Jaksa dalam Pusaran Rusuah
ADA sesuatu yang sunyi, tapi menghantam ketika seorang jaksa terseret rusuah. Sunyi itu bukan karena peristiwanya kecil, melainkan karena yang runtuh bukan sekadar seorang individu, melainkan satu simpul kepercayaan publik.
Jaksa, dalam imajinasi konstitusional kita, berdiri di jantung penegakan hukum. Ia bukan hanya aparat, tetapi penjaga nurani negara. Ketika ia jatuh, yang terdengar bukan gaduh, melainkan senyap yang memekakkan.
Dalam tradisi hukum modern, jaksa adalah wajah negara di hadapan kejahatan. Ia hadir bukan untuk membalas, melainkan menegakkan keadilan melalui hukum.
Karena itu, rusuah yang menyeret jaksa bukan sekadar pelanggaran pidana. Ia adalah peristiwa etis, tragedi moral, sekaligus kegagalan institusional.
Rusuah bukan sekadar uang yang berpindah tangan. Ia adalah simbol. Dalam filsafat hukum, rusuah menandai pergeseran hukum dari norma publik menjadi komoditas privat.
Ketika hukum dapat dinegosiasikan, maka ia berhenti menjadi hukum. Ia berubah menjadi jasa.
Jaksa yang menerima rusuah tidak hanya melanggar sumpah jabatan, tetapi mengkhianati makna hukum itu sendiri.
Hukum yang seharusnya berdiri di atas asas imparsialitas, berubah menjadi alat tawar-menawar. Di titik ini, keadilan tak lagi diputuskan oleh kebenaran, melainkan oleh kemampuan membayar.
Jabatan jaksa bukanlah milik pribadi. Ia adalah amanah publik. Dalam filsafat kekuasaan, setiap kewenangan selalu membawa potensi penyalahgunaan. Karena itu, kekuasaan harus dibatasi, diawasi, dan dipagari oleh etika.
Namun, rusuah menunjukkan bahwa kewenangan sering kali lebih cepat tumbuh dibandingkan etika yang mengawalnya.
Jabatan menjadi pintu masuk bagi godaan, bukan tanggung jawab. Ketika jabatan dilihat sebagai kesempatan, bukan pengabdian, maka rusuah hanya menunggu waktu.
Sering kali, publik diarahkan untuk melihat rusuah sebagai kesalahan individu. Narasi ini menenangkan, karena institusi bisa tetap berdiri bersih.
Namun filsafat hukum mengajarkan, pelanggaran yang berulang hampir selalu merupakan gejala struktural.
Jaksa yang terjerat rusuah bukan muncul dari ruang hampa. Ia lahir dari sistem rekrutmen, promosi, pengawasan, dan budaya organisasi.
Jika sistem hanya menghukum setelah kejadian, tetapi abai mencegah sebelum terjadi, maka rusuah akan terus berulang dengan wajah berbeda.
Hukum tidak hidup di ruang steril. Ia tumbuh dalam budaya. Ketika rusuah menjadi praktik yang “dimaklumi”, maka hukum sedang hidup di tanah yang rapuh.
Dalam budaya permisif, pelanggaran kecil dianggap wajar, hingga akhirnya menjadi kebiasaan besar.
Bahaya terbesar bukan pada rusuah yang terbongkar, melainkan pada rusuah yang dianggap biasa. Di titik ini, hukum kehilangan wibawanya bukan karena kekurangan aturan, melainkan karena kehilangan rasa malu.
Jaksa memegang kuasa yang besar: menentukan arah perkara, menyusun dakwaan, bahkan memengaruhi nasib seseorang.
Dalam filsafat hukum, kuasa tanpa integritas adalah ancaman. Ia menjelma menjadi kekerasan simbolik yang dilegalkan.
Rusuah menjadikan kuasa itu tidak lagi berpihak pada keadilan, tetapi pada kepentingan. Hukum pun kehilangan fungsi korektifnya. Ia tidak lagi melindungi yang lemah, tetapi melayani yang kuat.
