97 persen organisasi di Tanah Air memiliki rencana untuk mengadopsi AI dalam waktu dekat di perusahaan mereka. 

Namun, hanya 27 persen perusahaan di Indonesia yang yakin sistem atau jaringan mereka bisa fleksibel dan mampu menampung beban kerja AI.

Selain itu, hanya 47 persen perusahaan Indonesia yang memiliki kapasitas GPU memadai untuk menjalankan pemrosesan AI.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara ambisi dan kemampuan aktual perusahaan di Indonesia ketika ingin mengadopsi AI.

Oliver menyebut fenomena ini sebagai "AI Infrastructure Debt" alias “Utang Digital”. Sederhananya, istilah ini yang menggambarkan sebuah perusahaan yang punya sistem lawas yang belum siap menanggung beban AI modern.

“Kalau kita melatih banyak orang tapi tak punya sistem dan alat yang mendukung, itu tidak akan membantu sebuah perusahaan menerapkan AI di sistem mereka,” kata Oliver.

“AI bukan cuma soal perangkat lunak, tapi juga soal daya komputasi, jaringan, hingga keamanan,” imbuh Oliver. 

Oliver mengibaratkan fenomena AI Infrastructure Debt sebagai sebuah gedung tinggi yang dibangun di atas pondasi yang rapuh. 

Jika pondasi ini rusak atau retak, maka gedung juga akan runtuh. Ini menggambarkan perusahaan yang memiliki semangat digitalisasi kuat, namun masih belum punya sistem penopang yang kokoh.

“Masalahnya bukan kemauan, tapi kesiapan sistem. Kalau pondasinya belum siap, perusahaan akan tertinggal meskipun semangatnya besar," jelas Oliver.

Oliver juga menambahkan sebagian besar organisasi di Indonesia saat ini masih kesulitan memusatkan data mereka dan mengintegrasikan sistem lama ke sistem yang dirancang dengan arsitektur baru.

Kondisi seperti itu diprediksi dapat membuat perusahaan kecil dan startup menghadapi tantangan lebih berat.

Sebab, mereka memiliki akses yang sangat terbatas terhadap daya komputasi tinggi, dan ini bisa memperlebar kesenjangan antara perusahaan besar dan pelaku usaha kecil di era digital.

Sistem keamanan lemah

Tantangan terakhir yang bisa membuat adopsi AI lambat di Indonesia adalah sistem keamanan perusahaan yang lemah. 

Oliver menyebut sistem ini sering diabaikan oleh perusahaan di Tanah Air, padahal keamanan merupakan satu aspek yang harus diperhatikan jika ingin mengadopsi AI. 

Dalam laporan Cisco AI Readiness Index 2025, baru 40 persen organisasi di Indonesia yang sudah mengintegrasikan AI ke sistem keamanan mereka.

Angka ini bisa dibilang cukup rendah apabila dibandingkan dengan risiko keamanan yang mengintai yang kini juga sudah pakai AI. 

Ilustrasi logo Cisco.Kompas.com/BILL CLINTEN Ilustrasi logo Cisco.

Selain itu, AI juga turut membuka risiko baru seperti kebocoran data sensitif, serangan prompt injection, dan manipulasi hasil model AI.

Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, Cisco menghadirkan beragam layanan yang bisa membantu perusahaan mengamankan sistem mereka dengan teknologi AI.

Salah satunya adalah AI Defense, sebuah sistem pengujian keamanan terbaru Cisco yang bisa mensimulasikan serangan terhadap model AI internal perusahaan.

“Sebagian besar model AI dibuat untuk kreatif, bukan aman. Dengan AI Defense, kami bisa membantu perusahaan menguji model AI yang mereka punya, supaya perusahaan ini tahu seberapa rentan mereka terhadap serangan AI,” ungkap Oliver. 

"Di masa sekarang, keamanan bukan sekadar fitur tambahan, melainkan juga syarat utama agar adopsi AI berjalan dengan lancar dan berkelanjutan," tambah Oliver.

Kolaborasi

Nah, untuk membantu banyak perusahaan di Indonesia mengadopsi AI, Cisco bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan, termasuk operator seluler, yang ada di Tanah Air. 

Kerja sama ini bertujuan untuk membangun infrastruktur AI yang aman dan scalable yang bisa digunakan banyak perusahaan di Indonesia.

Salah satu inovasi yang dikembangkan adalah konsep AI PODs, suatu sistem modular yang bisa dikembangkan sesuai kebutuhan industri dan lembaga yang ingin mengadopsi AI.

“AI tidak bisa dibangun sendiri. Sebab, kami butuh kolaborasi lintas sektor dan regulasi yang bisa mendorong inovasi. Jika tidak, maka inovasi akan terhambat dan adopsi AI akan semakin lambat," ujar Oliver. 

Meski banyak tantangan dan kolaborasi lintas sektor, ke depannya, Oliver yakin bahwa perubahan besar terhadap adopsi AI di Indonesia akan datang lebih cepat dari yang diperkirakan.

Sebab, saat ini sudah banyak orang yang pakai AI, mulai dari anak kecil hingga dewasa, dan mereka pakai teknologi ini untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing di kehidupan sehari-hari.

“Dua tahun lalu kita baru mulai bicara AI. Sekarang, anak sekolah sudah menggunakannya untuk mengerjakan PR," jelas Oliver.

"Dengan kondisi seperti ini, dalam dua atau tiga tahun ke depan, kita akan bisa melihat transformasi besar di Indonesia untuk adopsi AI, terlepas dari tantangan yang masih menghantui," pungkas Oliver.

Artinya, Indonesia bukan kekurangan kemauan untuk mengadopsi AI, tetapi butuh fondasi lebih kokoh untuk menopang ambisi besar tersebut. Dengan investasi pada talenta, infrastruktur, dan keamanan, para pelaku industri yakin transformasi AI di Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.

Tag:  #cisco #indonesia #unggul #dalam #kesiapan #tapi #tantangan

KOMENTAR