Orang Miskin Ditolong atau Didorong?
PERDEBATAN tentang kemiskinan sering kali terjebak pada angka dan grafik, padahal di balik statistik itu ada manusia dengan keterbatasan struktural.
Namun, mari mulai dari data yang paling telanjang: menurut BPS Maret 2025, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 25,22 juta orang atau 9,03 persen dari total populasi.
Lebih mencemaskan, 51,8 persen rumah tangga miskin hidup dalam kondisi rawan guncangan ekonomi, dan lebih dari 60 persen tidak memiliki tabungan sama sekali.
Angka ini menunjukkan bahwa status “miskin” bukan hanya keadaan, melainkan jebakan.
Pertanyaannya: apakah mereka harus ditolong, atau justru didobrak keluar dari jerat sistem yang membuat mereka tetap miskin?
Ketika pertolongan jadi anestesi kolektif
Negara sering mengambil jalan cepat dengan memberikan bantuan tunai, seakan-akan kemiskinan hanya soal kurang uang dalam dompet. Padahal, bantuan tunai yang bersifat konsumtif lebih mirip anestesi, bukan penyembuh.
Teori welfare trap dari Murray (1984) menegaskan bahwa intervensi sosial yang hanya berorientasi pada transfer dapat menciptakan ketergantungan jangka panjang.
Ini bukan sekadar teori Barat yang jauh dari realitas kita. BPS mencatat bahwa penerima bantuan tetap miskin selama bertahun-tahun karena tidak terjadi peningkatan kapasitas produktif.
Di titik ini, kita harus bertanya: apakah bantuan itu benar-benar “menolong” atau justru membius masyarakat miskin agar tetap tenang, stabil secara politik, dan tidak menuntut perubahan struktural yang lebih mendasar?
Konsep learned helplessness dari Seligman (1975) menunjukkan bahwa ketika orang terlalu sering ditolong tanpa dikembangkan kemampuannya, ia kehilangan motivasi untuk berubah.
Bantuan yang salah desain dapat membunuh agency, yaitu kemampuan individu mengambil keputusan untuk memperbaiki hidupnya.
Pertolongan yang bersifat karitatif sering menjadi ritual tahunan yang membuat publik merasa telah berbuat kebaikan, tetapi tanpa memutus reproduksi kemiskinan. Kita menolong, tetapi kita menormalkan stagnasi.
Dorongan yang mendorong atau mendorong jatuh?
Narasi sebaliknya—bahwa orang miskin harus “didorong”—juga tidak selalu mulia. Perintah “bangkitlah!” menjadi sia-sia bila negara tidak menyediakan ekosistem yang memungkinkan orang miskin benar-benar bangkit.
Konsep capability approach dari Amartya Sen (1999) menegaskan bahwa kemiskinan adalah kehilangan kemampuan, bukan sekadar rendahnya pendapatan.
Jika kemampuan dasar tidak terpenuhi—pendidikan, kesehatan, akses modal—maka dorongan berubah menjadi tekanan.
Contoh ekstrem bisa ditemukan pada data BPS mengenai UMKM: lebih dari 90 persen UMKM miskin informasi pasar, 67 persen tidak memiliki pembukuan, dan 58 persen terjebak pinjaman konsumtif, bukan produktif.
Jadi apa artinya mendorong mereka “berwirausaha” bila pasar tetap dikuasai konglomerasi dan rantai suplai tidak memberi ruang marjin?
Model Grameen Bank dari Muhammad Yunus bekerja karena dorongan dikaitkan dengan pendampingan, kewajiban kelompok, disiplin sosial, dan akses pasar.
Di Indonesia, banyak program kredit mikro justru gagal karena negara hanya memberi modal lalu pergi. Tanpa pelatihan, tanpa mentoring, dorongan berubah menjadi perangkap utang baru.
Dorongan yang dilepaskan tanpa sistem adalah dorongan yang mendorong jatuh.
Diskursus kemiskinan sering dikotakkan sebagai masalah “kurang semangat”, “kurang pendidikan”, atau “kurang kerja keras”. Narasi ini salah besar. Kemiskinan adalah produk sistemik, bukan kegagalan personal.
Structural poverty yang dipetakan oleh World Bank (2022) menjelaskan bahwa kemiskinan bertahan karena ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, teknologi, dan pasar.
Data BPS 2025 mempertegas argumen ini: angka kemiskinan tertinggi berada di wilayah yang memiliki akses internet di bawah 60 persen, yang menunjukkan bahwa digitalisasi belum menyentuh populasi yang paling membutuhkan peluang ekonomi baru.
Lebih jauh, 76 persen rumah tangga miskin bekerja di sektor informal berproduktivitas rendah, terutama pertanian subsisten, sehingga mereka terjebak dalam fluktuasi harga pangan yang tidak mereka kendalikan.
Di sini, teori dual economy dari Lewis (1954) relevan: ada dua dunia—sektor modern dan sektor tradisional—dan orang miskin terjebak di sektor tradisional dengan mobilitas sosial yang nyaris buntu.
Jadi, pertanyaan “ditolong atau didorong” terlalu dangkal jika negara tidak merombak akar ketimpangan.
Kemiskinan bertahan bukan karena orang miskin tidak bekerja keras, tetapi karena sistem bekerja lebih keras untuk mempertahankan kemiskinan daripada membantu orang miskin keluar darinya.
Kita menolong, kita mendorong, tetapi sistem tidak berubah.
Di Indonesia, kemiskinan sering dikelola, bukan diselesaikan. Bansos dibagikan setiap tahun, program pemberdayaan digulirkan, tetapi ketimpangan akses tetap sama.
Kita menolong dengan tangan kanan, tetapi membiarkan struktur yang menahan mereka tetap berdiri kokoh. Kita mendorong dengan slogan, tetapi tidak membuka pintu yang mereka butuhkan untuk lewat.
Model “graduation approach” dari BRAC Bangladesh adalah contoh bahwa kombinasi keduanya bisa berhasil: bantuan tunai diberikan sebagai alas aman, kemudian kapasitas produktif dibangun melalui pelatihan, aset produktif, mentoring, dan pembukaan akses pasar. Inilah desain yang memutus kemiskinan, bukan memeliharanya.
Poinnya jelas: orang miskin memang perlu ditolong untuk bertahan hidup, tetapi mereka harus didorong untuk mendapatkan masa depan. Dan keduanya tidak akan berarti apa-apa jika negara tidak berubah.
Kemiskinan tidak akan hilang jika struktur ekonomi tetap memihak akumulasi, bukan pemerataan; jika pasar tertutup bagi pemain kecil; jika pendidikan hanya memperpanjang elitisme.
Pada akhirnya, pertanyaan moral yang lebih tajam bukan “ditolong atau didorong”, melainkan: sampai kapan negara membiarkan sistem yang terus memproduksi orang miskin, kemudian berpura-pura peduli melalui bantuan dan program pemberdayaan?