Kasus rusuah yang melibatkan jaksa juga membuka persoalan relasi antarlembaga penegak hukum. Ketika penanganan perkara berpindah dari satu institusi ke institusi lain, publik bertanya: siapa yang paling berwenang, dan siapa yang paling berani?
Dalam negara hukum, koordinasi seharusnya memperkuat akuntabilitas, bukan menjadi alasan untuk saling menunggu.
Yang dipertaruhkan bukan ego lembaga, melainkan kepercayaan publik. Ketika hukum tampak ragu, keadilan ikut goyah.
Hukum tanpa etika adalah tubuh tanpa jiwa. Sumpah jabatan jaksa bukan formalitas administratif, melainkan ikrar moral. Ia adalah janji kepada publik, bukan sekadar kepada atasan.
Rusuah menunjukkan bahwa pendidikan hukum kita sering kali terlalu menekankan aspek normatif, tetapi mengabaikan pembentukan karakter. Kita melahirkan ahli hukum, tetapi lupa membentuk manusia hukum.
Pengawasan adalah pengakuan bahwa manusia tidak sempurna. Dalam filsafat institusi, pengawasan bukan tanda ketidakpercayaan, melainkan mekanisme menjaga kewarasan sistem.
Namun pengawasan yang hanya bersifat reaktif selalu terlambat. Ia datang setelah kerusakan terjadi. Yang dibutuhkan adalah pengawasan preventif, transparan, dan berlapis. Tanpa itu, rusuah hanya menunggu celah.
Kepercayaan publik adalah modal terbesar penegakan hukum. Ia tidak bisa dibeli, apalagi dipaksakan. Ia tumbuh dari konsistensi, kejujuran, dan keberanian menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Setiap jaksa yang terjerat rusuah menggerus kepercayaan itu. Dan kepercayaan yang runtuh tidak mudah dibangun kembali. Ia memerlukan waktu, keteladanan, dan keberanian institusional untuk berubah.
Dalam filsafat keadilan, hukum ada untuk melindungi martabat manusia. Rusuah mencederai martabat itu. Ia mengirim pesan bahwa keadilan bisa dibeli, bahwa hukum tidak netral, bahwa nasib seseorang ditentukan oleh transaksi.
Pesan ini berbahaya. Ia melahirkan sinisme publik, apatisme hukum, dan pada akhirnya ketidakpatuhan. Negara hukum tidak runtuh oleh kritik, tetapi oleh ketidakpercayaan.
Kasus rusuah yang menyeret jaksa seharusnya menjadi cermin. Bukan untuk menyalahkan semata, tetapi untuk bertanya lebih dalam: hukum macam apa yang sedang kita bangun? Aparat seperti apa yang kita ciptakan?
Filsafat hukum mengajarkan bahwa hukum bukan hanya soal aturan, tetapi tentang manusia yang menjalankannya. Tanpa manusia berintegritas, hukum hanyalah teks dingin.
Harapan selalu ada, selama keberanian masih tersisa. Keberanian untuk membersihkan institusi dari dalam. Keberanian untuk mengakui kelemahan sistem. Keberanian untuk menempatkan integritas di atas solidaritas sempit.
Jaksa yang bersih adalah fondasi negara hukum. Menjaga mereka tetap bersih bukan hanya tugas institusi, tetapi tanggung jawab kolektif kita semua.
Jaksa dalam pusaran rusuah bukan sekadar kisah tentang kejahatan individu. Ia adalah cerita tentang hukum yang diuji, etika yang tergoda, dan negara yang dipertanyakan.
Jika pusaran itu tidak dihentikan, ia akan menarik kita semua ke dalamnya. Tetapi jika ia dijadikan titik balik, ia bisa menjadi awal pemulihan.
Di sanalah pilihan kita berada: membiarkan hukum tenggelam, atau mengangkatnya kembali dengan keberanian dan kejujuran.